Se connecter“Tuan, terimakasih atas makanannya!”
“Hm~ tentu saja, nanti akan yang banyak dan tersenyumlah.”
Pria muda itu baru membagikan roti-roti hangat yang baru ia beli, berdiri ditengah kerumunan tawa dan canda anak-anak yang terlantar disebuah wilayah kumuh pada ujung kota pusat disebuah negara kerajaan yang megah. Nasib yang tak berpihak kepada anak-anak kumuh itu membuatnya menghibur anak-anak ini.
“Ayo, aku punya sebuah permainan kalau kalian bisa menjawab kuis ini, aku akan memberi ini secara Cuma-Cuma,” ucap Pemuda itu mengeluarkan sekantung permen dari saku mantelnya.
“Wah permen!” sorak anak-anak yang menginginkan permen yang dipegang Pria itu.
Pria Bangsawan Muda itu. Ia tersenyum suka cita dan memulai permainannya. “Kalau begitu jika kalian memiliki tiga belas apel jika aku minta tiga apel dari kalian. Kira-kira kalian masih memiliki berapa apel ya?” tanya Pria itu.
“Tiga puluh, Tuan,” jawab asal seorang anak, dikala semua teman-temannya melongo kebingungan.
Iris Violet itu menatap dengan lembut, dia mengusap-usap puncak kepala bocah laki-laki itu. “Jawabanmu tidak salah, hanya kurang tepat tapi jawaban yang lebih tepat itu sepuluh apel, bocah kecil.” Pria itu berucap sambil membagikan permen-permennya.
“Disini kau rupanya. Apa kau tak lelah selalu mampir kemari, Earl Grayii?”
“Hehe... hai Frederitch! Tidak kok, kita harus membantu sesama bukan? L’Histoire se Répète membosankan jika kalimat itu terjadi kembali.”
Pria yang mengenakan mantel cokelat marun itu menatap dengan bosan. “Seharusnya kau hentikan sikap sia-siamu ini.” Pria beriris raven blue itu berucap sambil menarik pergelangan tangan pria bermantel putih dengan dasi kupu-kupu yang ditengahnya dasi kupu-kupu itu ada batu ametis ungu kebetulan senada dengan sepasang warna matanya.
“Oi, hei! Frederitch hentikan, aku belum berpamitan dengan anak-anak itu,” elak Pria itu pada temannya ini.
Pria beriris raven blue itu terus menyeret pria beriris violet itu untuk masuk kedalam kereta kuda yang sudah menanti dihadapan mereka. “Kau masih memiliki banyak pekerjaan, pahami itu Valerin,” ketus pria itu sambil mendorong tubuh Si Pria bermantel putih itu kedalam kereta kuda.
“Baiklah, baiklah. Tapi aku tak salahkan, Pana?” tanya Pria itu mencari pembelaan terhadap seorang gadis yang tampak sudah lama duduk didalam kereta itu.
Gadis berjubah hitam, menyilangkan kedua kakinya sementara kedua tangannya bersidekap. “Earl Grayii, sesekali seriuslah dengan kerjaan ini. Aku tak mau lembur,” sahut Si Gadis.
“Hehe ... maaf-maaf. Aku hanya sedang rindu dengan adik kecilku,” sahut Pria Bermantel Putih itu.
“Primavera, bukan orang yang bisa negosiasi. Ingatkan posisimu ini, Earl Grayii.” Pria itu berucap sambil memijit dahinya yang terasa pening itu, dia tak habis pikir dengan orang yang rentan diincar keamanannya ini.
“Benar, Yang Mulia Pangeran Frederitch mengatakan sesuatu yang tak seharusnya kau abaikan Earl Grayii,” imbuh Si Gadis.
Pria muda beriris violet itu mengulum senyumannya. “Yang Mulia, sampai dijaga olehmu merupakan suatu kehormatan tapi, tuan Puteri Primavera tak akan bisa menjangkau diriku dan Pana. Bukan begitu Pana?!” tanyanya dengan cengiran lebar, menampaki deretan gigi putih dengan raut wajah tak berdosa.
Gadis itu menggeleng. “Kita memiliki tujuan yang sama-sama menguntungkan, selagi perjanjian kita belum tercapai. Earl Grayii masih menjadi mitraku tapi tetap saja, bersikap ceroboh itu membahayakan.” Gadis berjubah hitam itu masih menundukkan tatapannya. “Lagi pula, namaku Panacea. Bukan Pana saja.” Ralatnya dengan nada yang kesal. Sayang wajahnya tak tampak berkat tudung hitam dari jubah bernada sama yang digunakan gadis ini. Tak tahu saja raut wajahnya itu sama kesalnya dengan nada bicara Gadis ini.
