Share

Hari yang muram

Kala itu,cuaca di luar ruangan begitu muram. Wajah langit sudah mulai memucat. Matahari tertutup oleh gumpalan-gumpalan awan hitam sehingga keindahan sinarnya yang kekuningan tak terlihat dan tidak terasa kehangatannya. 

 Sepoi-sepoi angin terasa begitu dingin menghantam. Meskipun telah menggunakan pakaian yang sangat rapat, tapi rasanya angin tersebut masih bisa menembusnya sehingga bulu-bulu halus di sekitar tangan menjadi berdiri karena saking dinginnya udara yang menerpa.

 Seorang wanita terlihat berdiri di depan sebuah gedung tinggi dengan tangannya yang sibuk memegang ponsel dan matanya sibuk menatap layar datar tersebut. Raut wajahnya tampak seperti orang yang terburu-buru. Entah apa yang membuatnya terlihat demikian.

 “Ah kenapa tidak ada satu pun yang nyangkut sih?! Padahal aku sedang terburu-buru sekali,” keluh wanita tersebut. Entah apa yang dimaksud dengan kata nyangkut tersebut. Tapi tampaknya raut wajah dari gadis tersebut menjadi murung. 

 Kakinya kemudian wanita tersebut berjalan pada jalanan yang ramai dengan berbagai kendaraan. Ia berdiri di bahu jalan sambil kepalanya celingukan dan matanya melihat kesana kemari seperti mencari sesuatu.  

 Beberapa menit dirinya berdiri di tempat tersebut. Tampaknya ia semakin resah. Tangan kanan yang memegang ponsel terus saja bergerak ke atas ke bawah untuk melihat sesuatu yang ada di ponselnya. Dan saat ponselnya itu dihadapkan ke wajahnya, terlihat sebuah nama muncul di layar tipis tersebut. Suara dering tredengar begitu khas menandakan ada sesoerang yang meneleponnya.

 “Halo Mas,” ucap wanita tersebt begitu ponselnya menempel ke telinga.

 “Iya Halo,” balas seseorang yang menjadi lawan bicaranya.

 “Ada apa Mas? Aku masih menunggu angkutan umum. Tak ada satupun gojek atau grab yang nyangkut, jadi aku sedang mencari angkot atau ojeg untuk bisa sampai ke sana dengan cepat,” tutur wanita tersebut.

 “Kamu tidak perlu ke sini. Aku sudah berangkat daritadi,” balas lelaki di seberang sana.

 “Aku kesana ya. Aku ingin menemanimu periksa Mas.”

 “Tidak usah Nuri. Kamu pulang saja ke rumah dan istirahat. Manfaatkan waktu istirahatmu sebaik mungkin,” ucap lelaki di ujung telepon kemudian memutuskan sambungan panggilan.

 “Belum juga aku berbicara, tapi kenapa dia menutup panggilan teleponnya sih?! Padahal aku hanya ingin menemaninya dan memberikannya semangat supaya dia bisa kuat saat proses pemeriksaan,” keluh wanita bernama Nuri.

 Tubuhnya masih mematung di bahu jalan. Rintikan air hujan yang turun dari awan tak membuat dirinya bergerak untuk menepi. Orang-orang yang sibuk berseliweran mencari tempat untuk berteduh tak membuat dirinya ingin menjauh dari tempat yang sama sekali tak teduh.

 Entah apa yang membuat dirinya bersikap sedemikian rupa. Yang jelas, wanita tersebut terlihat murung seperti langit kala itu. Air hujan yang mulai deras membuat bajunya menjadi basah. Rasa dingin mulai menerpa tubuhnya. Sesaat kemudian, ia memutuskan untuk berjalan mencari tempat yang bisa dipakai sebagai tempat berlindung dari air mata langit.

 Begitu badannya berbalik, tepat lima langkah di depan dirinya ada seorang pria bertubuh tinggi dengan balutan kemeja berwarna hijau mint. Tangan kanannya memegang handel payung yang saat itu melindungi dirinya dari air mata langit.

 Beberapa detik berlalu, mata mereka beradu. Wanita tersebut mengeluarkan tatapan mata yang sangat sendu. Tak kuasa melihat wanita tersebut bayah kuyup, akhirnya lelaki bertubuh tinggi itu berjalan mendekat hingga sepatu keduanya beradu.

