“Ar, Aria?” Ucap Lara seraya mengusap-usap lengan Aria.Aria yang belum sepenuhnya sadar dari pingsan nampak masih linglung, ia memandang Bentara dan Lara secara bersamaan. Lalu melihat kesekeliling dan meraba-raba badannya, ia melihat ke dalam selimut dan terperanjat mendapati dirinya tak mengenakan pakaian sama sekali. Aria segera mencoba untuk duduk namun ditahan oleh Lara.“Aku kenapa sih?” Tanya Aria dengan wajah kebingungan.“Nggak tahu deh, kamu tiba-tiba pingsan di kamar mandi.” Jawab Lara.“Tapi kok nggak pakai baju sih,” Protes Aria, “Bentara nggak habis perkosa aku kan?” Lanjutnya lalu melotot ke arah Bentara.Lara tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan konyol itu, sementara Bentaralangsung protes karena tidak terima dituduh.“Enak aja, nggak nafsu ya, aku sama kamu!” Ujarnya. “Ya, gimana kamu nggak telanj*ng, orang sementara mandi pingsannya.” Jelas Bentara.“Oh gitu, ya.” Aria manggut-manggut.“Ya udah jangan pecicilan dulu, Ar.” Pinta Lara.“Si bawel kan u
Mereka berlima kembali disuruh mengantri pada ruangan laboratorium untuk mengikuti test ulang lanjutan. Kelima mahasiswa itu terlihat sehat meski mereka tak bisa menutupi ekspresi cemas diwajahnya. Terlihat sehat saja tidak cukup untuk menganggap bahwa seseorang tidak terjangkit virus ini. Virus ini unik dan mematikan, gejala tak nampak namun serangannya sangat mematikan. Seperti saat pertama kali mereka divonis positif terjangkit, mereka berlima juga terlihat sehat dan segar bugar.Mereka akan di tes secara acak, tanpa urutan nomor induk mahasiswa seperti sebelumya. Mungkin karena mereka hanya sedikit, tak seperti test sebelumnya yang diikuti ribuan mahasiswa. Siapapun yang bersedia untuk dites duluan maka dia yang akan pertama dilayani. Mengetahui itu, Aria buru-buru mendekatkan diri seraya mengangkat-angkat tangannya.“Saya mau duluan, Pak. Saya aja.” Teriaknya dengan percaya diri kepada petugas.“Eh, yakin kamu?” Bisik Lara.“Yakinlah.” Jawab Aria lalu maju untuk dites.Tak l
“Aku juga kuliah di sini bayar kali.” Ucap Lara seraya menepuk dahi Aria menggunakan punggung tangan. Aria mengaduh“Ya, udah guys, aku duluan, ya.” Ujar Bentara kemudian beranjak. Hatinya patah entah untuk kali yang ke berapa.Setelah dari kampus Lara langsung pulang ke rumahnya, dengan perasaan riang di dalam bus itu dia kembali memutar Fine Today dari Ardhito Pramono. Lara segera mengetik sesuatu di ponselnya, tentu saja untuk dikirimkan kepada Mas Gala.“Mas Gala, Lara negatif!” Isi Pesan itu.Mas Gala membalasnya beberapa detik kemudian.“Syukurlah, Mas seneng. jadi udah bisa berangkat dong?” Balas Mas Gala.“Udah bisa, Mas. Besok.”“Lara sekarang di mana sayang? Udah pulang?” tanya Mas Gala.“Lagi di bus, Mas. Jalan mau pulang.” Jawab Mas Gala.“Ya sudah, Lara hati-hati, ya. nanti kalau mau berangkat kabarin, Mas.”“Baik Mas.”Malam harinya, Lara tak memilki waktu lagi untuk berbalas pesan dengan Mas Gala melalui ponselnya. Dia sibuk dengan semua perlengkapan yang ha
Lara disambut lima anak laki-laki berumur kisaran tujuh sampai sembilan tahun. Mereka semua berwajah riang dan berebut membawakan koper Lara. Meskipun Lara sudah melarangnya karena itu sangat berat, tetapi mereka tetap bersihkeras untuk membawakan koper itu. Akhirnya, Lara mengalah dan memperbolehkan mereka membawakan kopernya dengan syarat mereka berlima harus membawanya secara bersama-sama. Kelimanya saling memegang sisi-sisi koper dan berjalan tidak beraturan, ada yang ke arah barat dan ada yang ke timur. Lara tertawa melihat kelakuan lucu bocah-bocah itu.Kelima anak laki-laki itu membawa koper Lara ke salah satu rumah yang ada di desa ktu. Rumah itu cukup sederhana, dindingnya kayu dengan beratapkan pelepah sagu di atasnya. Terlihat sejuk jika tinggal di dalam rumah itu. Dari dalam rumah itu muncul seorang pria yang sudah cukup tua, badannya sudah mulai membungkuk rambutnya hanya tersisa sejumput dan berwarna putih secara keseluruhan. Pria itu segera tersenyum melihat kehadiran