Kehidupan, tak seringkas dan sesederhana itu. Tumbuh besar mendewasa, bekerja dan berkeluarga. Sepasang iris violet itu menatap pemandangan hidup ibu kota sebuah kerajaan dari jendela kereta kuda yang ditumpanginya. “Vampir dan manusia berdampingan ya?” dia bergumam sendiri. Ia melihat hiruk pikuk perkotaan dari jendela kereta kuda yang mereka tumpangi.
“Itulah dunia bayangan ini, keberadaanmu sendiri sebagai bagian dari duniamu,” sahut Pria bermata biru itu.
Kehidupan, yang tak disangka-sangka pun terjadi malah kepadanya. Dia merasa kehilangan jati diri aslinya saat tahu kebenaran hidup yang harus ia pertanggung jawabkan. Bergerak mundur pun percuma, kini dia hanya bisa melangkah maju pada ketidakmasukakalan lapis kehidupan ini.
Beberapa hari sudah berlalu. Pria bermata violet terbaring tak berdaya di atas ranjang kasur besarnya. Baru dia tersentak oleh lamunan saat tangan lain membantu tangan kanannya menggengam gagang cangkir yang terasa hangat. “Yang Mulia Pangeran Frederitch!” jerit terkejut. Tatapannya linglung melihat pria yang tampak sebayanya itu memberikan cangkir berisi teh hangat itu kepadanya. Aroma chamomile meruah diindera penciumannya.
“Sudah begitu lama tak mendengarmu memanggilku secara formal, rekanku, Earl Grayii.” Pria bermata biru tua itu tertawa menampaki deretan gigi putihnya yang terdapat sepasang taring runcing yang tersembunyi disana.
“Tertawamu itu kelihatan bodoh, lihat sepasang gigi vampir pun kelihatan,” celetuk Valerin namun lekas menegak teh hangat itu. “Tehnya sangat enak, ternyata kau terampil juga menjadi pelayan, Yang Mulia,” ledek Valerin.
Frederitch sempat menggeleng jengkel, kemudian duduk dipinggiran kasur Si Violet itu. “Panacea, dia akan mengirimmu kembali ke duniamu, demi kebaikanmu karena kau sudah mencapai batas menggunakan kekuatanmu.” Pria itu berucap sambil menagahkan pandangan, menatap langit-langit bernuansa merah temaram. Lengkap dengan ukiran-ukiran bunga berkelopak transparan, diphylleia grayi. Hampir seluruh penjuru manor kediaman pria beriris violet ini dihiasi ornamen berukir diphylleia grayi, secara tak langsung melambangkan loyalitas kebanggaan keluarganya terhadap kerajaan secara turun temurun.
“Kau salah, Frederitch ... Yang Mulia Ratu Alexandria itu sudah mati,” sahut Valerin.
Kedua mata biru tua pria itu membelalak. “Jadi, gossip di pusat kota Ethereal West itu benar?!”
“Yang Mulia, hentikan rasa empatimu terhadap kaum manusia sepertiku ini, kami ada tak lebih dari untuk menyembuhkan wabah ini di dunia ini pula, bagi kaummu para Vampir seharusnya kita saling bermusuhan. Yang Mulia, aku harus membanting stir takdirku ini.” Tatapan iris violet itu memandang kosong Frederitch. “Lebih baik dari sekarang kita berkomunikasi melalui surat, demi keamananmu juga Yang Mulia dari kandidat pengganti Ratu DustBones yang lebih berbahaya ini.” Tatapannya serius, tindakan patriotisme antara dirinya dan rekannya itu sudah terlalu jauh sampai pada akhirnya dia lupa dengan tujuan utamanya kemari.
Sang Raven Blue itu menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. “Kau ingin lari? Apa kau sudah menyerah dengan ambisi kita? Vampire dan manusia bisa hidup berdampingan. Kita hanya perlu bersama untuk menghabisi wabah ini!” bentak Frederitch.
“Ck. Kaummu bahkan kebal dengan wabah ini Yang Mulia Frederitch ...,“
“Hentikan itu Valerin!” bentak Pria bermata raven blue itu langsung menampaki jati diri aslinya, dengan kedua mata merah crimson yang berubah. Tatapannya menohok dengan tajam. “Kau! membuatku muak dengan pembatas diantara kita ini, kau yang membuatku kagum dengan duniamu tapi kau pula yang menghancurkannya, kalau begini, kau bukan rekanku lagi. Permisi Earl Grayii. Selamat pagi.” Dia meninggalkan kamar gelap ini dengan langkah yang amarah dan penuh perasaan yang kesal.