 “Apa kamu sudah kehilangan akal?! Kenapa kamu malah berdiri saja disini saat semua orang mencari tempat yang aman untuk berteduh dari air hujan!” ucap leleki tersebut dengan sangat tegas.

 “Apa?! Kau menyebutku hilang akal?!”

 “Iya! Karena kau tidak menggunakan akalmu untuk mencari tempat berteduh!”

 “Jika aku kehilangan akal dan tidak menggunakan akalku, mungkin sekarang aku sudah berlari di tengah jalan raya itu dan menari-nari di bawah guyuran air hujan dengan wajah tersenyum sambil menghadang para pengendara!” ketus wanita tersebut.

 Suasana yang tadinya diharapkan menjadi adegan romance, malah menjadi suasana tegang karena keduanya berdebat di tengah buliran air hujan yang begitu deras. Orang-orang di sekitar mereka yang sedang menyaksikan aksinya begitu kecewa saat adegan romance yang mereka harapkan malah tak terwujudkan.

 Dengan terpaksa, lelaki bernama Rendi menarik tangan Nuri supaya bisa mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam gedung mewah tempat mereka bekerja. Karena tenaga Rendi yang sangat kuat, membuat Nuri tak bisa melepaskan cengkraman pada tangannya yang sudah menyeret dirinya kembali masuk ke dalam gedung yang beberapa menit sebelumnya ia tinggalkan.

 Beberapa menit mereka berjalan hingga akhirnya tiba di ruangan besar tempat mereka mengerjakan segala tugasnya. Beberapa orang yang sedang sibuk melakukan pekerjaannya tiba-tiba menatap dengan penuh tanya ke arah Nuri dan Rendi. 

 Setiap keramik yang Nuri lewati menjadi basah karena tetesan air dari baju Nuri yang memang saat itu sudah basah seluruhnya. Rasa dingin yang tadi tidak terlalu terasa, kini menjadi sangat terasa hingga rasanya seperti menusuk ke rongga dada.

 “Pakai ini untuk menghangatkan tubuh,” kata Rendi seraya menyerahkan jaket tebalnya pada Nuri yang saat itu hanya menunduk dan menatap ke lantai sambil memperhatikan setiap tetes air yang mengalir dari rambut panjangnya dan dari bajunya.

 Karena tidak ada tanggapan dari wanita di depannya, akhirnya Rendi memakaikan jaket yang dipegang oleh tangannya ke tubuh Nuri. Jaket tersebut di tanggalkan di bahu Nuri. Begitu jaketnya terpasang pada Nuri, tangan Rendi menepuk bahu Nuri sebanyak dua kali. Entah apa maksudnya dengan tepukan dari Rendi tersebut.

 “Pakailah jaket ini. Jangan biarkan dirimu kedinginan. Jika kau sakit, siapa yang khawatir? Ya sudah pasti Bundamu. Tidak mungkin aku ahahah,” kata Rendi seraya tersenyum kecil. Wajahnya menunjukkan ekspresi datar. Padahal dalam hatinya, ia benar-benar khawatir dengan Nuri. Namun sebisa mungkin, ia mencoba untuk menyembunyikannya.

 “Terimakasih Ren,” ucap Nuri lemah dengan wajah yang masih menunduk.

 “Tentu. Jangan biarkan dirimu sakit hanya karena orang itu!” tandas Rendi.

 “Ehem. Padahal diluar seadng hujan, tapi kenapa rasanya udara disini sangat panas ya,” celetuk seseorang dari balik meja yang berada di sudut ruangan.

 “Padahal AC juga sudah menyala loh Bro,” tambah seseorang lainya.

 Rendi yang mendengar kedua temannya berbicara seperti itu langsung saja menolehkan wajahnya pada orang-orang tersebut. Rendi mengetahui bahwa teman-temannya itu memiliki maksud lain dari ucapannya.

 Teman-temannya itu yang tadi menyindir Rendi, hanya tersebut saat seseorang yang mereka sindir menatapnya. Rendi tidak pernah menanngapi hal tersebut secara serius karena memang setiap ucapan yang mereka lontarkan selalu benar adanya. Dan lagi pula, Rendi tahu bahwa teman-temannya tersebut tidak mempunyai maksud yang buruk. Jadi ia tak pernah mengelak atas setiap candaan ringan yang teman-temannya lontarkan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status