LOGINLampu-lampu kota Jakarta tampak seperti aliran darah emas di bawah sana, dilihat dari jendela penthouse lantai 45 yang berdinding kaca setebal sepuluh sentimeter. Dari ketinggian ini, kemacetan yang hiruk-pikuk dan teriakan klakson yang memekakkan telinga berubah menjadi keheningan yang megah namun dingin. Alana Nareswari berdiri diam, memeluk tubuhnya sendiri seolah sedang menahan agar jiwanya tidak pecah menjadi serpihan kecil.
Dia masih mengenakan gaun sutra yang ia pilih dengan penuh sukacita pagi tadi untuk pembukaan galerinya. Gaun yang tadinya melambangkan kemewahan dan kesuksesan, kini ternoda debu hitam dari gang sempit, percikan darah yang entah milik siapa, dan noda air mata yang telah mengering. Aroma cat minyak yang biasanya menenangkannya kini tertutup oleh bau mesiu yang menusuk dan bau apak kematian. "Minum ini." Suara berat itu memecah keheningan. Atlas muncul di belakangnya, langkah kakinya nyaris tak terdengar di atas karpet Persia yang tebal. Ia menyodorkan sebuah gelas kristal berisi cairan amber yang berkilauan ditimpa lampu redup ruangan. "Wiski. Itu akan menenangkan sarafmu yang tegang. Kau gemetar seperti daun di tengah badai." Alana berbalik perlahan. Matanya yang sembab menatap pria di hadapannya. Atlas sudah mengganti kemeja hitamnya yang robek dengan kaos polos berwarna abu-abu yang melekat pas di tubuh atletisnya. Dia tidak lagi memegang senjata, namun aura mematikan itu tetap ada, melekat pada cara dia berdiri dan cara matanya yang sehitam obsidian itu memindai setiap inci ruangan. Dia terlihat tidak seperti pembunuh bayaran yang baru saja mematahkan leher orang di gang gelap, melainkan seperti pengusaha muda yang sukses dan berkuasa. Namun, Alana tidak tertipu. Dia melihat cara Atlas bergerak, selalu waspada, selalu efisien, seperti predator yang sedang beristirahat namun siap menerkam dalam sepersekian detik jika ada suara yang salah. "Ayahku tidak pernah menceritakan ini," suara Alana parau, nyaris habis karena tangis dan teriakan yang tertahan. "Dia bilang dia mengurus dokumen diplomatik. Dia bilang hidup kami aman karena dia bekerja untuk perdamaian. Dia mengajariku cara mencampur warna, Atlas, bukan cara bersembunyi dari peluru." Atlas tidak langsung menjawab. Dia berjalan menuju meja kerja berbahan kayu ek gelap di sudut ruangan, meletakkan senjatanya, sebuah pistol semi-otomatis yang tampak sangat efisien, di atas meja seolah itu hanyalah sebuah ponsel atau kunci mobil. Dia duduk di sofa kulit, menyilangkan kaki dengan santai namun matanya tetap terkunci pada Alana. "Danu Nareswari adalah seniman dalam bidangnya, Alana. 'The Cleaner' bukan sekadar julukan yang diberikan karena dia suka kebersihan. Dia membersihkan jejak uang dari transaksi yang bisa memulai perang atau menjatuhkan pemerintahan. Dia mengubah uang berdarah menjadi donasi seni yang tampak suci. Dia adalah orang paling tepercaya di Konsorsium Varma selama tiga puluh tahun. Dia tahu di mana setiap kerangka dikuburkan, dan dia tahu siapa yang memegang sekopnya." Atlas menyesap minumannya, membiarkan keheningan menggantung di antara mereka. "Masalahnya adalah, dalam dunia Varma, orang yang terlalu banyak tahu biasanya tidak akan berumur panjang setelah mereka memutuskan untuk berhenti." Alana melangkah mendekat, mengabaikan rasa perih di pergelangan kakinya. Dia meletakkan gelas wiski yang belum disentuhnya ke atas meja dengan tangan bergetar. "Lalu kenapa kau menyelamatkanku? Kau bukan polisi. Kau bukan teman Ayah. Kau muncul entah dari mana dan tiba-tiba kau adalah pelindungku?" Atlas menatap tajam ke dalam mata Alana. Ada kilatan