Para bocah itu kemudian menghambur pada Jul, saling bergelendotan pada mahasiswa berperawakan jangkung dengan kumis tipis dan mata kecil. Sangat terlihat bahwa dia adalah laki-laki yang menyayangi anak kecil. Karena anak kecil akan mudah akrab kepada orang dewasa yang lembut dan suka anak-anak. Bocah-bocah itu kemudian terlibat permaian yang seru sehingga dia sedikit melupakan Lara. Lara tersenyum melihat tingkah kelima anak itu dan kemudian masuk ke dalam kamar, setelah salah seorang mahasiswi yang saat itu dia belum tahu namanya, memanggil Lara masuk.Bentara juga terlihat lebih banyak diam, sedikit tersenyum dan sesekali meyahut percakapan kawan-kawannya. Dia juga terlihat masih kurang nyaman. Namun tak butuh waktu yang lama untuk Bentara kemudian bisa berbaur menjadi sangat akrab dengan yang lain. Bahkan Bentara mulai ikut usil menjahili para mahasiswi, dia ikut-ikutan keusilan Adrian dan Baham, baham adalah ketua regu relawan di sesa itu yang tingkahnya sangat meresahkan. Usil da
Pagi itu Lara bangun paling awal. Belum ada pekerjaan yang bisa dikerjakannya, masak di wakru yang sepagi itu konon tidak terlalu baik, atau pamali, orang Mandala bisa menyebutnya. Saat Lara bertanya Bu Marta, apa gerangan pamali itu, tapi Bu Marta hanya mnggeleng.“Sudah ikuti saja apa yang mereka katakan.” Ucap Bu Marta.Jarum pendek di jam dinding baru bergerak ke angka lima, Lara turun ke bawah rumah. Dia hendak merebus air untuk menyeduh cokelat bubuk yang dibawanya dari rumah. Embus langsung menyerbunya, dingin sontak menggelitik pipinya yang memerah. Dia memandang ke sekeliling, rumah-rumah warga tak lagi nampak. Hanya ada putih embun yang mengusai desa itu. Lara seperti sedang berada di atas nirwana. Sudah beberapa pagi Lara melihat pemandangan itu, tetapi dia masih takjub saja, pemandangan pagi yang tidak akan mungkin pernah didapatkan di kota tempatnya tinggal.Lara duduk di teras lantai atas rumah itu, pandangannya lurus ke depan, tepat ke arah jalan. Beberapa pucuk gunung
Tetapi rasanya kali ini dia sangat ini marah. Mungkin rindu itu tak bisa lagi terbendung olehnya. Lara melengkupkan kepalanya, dia meringkuk di dalam kasur dan mulai menangis tanpa mengeluarkan suara sama sekali, dia menakan suaranya agar tak keluar hingga dadanya sesak. Lebih baik dadanya sejak dari pada teman-temannya yang tengah tidur itu bangun karena mendengar suaranya menangis, batinnya. Lara kemudian kembali mengirimkan sesuatu pada Mas Gala.“Lara capek.” Ketiknya lalu dia kembali melanjutkan tangisannya.Ternyata Lara kembali jatuh tertidur saat menangis, matanya sangat sembab ketika dia bangun dan tentunya karena itulah dia jadi bahan bulan-bulanan Adrian dan Baham. Pagi itu mereka memilki agenda sebelum rapat perumusan program kerja, yaitu membersihkan tempat ibadah. Di kamar sebelum berangkat Lara sempat ditegur oleh Aulia karena matanya yang sangat sembat.“Eh, Ra. Mata kamu kayaknya bengkak banget deh, nggak kayak kemarin-kemarin.” Ujar Aulia.Lara seketika meraba matany
Lara yang menyaksikan keakraban Bila dan Bentara, merasa ada sesuatu yang aneh pada perasaannya, tetapi dia segera menafikan hal itu. Bila dan Bentara memang terlihat akrab beberapa hari terakhir, mereka sering menghabiskan waktu di teras lantai atas rumah Bu Marta saat malam. Ketika tiba waktu makan, entah itu siang atau malam (karena jadwal makan mereka hanya dua kali sehari selama di desa itu), Bila dan Bentara selalu duduk bersebelahan. Kadang bahkan Bila mencomot lauk dari piring Bentara. Bentara juga pernah meminta Bila untuk mencucikan bajunya, dengan segera Bila tak sungkan mencampur baju Bentara ke dalam rendaman bajunya.Kedekatan antara Bentara dan Bila segera terendus ke teman-temannya yang lain. Mereka menjadi sering dicomblangkan karena hal itu. Tetapi di lain waktu, Bila juga terlihat begitu dekat dengan Baham. Nampaknya, Bila adalah tipe perempuan yang mudah akrab dengan laki-laki. Tidak seperti Lara yang selalu mencoba menjaga jarak dari para laki-laki di sana. selain