“A man like me usually has patience. But with you, I’ve exhausted it all. Everyday, you leave me craving you, needing you in my bed like a mad man. Scarlet, what do you want from me?” He growled, staring deep into her green eyes. “Time.” She whispered, her voice barely audible. “I don’t have time!” His voice rumbled with slight annoyance and a hint of jealousy. “Your heart is torn between me and Brad, isn’t?” “Brad is my mate, my fated mate. And —“ “And who am I to you?” He pulled her closer to himself. “You’re mine, Scarlet. Every inch and depth of you is mine. And I won’t let that undeserving boy have you. May the best man win your heart.” ********************** Bullied and mocked her entire life, Scarlet always dreamed of the day she would find a mate. Someone to love and cherish her. But on her eighteenth birthday, she was rejected by the boy she was fated to love. Unusual red hair, awkward social life, and a complete nerd, she did not expect to be ever wanted again by anyone. But everything changed when she realized she was given a second chance mate–a lycan prince. Driven by jealousy, her first mate wants her back and the prince would rather die than let her go. Now desired by the two most powerful boys in college, what choice would she make? And how would she navigate her complex love life with them?
View MoreKetegangan terjadi di sebuah padang salju.
"Bodoh sekali dia, mau menuruti semua omonganku," gumam Aurora.
"Apa lagi?" tanya seorang remaja pria padanya.
"Cium dan cintai aku! Lupakan bahwa kau punya hati untuk orang lain. Hapus semua rasa cintamu kepada siapapun," pinta Aurora.
Pria itu tidak menolak, ia langsung saja mengambil langkah mencium erat bibir gadis di hadapannya.
Seorang gadis sebaya dengan pria itu tersimpuh rapuh memohon-mohon.
"Jangan lakukan itu, aku mohon jangan cium dia!" pekiknya tak berdaya.
Pria itu tidak menghirau sedikit pun. Ia benar-benar melupakan seluruh cinta dalam dirinya, dan secara rakus menikmati kejadian itu.
Gadis yang tersimpuh itu beberapa kali mengerang semakin kesakitan saat pria itu semakin asyik dengan Aurora.
Setelah beberapa waktu, Aurora melepaskan ciumannya. Memastikan tidak ada lagi cinta di dalam hati pria itu.
Aurora membekukan tubuh sang pria itu, lantas berkata, "Bodoh! Pria egois bernafsu sepertimu harus dihukum!" teriak Aurora.
"Pria yang dengan bangga baru saja menghianati kekasihnya demi keegoisan! Lihatlah apa yang kau hasilkan? Hukuman harus di jatuhkan terhadap sebuah kesalahan," jelasnya.
"Tidaak! Jangan hukum dia.... Dia pangeranku," ucap gadis itu sambil terus menahan sakit di jantungnya.
Pria itu tadinya benar-benar kehilangan rasa cinta. Sampai Aurora melancarkan kekuatannya mengutuk pria itu.
Pria tampan dengan pakaian hangat bermotif buku itu terlempar ke udara. Jiwanya mulai sadar dan berkata,"Maafkan aku, aku terlalu egois untuk benar-benar bisa mencintaimu, maaf–"
"Tidaaak!!"
Gadis itu berteriak begitu kencang melihat orang yang dia cintai harus kembali dikutuk di hadapannya dan dia tidak dapat berbuat apa-apa.
"Mereyaaa!!" pekiknya mengudara. Tubuh gadis itu perlahan mulai lenyap, menghilang menjadi sebuah hembusan angin.
Deg!
"TIDAKKK!!" teriak Anila ketakutan. Napasnya tersengal-sengal.
Malam itu sungguh berlalu dengan buruk baginya.
Gadis bernama Anila itu kembali merebahkan tubuhnya di ranjang. Berusaha menenangkan pikirannya yang kacau."Syukurlah hanya mimpi, mungkin diriku terlalu banyak menonton film fantasy semalam," Anila menghela napas lega.
Mimpinya barusan membuatnya melupakan suatu hal.
"Oiya! akukan hari ini ulang tahun," kata gadis itu terperanjat bangun. Dia melempar selimutnya dan bergegas membuka pintu.
"Selamat ulang tahun, Anila..." sahut Kakak, Adik dan Ibunya yang mengejutkannya di depan pintu. Kakaknya membopong kue ulang tahun tertancap lilin 17.
"Happy birthday, kak Anila..." ucap adiknya yang berusia 8 tahun itu.