misterius di sana, sesuatu yang dingin namun penuh obsesi. "Aku adalah seseorang yang membutuhkan apa yang kau miliki. Buku Besar itu. Ayahmu menghabiskan sepuluh tahun terakhir untuk mencatat setiap dosa Varma sebagai jaminan keselamatannya—dan keselamatanmu. Di tangan yang benar, itu adalah alat tawar-menawar untuk meruntuhkan kerajaan. Di tangan yang salah, itu adalah hukuman mati bagi ribuan orang." "Termasuk kau?" tanya Alana dengan nada menantang yang baru muncul dari balik rasa takutnya. Atlas tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang tidak mencapai matanya dan justru terlihat lebih mengerikan daripada wajah datarnya. "Terutama aku, Alana. Aku memiliki banyak musuh, dan Buku Besar itu bisa menjadi kunci untuk menghancurkan mereka semua, atau justru mengikat mereka di bawah kakiku." Malam semakin larut, dan kelelahan fisik mulai mengalahkan adrenalin yang tersisa. Atlas mengantar Alana ke sebuah kamar tamu yang luasnya mungkin setara dengan seluruh apartemen lama Alana. Kamar itu sangat mewah, dengan tempat tidur berukuran king-size yang dilapisi sprei sutra abu-abu. Namun, bagi Alana, ruangan itu terasa seperti penjara bawah tanah yang dilapisi emas. "Pintu ini dikunci secara elektronik dari luar," kata Atlas sambil berdiri di ambang pintu. "Jangan mencoba membukanya. Sensor gerak di balkon akan menyalakan alarm jika kau mencoba keluar. Ada penjaga di setiap koridor. Mereka tidak akan masuk tanpa izinku, tapi mereka tidak akan membiarkanmu pergi." "Kau mengurungku," desis Alana. "Aku menjagamu agar tetap hidup," koreksi Atlas dingin. "Mandilah. Ada baju bersih di lemari. Kita akan bicara lagi besok pagi." Setelah pintu tertutup dengan bunyi klik elektronik yang menentukan, Alana merosot ke lantai. Dia tidak mandi. Dia tidak berganti pakaian. Hal pertama yang dia lakukan adalah mengeluarkan Buku Besar milik ayahnya yang dibungkus kain beludru hitam dari balik gaunnya. Dia mendekap buku itu erat-erat ke dadanya, merasakan tekstur kulit kunonya yang kasar. Dengan tangan gemetar, dia menyalakan lampu meja yang redup dan membuka halaman pertama secara acak. Tulisan tangan ayahnya yang rapi dan miring, tulisan yang biasanya menulis kartu ulang tahun yang manis, kini berisi barisan angka dan inisial yang mengerikan. 14 Maret - Proyek Garuda - Transaksi 400 Juta USD - Pencucian melalui Yayasan Seni Nareswari - Penerima Akhir: V.S. Alana tersentak. Yayasan seninya? Ayahnya menggunakan namanya, menggunakan galeri yang sangat dia cintai, sebagai saluran untuk mencuci uang haram dalam jumlah yang tak terbayangkan? Rasa mual menghantam perutnya. Keindahan yang dia bangun selama ini ternyata berdiri di atas fondasi darah dan kejahatan. Dia membalik halaman lain. Nama-nama menteri, pengusaha properti ternama, hingga jenderal polisi muncul di sana dengan detail transaksi yang sangat spesifik. Dan di hampir setiap halaman, inisial V.S. selalu muncul sebagai pemegang kendali utama. Siapa V.S.? Alana bertanya-tanya dalam hati. Dia merasa seolah baru saja membuka kotak Pandora, dan sekarang, seluruh iblis dari neraka sedang menuju ke arahnya untuk mengambil kembali milik mereka. Alana mematikan lampu, merangkak ke atas tempat tidur dengan masih mengenakan gaunnya yang kotor, dan menyembunyikan buku itu di bawah bantalnya. Di luar, dia bisa mendengar derap langkah kaki sepatu bot yang berat di koridor—para penjaga Atlas. Di balik jendela kaca setebal sepuluh sentimeter itu, dunia yang dia kenal telah musnah. Alana menatap langit-langit kamar yang gelap, menyadari satu kenyataan pahit: ayahnya tidak pernah menjadi pahlawan dalam ceritanya. Ayahnya adalah akuntan bagi para monster. Dan pria yang berada di ruang sebelah, pria bernama Atlas yang menyelamatkannya, mungkin adalah monster yang paling berbahaya dari semuanya. Alana mencoba memejamkan mata, namun setiap kali dia melakukannya, dia melihat wajah ayahnya yang tersenyum saat mereka makan malam terakhir kali. “Hiduplah dalam keindahan, Alana,” ayahnya pernah berkata. Sekarang dia tahu, keindahan itu hanyalah topeng murah yang menutupi wajah dunia yang sangat buruk. Dia tidak tahu apakah dia bisa mempercayai Atlas. Pria itu menyelamatkannya dari tim taktis Reza, tapi tatapannya saat melihat Buku Besar itu bukan tatapan seorang penyelamat. Itu adalah tatapan seorang kolektor yang akhirnya menemukan permata paling berharga yang hilang. "Ayah... apa yang telah kau lakukan padaku?" bisik Alana ke dalam kegelapan. Keheningan malam itu hanya dipecahkan oleh suara detak jam dinding yang terdengar seperti hitung mundur menuju ledakan berikutnya. Alana meringkuk, menggenggam bantalnya, menyadari bahwa mulai malam ini, "perlindungan" adalah kata lain dari "kepemilikan". Dan dia baru saja menjadi milik seseorang yang identitas aslinya masih tersembunyi di balik baja dan rahasia. Atlas tidak memberikan wiski itu hanya untuk menenangkan sarafnya, Alana menyadari. Dia memberikannya agar Alana kehilangan kewaspadaannya. Namun Alana bersumpah, meskipun dia terjebak di dalam benteng ini, dia tidak akan membiarkan dirinya menjadi lukisan mati di dinding Atlas. Jika dunia ayahnya adalah tentang membersihkan dosa, maka Alana akan belajar cara mengotori tangannya sendiri demi bertahan hidup. *“Lari! Kita tidak bisa melawan Collective sekarang. Bukan di tempat yang sama yang ingin dibom Agra!”Kaca mobil balistik Nomar itu bergesekan mematikan dengan beton seiring mereka melaju ke jalur menurun tajam. Mesin mobil menderu hebat di dalam lorong yang sempit dan gelap. Debu, asap, dan suara bubuk mesiu di luar terputus mendadak saat pintu beton setebal dua meter menutup di belakang mereka dengan suara mekanis yang berat. Mereka berada di bawah parking deck 4B, terisolasi dari dunia.Atlas segera menyalakan lampu internal mobil, memancarkan warna amber samar yang memotong kegelapan mutlak. Rasa bau apak, semen, dan minyak mesin bekas menempel kuat di udara panas yang sesak. Alana menghentikan mobil di ujung landasan.Ia menghela napas yang kasar, memejamkan mata, mengizinkan adrenalinnya memudar sedikit demi sedikit. Rasa kedinginan karena berhadapan dengan wanita Kolektif itu, rasa terancam yang lebih tajam daripada ancaman Agra, kini menetap di punggungnya. Mereka hampir terbu
Alana memandangi layarnya, tangannya gemetar sedikit. Kepada siapa Atlas berjanji tidak akan pernah menyentuhnya? Kini seluruh dunia kejam itu sudah datang. Alana mengangguk, sorot mata penuh bahaya. "The Collective sudah tiba. Mereka tidak akan menunggu, Tuan Atlas. Dan sepertinya mereka sudah tahu alamat rumah aman ini." Atlas segera bangkit, gerakan mendadak membuat lukanya terasa perih, tetapi ia mengabaikannya. Dia merebut datapad yang berkedip merah terang itu, menganalisis pola enkripsi. "Hong Kong. Cerdas. Jaringan rahasia yang tidak dapat dilacak Matriark, dan yang pasti dideteksi oleh semua Varma yang memiliki pengamat global. Bagaimana mereka tahu Safe House Beta-Tunggal?" "Itu tidak penting. Yang penting, Matriark akan mengabaikan panggilan itu, dan Agra pasti sudah mendengar panggilan itu," Alana menjelaskan, nadanya cepat. Dia sudah merangkai benang pengkhianatan dalam beberapa detik. "Agra akan tahu Nomar Barumu menghadapi bahaya global. Itu memicu keputusasaannya."
“Atlas, kita dijebak, cepat! Bawa aku lari, sekarang!” seru Alana.Lampu-lampu marmer yang menyinari lorong Ruang Mediasi Varma mati total, seolah ada tangan yang secara kejam menarik sumbunya. Kegelapan mutlak turun dalam waktu sepersekian detik, diselingi oleh bunyi senapan otomatis yang ditarik dari jarak tiga meter.Alana tidak membuang waktu. Dalam gelap, Matriark Varma berseru: “Maya, bawa pergi dokumennya! Nomar, keluar!”Kekacauan itu adalah lapisan kegembiraan murni yang kejam di tengah kepanikan. Adrenalin, selalu datang disajikan di piring paling brutal.Atlas tidak bicara. Ia bergerak. Tangan kanannya, meskipun perih karena luka yang belum sepenuhnya pulih, mencengkeram lengan atas Alana dengan cengkeraman baja. Dia menarik Alana melalui pintu samping tersembunyi, jalur evakuasi Matriark Varma yang telah ia pelajari sebelum malam itu.Tembakan menyalak di belakang mereka. Itu adalah peringatan dari Faksi Agra, tetapi jaraknya
"Keluar dari mobil, sekarang! Tuan Varma. Kami tahu apa yang baru saja kalian curi di Bogor!" teriak salah satu komandan keamanan Agra, mengacungkan senjata besarnya ke arah kaca mobil mereka, siap menembak tanpa perintah.Alana tidak bergeming. Keindahan gaun sutra ungu yang mahal, hadiah Atlas, tiba-tiba terasa seperti baju zirah yang menekan udara keluar dari dadanya. Udara dingin di luar mobil diserap sepenuhnya, membawa serta bau klorofom yang halus dari pengawal Agra, bau bahaya yang sudah dikenalnya sejak lama.“Tahan tembakan, Kapten Arlan,” suara Atlas keluar dari interior mobil. Itu adalah perintah tenang yang diperkuat melalui sistem transmisi Nomad. Dia tidak mematikan mesin. “Kau tahu protokol, bukan? Agra Varma tidak diizinkan membuat kekacauan domestik di perjamuan Matriark. Itu akan memprovokasi Dewan.”“Kami memiliki instruksi berbeda, Tuan Atlas! Anda meretas aset krusial di Gudang Nareswari! Serahkan chip curian itu!” tuntut komandan Agr
"Tuan Varma, Nyonya Nareswari," sapa wanita itu, suaranya seperti bilah es. "Anda harus segera datang. Anda telah diminta untuk presentasi di Dewan Kuno.""Sudah kuduga," Atlas menggerutu. Dia mendapati kejutan lagi. Waktunya semakin menipis. Pilihan mereka sekarang: kembali ke sarang musuh untuk sebuah presentasi yang mematikan.Wanita Matriark itu tersenyum singkat, sebuah sentuhan menyeramkan yang menegaskan kedekatan bahaya. "Agenda pertama Dewan adalah menyelidiki mengapa aset berharga di Bogor dirampas dan kemudian dilacak, Nyonya Nareswari. File rahasia Ayah Anda telah digunakan untuk menyerang Matriark. Pertunjukan kecil Anda dengan Julian tidak dapat menipu Matriark lama.""Mereka mencuri apa?" tanya Alana, semua adrenalin Priok menguap seketika. Misi mereka, menyabotase Priok, memang berhasil. Tapi kerugian kecil kini telah berubah menjadi kerugian total. Agra baru saja mengaktifkan serangan baliknya, dan Agra berhasil masuk ke arsip rahasia Danu
Alana menjulurkan tangan, siap untuk menarik pistol di ikat pinggangnya, melawan dengan kejam.Ia menyadari itu. Julian sengaja menunggu mereka kabur, hanya untuk memergokinya di detik-detik paling kritis. Jika Alana menarik pelatuk sekarang, itu adalah keributan. Keheningan Dermaga Angke adalah penyamaran mereka yang paling vital.Ia mengambil napas dingin dari udara malam yang berminyak, menutup mata selama satu setengah detik, insting fisiknya menang atas protokol seniman. Ia meninggalkan pistol itu.Gerakan itu secepat pemangsa. Tubuhnya bergerak rendah, mempraktikkan pelajaran dari sesi Malam Kedua, Silent Tread, yang Atlas sebut "Seni Membungkam Musuh." Alana melompat ke belakang ceruk pipa saluran air yang besar. Kedua pengawal Julian terlalu fokus pada titik keluar, yakin Alana masih terjebak di jalur sempit.Pengawal satu: berdiri tegak, memegang senapan dengan profesionalisme militan yang tidak sesuai dengan lingkungan Varma. Pengawal du







