Share

BAB 4_ Senandika

Sebuah video berdurasi tiga menit empat puluh lima detik berhasil Liana tonton sampai selesai. Ekspresi wajahnya seketika berubah. Liana menunduk malu atas apa yang telah terjadi dengan dirinya.

"Kok Elo diam aja liat Gue kayak gini?" tanyanya dengan nada lemah. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah pohon mangga dengan tatapan kosong. "Kenapa Elo enggak berusaha buat Gue sadar dan—"

Rifa memotong ucapan Liana yang belum selesai. "Mungkin Elo pikir Gue emang diam enggak melakukan apa-apa di situ. Tapi satu hal yang harus Elo tau alasan kenapa Gue membiarkan Elo seperti dalam video itu."

Liana langsung menoleh. "Apa?" Sahutnya dengan raut wajah penasaran. 

"Gue cuma enggak mau ngerusak mimpi-mimpi Elo, Li?" ucap Rifa serius. Setelahnya tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kirinya.

"Sumpah ini enggak lucu, Pok?" Liana mendengus kesal. Ia langsung pergi meninggalkan Rifa begitu saja sendirian di taman. Gadis itu melirik jam tangan yang masih menempel di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Itu artinya, setengah jam lagi dia bisa pulang.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengurungkan diri di toilet. Merenungi nasibnya yang tak pernah sesuai harapan dan keinginannya. Liana berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri dengan penuh iba.

"Apa sih yang kurang dari Elo, Li?" tanya gadis itu berbicara sendiri. "Elo cantik? Iya." Menurutnya begitu. "Baik? Iya juga." Imbuhnya lagi.

"Bahkan kepintaran? Elo juga punya itu." Liana terus mencari sisi terbaik dalam dirinya. Tak bisa dipungkiri, bahwa apa yang diucapkan gadis itu barusan memanglah benar.

Di bidang akademis, ia selalu menduduki peringkat pertama di kelasnya. Kesombongan? Sama sekali bukan sifat Liana. Dia adalah gadis baik yang selalu menolong orang lain saat membutuhkan. Bahkan ia juga sering mencontekkan jawabannya sendiri untuk teman-teman yang memang perlu diberi bantuan.

Kenapa dia seperti itu? "Because of you, Ar?" ucapnya sambil terus menatap cermin di depannya.

"Kurang apa lagi coba? Semua usaha sudah Gue lakukan untuk menakhlukkan hati pria dingin itu, tapi...."

Liana menangis di dalam toilet. Dia terduduk lemah di lantai sambil menenggelamkan wajahnya di atas lutut. "Kapan Elo bisa tau perasaan Gue, Ar? Kalau dari awal kita ketemu, Gue udah jatuh cinta sama Elo," lirihnya sambil terisak dalam tangisnya.

Di sisi lain, Rifa sedang berusaha mencari keberadaan Liana. Dia berjalan menuju kelasnya, namun tak ada siapapun di sana kecuali Reski. "Elo liat Liana, Enggak?" tanyanya.

Cowok itu menggeleng. Setelahnya bertanya, "Ngapain Elo masih cari dia? Dia bukan anak kecil, kan? Yang ke mana-mana harus ditemenin."

"Elo kalau enggak tau apa-apa mendingan diem, deh!" Perintah Rifa kesal. Gadis itu lantas keluar meninggalkan kelas dan kembali mencari Liana.

"Ada yang Liat Liana enggak?" tanya Rifa ke beberapa teman yang melintas.

"Liana? Enggak tuh."

"Oke, thanks."

"Yeah."

Rifa meremas wajahnya sendiri sambil terduduk di teras depan kelasnya. "Aduh, Li? Elo ke mana, sih?" ucapnya sambil mengacak rambutnya frustrasi. Berulang kali dia mencoba menghubungi sahabatnya melalui telepon, tapi tidak diangkat sama sekali.

Dalam diam, dia berpikir keras. Ada tiga kemungkinan tempat di sekolah yang biasa Liana datangi. Taman belakang sekolah, rooftop, dan toilet. Satu diantaranya sudah dipastikan kalau Liana tak berada di taman.