Suasana haru tercipta. Iringan lagu ulang tahun bersama-sama dilantunkan sembari Anila memotong kue.
"Terimakasih banyak ya..." ucap Anila tersenyum haru.
"Eits, jangan senang dulu... masih ada kejutan lagi," potong kakaknya Anala.
"Masuk kamar sekarang, lihat meja belajarmu," lanjutnya.Anila menyeringai tak percaya, senyumnya lebih mengembang lagi melihat tumpukan hadiah.
"Makasih, Kak. Makasih, Bu, bener-bener makasih semuanya... hadiah sebanyak ini dari siapa aja, Bu?""Dari kita, dan dari..." Ibunya menjawab dengan tersenyum menggoda.
"Sudahlah, kan ada namanya. Baca sendiri aja. Dadah" kakaknya melambai keluar kamar "Ayo bu kita keluar,"
"Kak... " Anila berteriak.
"Baca sendiri!" sahut kakaknya juga ikut berteriak.
Anila hanya menggeleng senang. Menatap setiap kado yang diberikan. Memilih beberapa kado yang akan dibukanya lebih dulu."'Wah, yang ini bagus yah," simpulnya.
Anila melihat sebuah kotak dibungkus kertas kado berwarna emas. Di atasnya terdapat pita hijau yang ditalikan rapi.
Anila membukanya perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah buku diary, seakan yang memberikan itu tahu, bahwa buku diary milik Anila telah habis beberapa waktu lalu.
"Ini sangat indah," pujinya.
Buku dengan tebal 140 lembar halaman, bersampul warna biru langit malam. Ada sebuah gambar seorang lelaki. Berdiri menggunakan jaket di sebuah padang salju dengan rembulan di atasnya bertuliskan 'Mereya' pada sampul depan.
Dibelakang sampulnya bertuliskan
'Setiap tulisan adalah mantra. Setiap mantra dapat membuat sebuah keajaiban.'Anila merasa begitu heran ketika membalik dan membaca tulisan di belakangnya. Terdiam sejenak. Lantas, Ia berlari ke dapur.
"Ibu, ini dari siapa?" tanyanya menunjukkan buku di tangannya.
Ibunya yang sedang memotong bumbu, mengamati sebentar kemudian hanya mengangkat bahu.
"Ibu, yang benar saja. Ini dari siapa?" tanya Anila lagi memastikan.
"Benar, Ibu tidak tahu. Setahu Ibu tidak ada yang memberikanmu buku."
"Lah?" Anila semakin penasaran, dia berlari ke kamar kakaknya.
"Kak ini dari kakak?," kembali mengangkat tangannya, menunjukkan buku itu.
"Bukan," jawab kakaknya singkat, melanjutkan menyisir rambutnya.
"Ayolah, Kak. Gak usah bohong deh, Ini ulang tahun Anila..."
"Bohong bagaimana? Seisi rumah aja Kakak semua yang bungkus kadonya, dan memang gak ada yang ngasih kado kamu buku, Nay," - Anala berpikir sebentar - "Eh, gatau deng kalau Gata yang ngasih, soalnya semeja itu sebenernya yang ngasih kado kamu cuma, Aku, Ibu, Ayar, sama Gata doang. Hahaha...."
"Oke" Anila pergi.
Anila bertekat menanyakannya pada Gata besok. Di sekolah.
* * 彡* *
Awan putih berjalan berdampingan di pagi yang cerah, pepohonan ikut berjalan bersamaan dengan laju motor Anila menuju ke sekolah.
Gadis sederhana dengan pakaian rapi dan tas digendong lekat di punggung. Jilbabnya menjulur menutupi seluruh bagian tubuhnya. Anila bukan termasuk gadis yang cantik dan suka mengikuti perkembangan dunia modern seperti teman-temannya.
Dirinya adalah gadis yang periang. Namun, karena kejadian beberapa tahun lalu. Saat Anila terjatuh, pipinya terluka. Hal itu menimbulkan bekas yang tidak bisa hilang.
Berbagai cara telah dicoba. Namun, hasilnya tetap nihil. Kini di pipinya terdapat sebuah keloid yang membuatnya nampak buruk di beberapa anak. Hingga, tidak ada yang mau lagi berteman dengannya di kelas.
Hari itu, sekolah masih sangat lenggang.