Dilempar secangkir teh itu ke lantai, sampai cangkir itu pecah berkeping-keping. “Hentikan itu Frederitch ... Duniaku, dunia ini ... tak layak lagi ditinggali,” ucap Valerin nelangsa. Tak bisa dibohongi suaranya terdengar bergetar samar. Kedua tangannya yang bergetar samar itu menutup sebagian wajahnya, menutup raut frustasi itu. “P-Pana ... Pana, kau kemarilah,” panggil Valerin.
“Earl Grayii ... disini.” Gadis berjubah hitam itu tiba dengan cepat, melesat seperti bayangan. “Sesuatu hal terjadi Earl Grayii?” Dia bertanya sembari melihat pecahan kaca yang berserakan itu, membungkuklah Si Gadis untuk mengemasi kekacauan yang dibuat Earl-nya ini. Pecahan cangkir itu melukai ujung jemarinya hingga darah mengucur keluar. “Ah, pertanda sesuatu yang buruk akan terjadi,” celetuk Si Gadis.
“Kau ... berbicara sesuatu, Pana?”
Gadis itu beranjak berdiri, meletakkan pecahan kaca yang dikemasinya itu diatas nampan kayu yang ada dinakas meja. “Bukan apa-apa, Earl.”
“Panacea, bisakah kau? menuliskan semuanya yang sudah terjadi selama tiga tahun ini karena ... aku tak akan layak lagi berpijak pada bumi ini,” pinta Pria muda beriris violet itu membaringkan tubuhnya, memiringkan tubuh. Menatap taman bunga Hortensia ungu dari jendela melalui sepasang iris mata violet sendu itu.
“Baik Earl Grayii, selama perjanjian kita masih ada beserta tujuanmu yang belum tercapai. Semuanya masih sama.”
“Maafkan aku, Panacea.”
Kedua mata violet berkedip-kedip lucu, wajah penasaran dengan bibir ranum yang terbuka. Dia masih tak percaya. “Woah~Paris! Paris!” jerit Valyria takjub.Valyria baru sampai di Paris. Seharusnya mereka menuju Amsterdam hari ini namun Tarra meminta untuk menenangkan diri di Paris terlebih dahulu, jadi disini mereka sekarang menghantarkan Tarra ke kediaman kerabatnya yang ada di Paris. Kemudian siangnya, Valyria bersama tantenya Tarra itu akan menuju ke Amsterdam. “Untung saja ini liburan semester, jadi tante bisa membawa kalian berdua," ujar sang tante sambil menggendong anaknya, Bobby yang tampak masih mengantuk itu.“Iya Tante, Tarra titip Valyria ya. Good luck, Valyria.”Gadis yang mengenakan jilbab cokelat muda itu tersenyum sekenanya, dia masih tampak lesu dengan dukanya. Valyria memeluk dirinya itu. Ia tersenyum melihat Valyria yang tersenyum sumringah."Aku berangkat dulu ya Tarra!” Valyria berseru, baru kali ini dia tersenyum amat manis bahkan bersemangat pula. Valyria memakl
Sebenarnya, ini pertama kalinya Valyria bertemu keluarga besar Tarra. Selama ini jika Valyria berkunjung ke rumah Tarra, dia hanya bertemu ayah dan ibunya. Maka dari itu Valyria menjadi canggung .“N-namaku Valyria Soga Kinaru, tante Tasya,” ucap Valyria yang menuruni tangga dari lantai dua kamar Tarra. ''Namamu cantik begitu juga orangnya, apa kamu Bule Nak?'' tanya Tante.Valyria hanya terkekeh nanar. Wajahnya ini sering disangka ‘bule’ oleh orang kebanyakan. Apalagi kedua iris mata violetnya. “Tidak juga, Ibu memang orang Indonesia kalau Ayah, kata kakakku Ayah berasal dari Belanda, Valyria juga tak terlalu tahu soal itu.'' Valyria menjawab sebisanya dengan senyum nanar itu.“Oh pantas aja, sama dong, Bobby juga campuran Belanda, Ayo sapa Kak Valyria Bobby,'' suruh Tante pada Bocah itu.Bocah itu malu-malu menatap Valyria. “H-halo. Namaku Bobby balu ti-tiga tahun.” “Oh iya, Tarra sempat mengatakan padaku soal temannya yang jenius dalam seni. Apakah itu kamu Valyria? Mengingat, Ta