Langkah selanjutnya adalah.... "Rooftop."

Gadis itu segera berjalan sambil setengah berlari menaiki anak tangga yang menghubungkan antara lantai satu menuju lantai tiga. Tak peduli seberapa lelahnya berlari, dia akan terus mencari sahabatnya itu.

Dan saat sampai di sana....

"Sialan!" Umpatnya kesal. Dia tak menemukan Liana di sana. Melainkan....

"Elo ngapain di sini?" tanyanya kepada seseorang yang sejak tadi terlihat melamun menikmati suasana di sana.

Pria itu menoleh sekilas ke arah Rifa tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Karena merasa diabaikan, Rifa mendekat dan memaki-maki pria itu.

"Elo punya kuping yang bisa buat dengar, kan? Elo juga mulut yang bisa Elo pakai buat ngomong. Bisa enggak? Menghargai sedikit aja orang yang lagi ngajak Elo ngomong?" Rifa berbicara dengan nada yang terdengar emosi. Sudah cukup selama ini ia diam melihat sikapnya yang terus cuek kepada siapa pun tanpa alasan.

Alih-alih menjawab, Ari justru memalingkan wajahnya dari tatapan Rifa.

"Hellow!!! Gue dari tadi lagi ngomong sama Elo, Ar?" Teriaknya yang sengaja ingin membuat pria itu buka suara. 

But....

"Gue benar-benar enggak ngerti kenapa ada orang kayak Elo terlahir ke dunia ini. Elo punya totalitas? Oke! Tapi Elo enggak punya nyali untuk hidup di dunia ini, Ar?"

Dan ternyata, kalimat itu berhasil memancing emosinya Ari. Terlihat pria itu bangkit dari duduknya dan menatap Rifa dengan tatapan tajam.

"Hidup Gue biar Gue yang atur. Dan Elo..., (menunjuk ke wajah Rifa) urusin saja hidup Elo sendiri." Tandasnya sambil berlalu pergi meninggalkan Rifa seorang diri.

"Nyebelin banget sih tuh orang. Apa dia pikir dia bisa hidup sendiri tanpa orang lain, hah?" Gerutu Rifa sambil mengacak rambutnya frustrasi. "Bisa-bisanya Liana jatuh cinta sama cowok macam Ari. Kek ada cowok lain aja di dunia ini."

Huft.

***

Kringggg!!! Bel pulang sekolah terdengar nyaring di seluruh penjuru sekolah Tunas Bangsa. Seluruh siswa berhamburan keluar untuk segera pulang. Ada pula sebagian murid yang masih tetap stay di kelas sekedar untuk ngerumpi dengan teman-temannya.

Seperti yang dilakukan oleh Jesika, Sheryl dan Sasha. Mereka masih sibuk membicarakan soal rencana datang ke pesta ulang tahun Alea - teman sekelasnya.

"Gue mau kita bertiga datang ke sana pakai baju couple." Usul Jesika sambil memainkan rambut dengan jemarinya.

"Tapi, Jes? Gue lagi enggak ada duit lagi buat beli bajunya."

"Iya, Jes? Elo tau sendiri kan ini udah masuk akhir bulan. Udah menipis, Jes?" Sheryl ikut menimpali.

"Kalian enggak usah pikirin itu. Semuanya, gue yang tanggung?"

"Seriously?" Tanya Sasha sambil mengerling indah. Senyuman itu terpancar indah di sudut bibirnya. Tak lama kemudian, Rifa masuk dengan nafas yang terengah-engah untuk mengambil tasnya.

Jesika dan kawan-kawan yang melihatnya tak tinggal diam. "Kenapa, Elo?" tanya mereka kompak.

Rifa yang mendengarnya hanya terkekeh. "Ya elah, kompak bener." Rifa mencibir sambil mengambil botol tupperware miliknya. Lalu meneguk minuman itu hingga habis tak tersisa.

"Eh, adek Elo ke mana tuh? Tumben enggak bareng. Biasanya udah kayak amplop sama perangko aja," sinis Jesika sambil memutar kedua bola matanya malas.

"Bukan urusan Elo!" Jawab Rifa kemudian berlalu pergi.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status