Anila selalu berangkat pagi-pagi sekali. Bahkan, lebih pagi sebelum satpam sekolah membuka pintu gerbang. Tidak perduli seberapa banyak masalah yang menimpa. Senyumnya selalu mewarnai isi dunia ketika pagi hari tiba.Anila duduk sendirian menunggu petugas sekolah membuka gerbang masuk. Sudah lebih dari sepuluh menit Ia menyibukkan dirinya dengan bernyanyi-nyanyi sendiri. Namun, tidak juga gembok itu diberikan pasangannya.
Krieet!
"Nah, Alhamdulillah. Selamat pagi Pak Wan, kok tumben si lama banget buka pintu gerbangnya, biasanya kan jam enam-an udah dibuka," tanya Anila pada Pak Wandi, penjaga sekolahan.
"Udah Anila, kamu ini. Udah besok kamu aja lah yang bawa kuncinya. Bapak tadi kesiangan. Semalam Bapak harus lembur keliling sekolahan buat jaga," jawab Pak Wandi membuka gerbang.
"Hehe, maaf Pak... mari pak...,"
Anila berjalan menunduk melewati pak Wandi, lantas beranjak mencari kelas.Sekolah cepat sekali ramai. Sedari tadi, Anila mencari Gata untuk menanyakan tentang buku itu. Sampai sekarang, dirinya tidak juga melihat tanda-tanda kedatangan Gata.
Anila menunggu lama di taman sekolah.Bayangkan! Anila menunggu dari gerbang belum dibuka, hingga bel kini berdering.彡
Jadwal pelajaran hari ini adalah olahraga. Sebuah pelajaran yang tidak terlalu penting tetapi sangat menyusahkan umat manusia.
Apalagi manusianya seperti Anila, Ia sangat membencinya, sebab tak ahli dalam bidang itu. Lebih baik dia disuruh menghafal 45 nama Kerajaan di Indonesia beserta Rajanya pun. Tidak apa-apa.
"Ayo anak-anak segera keluar," perintah pak Malik menyuruh siswa kelas Anila segera bergegas kelapangan.
Seluruh siswa sedang sibuk sendiri-sendiri berganti pakaian. Beberapa anak lain sudah bersemangat keluar lebih dulu.
"Ayo guys.... Gass ke lapangan voli," ajak Erika pada ke tiga temannya. Ilona, Maya, dan Dasha.
Mereka bergaya jumawa, sudah merasa anak orang kaya dan paling cantik di antara yang lainnya. Berjalan mendorong Anila dari bingkai pintu. Anila barusan datang dari kamar mandi mengganti baju.
"Minggir, Nenek reot!," ucap Erika.
Anila hanya menerima apa pun hinaan teman-temannya. Itu sudah biasa baginya.
Kelas sudah kosong. Tidak ada satupun anak di sana. Anila sudah mengantri sejak awal, tetapi selalu kalah, di marah oleh anak-anak lain. Jadi, tiba gilirannya yang paling terakhir.
Anila yang menyadari dirinya telah tertinggal. Berlari terburu-buru memasuki gerbang aula lapangan voli.
Semua anak telah siap dengan kelompoknya masing-masing. Seketika semuanya tiba-tiba hening, menatap Anila yang datang terlambat."Kenapa kok bisa terlambat Anila?," tanya pak Malik.
"Maaf pak tadi saya..."
"Sudah tidak perlu dijelaskan. Tadinya seperti biasa, ketua kelaslah yang mengambil bola. Berhubung hari ini kamu terlambat, jadi satu bulan ke depan kamu yang akan membawa semua bola dan peralatan untuk jam olahraga. Termasuk hari ini. Ambil semua peralatan voli sekarang di gudang!" bentak Pak Malik.
Anila menunduk.