“Ya Tuhan, aku tak sanggup semua ini benar-benar menjijikkan," ujar Valyria sambil menghela napas. Setelah itu Valyria berjalan melalui koridor gedung universitasnya. Dia berjalan dengan tenang dengan raut wajah yang tenang pula, biarpun kepalanya terasa pening akibat kurang tidur. Sepasang mata Violet Valyria melihat Tarra yang berlari dengan secarik kertas yang dibawanya.Gadis berjilbab merah muda itu tersenyum sumringan. “Ini lihat! Pelelangan lukisan. Kau ratunya urusan ini, ayo ikut.” Tarra berucap dengan antusias sembari memperlihatkan secarik kertas berisi brosur pelelangan lukisan. “A-Amsterdam? Kau Gila Tarra, ini jauh sekali dan aku tak punya ongkos untuk ke sana,” ucap Valyria dengan kedua matanya melotot, nyaris melongo tak percaya.“Ah sudahlah, masalah itu urusanku karena kebetulan acara ini Tante Tasya salah satu staff penyelenggara, ini kesempatan baik untukmu Valyria, " ucap Tarra senyum dengan ceria, dia menggegam tangan sahabatnya itu. Tarra teman terbaik yang Val
Tok...tok...tokSuara ketukan pintu terdengar nyaris keseluruh rumah kontrakan sederhananya ini. “Engh, siapa?” sayup-sayup Gadis itu melenguh, meregangkan tubuhnya. Mengucek-ucek matanya yang masih kantuk, ketika sadar hari sudah malam. Tampak dari jendela yang lupa ditutupnya itu.“Hoam~ aku ketiduran ya? tadi rasanya masih sore.” Gadis itu bermonolog sendiri. Melirik jam dinding bututnya yang menunjukkan pukul delapan malam. Dia mengaku masih lelah.Tok … tok … Kembali suara ketukan itu terdengar, dengan langkah gontai. Dia pun berjalan untuk membukakan pintu. Didapatkan, seorang pria mengenakan setelan jas rapi tampak sudah berumur namun memiliki postur tubuh yang tegap. “Apakah Anda Nona Valyria Soga Kinaru?” Gadis itu, Valyria mengangguk. “Benar, Siapa Anda?” “Saya dari lembaga Asuransi, memberikan beberapa santunan asuransi kematian dari Tuan Kinaru, dan juga ... Tuan Kinaru pernah menitipkan kunci ini untuk diberikan kepada Nona.” Pria it
Kabar mengenai kematian kakak laki-lakinya itu baru ia terima pagi ini, tepat pada pukul tujuh pagi. Dari sebuah ponsel genggam yang dipegangnya, dia hanya bisa bergetar dengan kedua mata membelalak namun air mata dari pelupuk matanya hampir jatuh. Mengairi, wajah manis yang sembab. Namanya Valyria Soga Kinaru, baru berusia dua puluhtahun. Kini setelah jadisebatang kara kemudian harus kehilangan sosok penyokong kehidupan utamanya, Sang Kakak. “Baik, saya akan kesana. Saya akan membawa kakak saya untuk segera dimakamkan serta mengambil barang-barangnya.” Valyria berucapsembarimengakhiritelepon. Keduamatavioletnyajadikosongmenatapkehampaan. Tubuhnya langsung lemas, berpegang pada nakas meja yang ada disampingnya. Terisaklah dia dengan seluruh kepedihannya. Mengutuk takdir yang kejam, setelah kedua orang tua yang meninggal saat dia masih begitu kecil. Kini kakak laki-lakinya, yang tercinta. Tulang punggung keluarga, penyanggah hidup sebagai satu-satunya keluarga y
“Tuan, terimakasih atas makanannya!” “Hm~ tentu saja, nanti akan yang banyak dan tersenyumlah.” Pria muda itu baru membagikan roti-roti hangat yang baru ia beli, berdiri ditengah kerumunan tawa dan canda anak-anak yang terlantar disebuah wilayah kumuh pada ujung kota pusat disebuah negara kerajaan yang megah. Nasib yang tak berpihak kepada anak-anak kumuh itu membuatnya menghibur anak-anak ini.“Ayo, aku punya sebuah permainan kalau kalian bisa menjawab kuis ini, aku akan memberi ini secara Cuma-Cuma,” ucap Pemuda itu mengeluarkan sekantung permen dari saku mantelnya. “Wah permen!” sorak anak-anak yang menginginkan permen yang dipegang Pria itu. Pria Bangsawan Muda itu. Ia tersenyum suka cita dan memulai permainannya. “Kalau begitu jika kalian memiliki tiga belas apel jika aku minta tiga apel dari kalian. Kira-kira kalian masih memiliki berapa apel ya?” tanya Pria itu. “Tiga puluh, Tuan,” jawab asal seorang anak, dikala sem







