Share

BAB 5_ Bertemu Denganmu Adalah Takdir

Jesika mengerutkan kening mendengar jawaban Rifa. "Elo bilang apa tadi?" tanyanya. Seketika membuat langkah Rifa terhenti dan menoleh ke arah cewek itu.

"Bukan urusan Elo." Rifa mengulang kalimatnya dengan wajah masam. "Lagian Elo tuh siapa, sih? Kepo banget sama urusan orang?"

Jesika tertawa kecil. "Jangan ke-GR an deh, Elo!" 

"Oh, yeah?" Rifa tersenyum kecil sambil mendekat ke arah mereka. "Kalau bukan ingin tau namanya apa? Dan satu lagi, untungnya apa sih buat Elo tau urusan orang?" 

"Orang dengan pemikiran kolot kayak Elo enggak akan ngerti urusan beginian. Iya enggak, guys?" ucapnya sambil tersenyum kecut ke arah Sheryl dan Sasha.

Gadis itu memutar kedua bola matanya malas. "Ngladenin orang kayak mereka enggak akan ada habisnya," ujarnya dalam hati. Lantas beranjak pergi tanpa pamit.

Jesika tersenyum kecil. "Liat aja! Permainan akan segera dimulai." Katanya sambil memainkan ujung rambutnya dengan telunjuk jari.

Sheryl mengerutkan kening heran. "Memangnya Elo mau buat rencana apa lagi sih, Jes?"

"Sebentar lagi kalian juga akan tau." Balas cewek itu kemudian pergi setelah mengambil tasnya yang tergeletak di atas meja.

***

Tepat satu jam, Liana berada di dalam toilet. Dia sengaja melakukan ini karena tak ingin ada orang lain yang melihatnya kalau dia baru saja menangis. Matanya sembab, air matanya masih terus keluar meski sudah berkali-kali mengelapnya.

Ponsel yang sejak tadi berdering dengan nama yang sama, enggan baginya untuk menerima walau sekedar menjawab kabar. Puluhan chat pun masuk dengan inti pesan yang sama.

[Elo di mana sih, Li?]

Rifa. Gadis itu terus berusaha menghubungi Liana tanpa henti. Bahkan saat suasana sekolah sudah sepi, dia tak kunjung pulang sebelum mendapatkan kabar dari sahabatnya.

Liana keluar dari dalam toilet, dia melihat sekelilingnya. "Tak ada orang," ucapnya lirih sambil kemudian berjalan keluar melewati gerbang sekolah. Tetapi....

"Liana?" Teriak seseorang memanggil namanya. Seketika langkahnya terhenti sambil menoleh ke sumber suara.

"Astaga! Kenapa dia masih di sini?" Tanya Liana keheranan. Senyuman yang dipaksakan terlihat jelas ia arahkan kepada Rifa.

"Elo tuh ke mana aja, sih? Di telfon enggak diangkat, di W* (W******p) enggak dibales, atau jangan-jangan Elo mau menghindar dari gue?" Tebak Rifa yang dapat dipastikan benar.

Namun dengan cepat Liana menggeleng. "Gue bukan mau menghindar dari Elo, Pok? Cuma emang HP gue udah mau abis baterainya," ujar Liana berbohong.

"Elo udah makan?" tanya Rifa.

Gadis itu menggeleng kecil. "Tapi Gue udah kenyang sih, Pok?"

Rifa mengerutkan kening heran. "Kenyang?" Ulang gadis itu sekali lagi. "Makan apaan Elo? Bahkan jam istirahat aja Elo enggak makan."

"Ehm..., itu. Gue—"

Belum selesai bicara, Rifa langsung memotong kalimatnya. "Enggak usah ngeles, deh! Gue tau Elo lagi boong, kan?"

"Serius, Pok? Gue enggak laper."

"Eh bentar!" Rifa mengingatkan. "Elo abis nangis, Li? Kok mata—"

"Tadi mata Gue kena sabun waktu cuci muka di toilet, jadi merah, deh!" Alibi Liana menutupi kebohongan dirinya.

"Seriusan?" Rifa bertanya tak yakin. Namun Liana terus memaksanya untuk percaya. "Seriusan, Pok? Gue enggak apa-apa, kok!"

"Ya udah, deh! Sekarang kita pulang, yuk!" Ajak sahabatnya sembari menarik pergelangan tangan Liana pergi dari tempat itu.

Namun dengan tegas Liana menolak. "Elo duluan aja, Pok? Gue masih ada urusan," ucapnya sambil tersenyum kecil.

Rifa menangkap ada sinyal kebohongan dalam diri Liana. Namun saat ditanya, selalu dengan jawaban yang sama. "Enggak apa-apa."

Huft. Rifa mendengus kesal, setelahnya pergi setelah berpamitan dengan Liana.

"Hati-hati!" Seru Liana saat melihat sahabatnya sudah pulang terlebih dahulu atas perintahnya.

"Entar sore Gue ke rumah Elo ya, Li?" 

Liana tak menjawab, melainkan hanya mengarahkan ibu jari ke arahnya sambil tersenyum.

"Maafin Gue, Fa! Enggak semua hal bisa Gue ceritakan sama Elo," batinnya pelan sembari menatap punggung sahabatnya yang kian menjauh.

"Aku tak pernah tau, sampai kapan hidup dalam belenggu cinta yang tak pasti akan berbalas."

Gadis itu menghela nafas panjang, kemudian melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan tempat. Dia masih belum tau, apakah dia akan pulang ke rumah hari ini, atau....

"Pergi?" ucap gadis itu asal bicara. Jujur, rasa lelah mencintai seseorang tanpa ada balasan itu menyakitkan. Pertanyaannya, mau sampai kapan?

Arifin. 

Andai kamu tau. Perasaan ini selalu tercurahkan untukmu. Ingin rasanya, kau mendekapku dalam pelukmu. Di kala Fajar yang terus datang menyapa. Impianku untuk bersatu denganmu semakin nyata. Namun apalah dayaku, bila takdir memang tak mengizinkan kita bersama.

Pelan tapi pasti, langkahnya terasa begitu berat. Enggan rasanya dia berpulang ke rumah kecilnya. Seolah tak mampu menanggung beban ini sendiri, Liana ingin menyerah. 

"Tuhan, berikan jalan terbaikmu!!!" Teriaknya saat sudah sampai di sebuah jembatan, jalan menuju pulang ke rumah. Dia berhenti di sana. Menatap ke bawah di mana sungai mengalir dengan derasnya. 

Tiba-tiba, terlintas dalam pikirannya. "Mungkinkah kematian menjadi jalan terbaikku?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri.

Tak akan ada lagi cinta yang terpendam. Sirna sudah lelah selama ini yang tak berkesudahan. Sepanjang hari hingga sepanjang malam. Nama itu masih terus menghantuiku dalam bayangan semu yang sulit untuk aku lupakan.

Sampai akhirnya, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari atas jembatan. Tak ada pilihan bagi dirinya, selain kematian yang akan merenggut nyawanya. 

Tapi..., gadis itu terdiam sejenak. Memikirkan segala kemungkinan setelahnya jika dirinya tiada. "Mama?" Lirihnya memanggil nama sosok wanita yang telah melahirkannya ke dunia. "Maafkan Liana?"

Tanpa terasa, air matanya pun telah jatuh membasahi wajahnya. Tangis kesedihan menyelimuti hatinya. 

Perlahan-lahan, Liana melangkahkan kakinya menaiki jembatan di sebelahnya. Detak jantungnya bekerja dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia menunduk, menatap air sungai yang mengalir deras di bawahnya. 

Dalam hitungan ketiga, dia bersiap menjatuhkan dirinya ke bawah. Liana memejamkan mata sejenak, kemudian melayangkan kaki ke depan, tak lama lagi. Hidupnya akan segera berakhir.

"Satu..., dua...," gadis itu memberi aba-aba sebelum menjatuhkan dirinya ke bawah sungai. "Ti—"

"Jangan!!!" Teriak seorang pria asing ke arah Liana sambil menarik lengan gadis itu hingga membuatnya terjatuh.

Brukk!!! Liana jatuh tepat menindih pria asing itu di jalanan aspal.

"Arghhh," pekik pria itu meringis kesakitan. Liana yang sadar segera bangun sambil merapikan baju seragamnya yang sedikit berantakan. 

"Kamu diam saja setelah aku menolongmu?" Kata pria itu sambil menatap wajah Liana heran.

Kedua alis Liana terangkat, setelahnya mengedikkan bahu tak peduli. "Gue enggak pernah nyuruh Elo buat nolongin Gue, kok!" Ujarnya santai.

Pria itu menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum kecil. Setelah itu bangun dari duduknya perlahan-lahan. Kaki kirinya sempat terkilir hingga menyisakan rasa nyeri.

"Lagian ngapain sih, Elo? Sok-sokan nolongin Gue. Harusnya biarin aja Gue mati." Gerutu Liana kesal.

"Oh ya? Mau lagi?" Tanya pria itu ke arah Liana. 

Gadis itu mengerutkan kening mendengar ucapannya, "Maksud Elo apa?"

Bukan menjawab, pria itu justru mengajaknya berkenalan. "Gue Alan, nama Elo siapa?" Tanya pria itu.

"Ehmm..., kasih tau enggak, ya?" Liana berbicara sambil menjentikkan jari di dagunya. Matanya menatap ke arah pria itu dari ujung rambut hingga ujung kuku. "Lumayan," pikirnya. 

Rambut hitam yang sedikit ikal, kulit putih resik tanpa noda, juga tinggi badan yang tak jauh berbeda dengannya. Ada tanda lahir di keningnya. Bibirnya yang sedikit tebal membuat Liana terpana dengan senyumannya. 

Merasa risih dengan tatapan Liana, Alan mengalihkan pembicaraan. "Mau ke mana?"

"Kenapa emangnya? Mau nganterin pulang? Sorry, Gue bukan tipe cewek yang suka dibonceng cowok."

Alan terkekeh pelan. "Amazing! Dan mungkin aku akan menjadi orang pertama yang membawamu pergi dengan sepeda motorku?" Katanya dengan mata melihat ke arah sepeda motornya yang ada di pinggir jalan.

Liana menoleh sebentar, "Enggak!" Tolaknya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Alan termangu di tempat.

Pria itu lagi-lagi hanya tersenyum kecil seraya membatin, "Kau masih saja sama seperti yang ku kenal dulu, Li?"

"Aku tunggu di lain waktu Liana?" Teriak Alan menyebut nama cewek itu. Sontak membuat langkah Liana terhenti.

"Kenapa dia bisa tau namaku?"

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status