SCARLET'S POV. Egg after egg dropped, filling the space, and I couldn't help the feeling of raw panic eating me up. I had ever seen such a monster with different traits. It has pincers like scorpions and made loud noises. It buzzed like a bee, and was so solid even though it was made of ants. It was laying eggs which was really unbelievable, but what scared me was that I didn't know what would happen if the eggs happened to hatch. What creature would we see there, and how would they eat us up?I took in deep breaths, as me and Elias were pushed together. I couldn't help myself. It felt like I would suddenly scream, and go out. The eggs fell against us, and it was then I knew I couldn't help myself. “Elias!” I called out, as my hand closed over his shirt tightly. My mouth opened wide, and I fought for breath, but couldn't find it. “Scarlet, Scarlet, breathe!” Elias said, looking at me intently, as I hit my chest, trying to breathe. My eyes filled up with tears, and it felt like I w
RALPH'S POVEstelle looked at us all, enjoying the looks of shock on the faces of the men. Then she walked over to me, and bent, placing a hand on the table, and the other behind my chair. I wouldn't deny the ice in her eyes. Everything about her seemed cold, and although I hated her being that close to me, I did not budge. I stared at her right in the eye, without fear. “You must be having a hard time, right?” She spoke softly. “Well, I've had a harder time.” She said, then straightened up, without taking her eyes off me for a second. She seemed to built for revenge, and in her eyes were the echoes of pain, and cold. She took a few steps backwards, before giving a smile that didn't reach her eyes, then she turned away, walking out of the hall. The elders all looked like they had been holding their breaths, and they let it out quickly, looking at each other. “I believe we've discussed all we need to discuss.” I said, getting to my feet. Sitting around, doing nothing was something
RALPH’S POVI dressed in my room, trying hard so time wouldn't run out on me. There was a council meeting scheduled for the day, and I had to attend instead of Elias. The council elders had sent in multiple envelopes, all demanding to see Elias. ‘Where is the Alpha?’‘What is the Alpha planning on doing?’‘Is Alpha Elias aware that things are becoming even worse?’They had sent in all kinds of questions, and I understood their impatience. It was all stemming from the fear Estelle had woven into their hearts. A knock came on my door. “Come in.” I said, brushing my hair. If I didn't look my best, they would assume Elias didn't know what he was doing, and that he had just put some random person on his throne. I really hoped he and Scarlet would make it back alive, and quickly because I was in no way fit for an Alpha. A maid walked in with toast on a tray. “No, no, I'm fine. I didn't ask for breakfast.” I said, but she didn't retreat. “Before leaving, Alpha Elias gave me strict ord
SCARLET’S POVWe fell mercilessly, hitting the rough edges, getting bruises all over. I landed on the ground with my head in an awkward position, before straightening up, and looking at Elias, who was sprawled on the ground, breathing hard, as he looked up at the sky. I looked around. Apparently, we had fallen in some kind of hole. Due to taking quick hasty breaths, the dust managed to get into my nose, and I sneezed hard. We heard the strange buzzing sound, and I covered my mouth, only for another sneeze to come true. I sneezed again, and Elias scrambled to his fist to cover my mouth. I held his hand there, willing myself not to sneeze. Eventually, I let out a tiny one, and with my eyes watering, I looked around, taking Elias' hands off my mouth. Everywhere was dusty. It was probably because we had fallen through it. All the dust seemed to be settling. “What do we do now?” I whispered, giving a little cough, as I tried to swipe the dust away from settling on my face.“I think w
THIRD PERSONIt wasn't just Elias who felt the tendrils of fear squeezing his heart. Scarlet felt it too, and it felt like her chest was on fire, just from wondering what would happen. The mere terror that the clanging sound generated made her heart beat faster at every clang. It was too much for her to handle. She looked around repeatedly, and the soft wind whipped her hair into her face, which she brushed back with both hands. Already, her palms were cold and sweaty, and the anxiety was just too much. She needed the suspense to be over. “What do you think that is?” She asked Elias, still looking around, trying to guess what could be the reason for the weird sound. “I have no idea.” Elias replied, as the sound grew louder. “We should… I think we should move on.” Scarlet suggested, wanting to make a move. It was so obvious that whatever was approaching them with the weird sound wasn't single. It wasn't two, nor was it three. It was definitely a lot.“I say we wait.” Elias replied,
ELIAS’ POVI couldn't understand the fear and anxiety filling me up. It wasn't the first time Scarlet and I had been on a journey, or been faced with dangerous creatures, and people, but still there was that nervousness. That whispering voice that told me my fears were not twisting lies in my head, but trying to bore the truth into me. Something really awful could happen, and I might be unable to escape it with Scarlet by my side. Either way, I hated the feeling. The whole place spoke, and gave an aura of power, dark power, and it boasted too easily of how we could get killed. It was the main reason for my fears. The man looked at us, and even without the features on his face, I was somehow able to tell that he had a smile on. Then, I looked at Scarlet. She also seemed lost in thoughts, and it would be the best time to try to convince her, but she would despise me for it. It was better I carried out her wish, than to let my fear get the best of me. “We are willing to try. After
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments