Amanda tersipu saat Daejung terus menatapnya tanpa berkedip dengan senyuman lebar di bibir pria itu. Saat ini keduanya sedang berada di butik ternama, Daejung telah meminta Amanda untuk mengikuti sebuah acara penting dengannya. Awalnya Amanda menolak karena dia bisa memilih pakaian di butiknya sendiri. Namun, Daejung menolak dan malah membawa wanita beranak satu itu untuk memilih pakaian di butik lain, tetapi nyatanya bukan Amanda yang memilih pakaian itu tapi Daejunglah pemilihnya."Ganti aja, ya. Kayaknya pakaian ini nggak pantes buat aku." Amanda insecure dan mulai berbalik berniat untuk melepas Lace dress di tubuhnya."Ngapain, kamu cocok kok pakai baju itu." Daejung menolak dan masih memperhatikan Amanda yang terlihat muda dengan dress itu."Jangan yang ini, Jung. Ini terlihat terlalu muda kalau aku pakai," mohon Amanda membuat Daejung menghela napasnya dengan pelan. Daejung juga tidak bisa memaksa Amanda supaya bersedia mengenakan pakaian pilihannya. Wanita itu bersedia ikut saj
Daejung menghela napasnya dengan pelan dan kembali duduk di atas kursi, kembali mengingat semua tuduhan yang telah Yuki lontarkan untuk Amanda. Dia tersenyum sebentar sambil menggelengkan kepalanya karena merasa lucu dengan semua tuduhan wanita bertubuh tinggi itu."Ciuman dan lebih dari itu ... kamu salah, Yuki. Membayangkannya saja aku tidak bisa apalagi sampai melakukannya. Hubungan kita tidak dekat seperti yang kamu pikirkan itu," desah Daejung dan mulai menidurkan kepalanya di atas meja dengan perasaan bingung. Namun, dia langsung mengangkat kepalanya saat mendengar suara pintu terbuka. "Maaf, Jung. Aku pulang duluan ya," ujar Amanda langsung sambil membuka tas selempang dan mencari sesuatu di dalamnya."Biar aku anter. Kan, kamu masih harus jemput Shadam." Daejung beranjak dari kursi dan melangkah menuju Amanda berada. Namun, wanita beranak satu itu melarangnya."Eh, nggak perlu. Aku bisa pesan taksi kok. Kamu juga kayaknya lagi sibuk banget hari ini. Besok kita juga ketemu lag
"Tadi itu siapa? Teman atau sahabat." Daejung menoleh sebentar untuk melihat wajah Amanda yang sedang duduk di sampingnya. Setelah acara selesai mereka langsung memutuskan untuk pulang dan berencana menjemput Shadam lebih dulu ke kediaman teman Daejung."Tadi teman satu kantorku dulu waktu masih bekerja. Kita juga nggak terlalu dekat seperti sahabat.""Berarti dia juga tahu dong soal suami kamu ....""Mantan suami, Jung, bukan suami," ralat Amanda dan memotong ucapan Daejung."Kalian masih berstatus sebagai suami-istri di mata negara. Kalian kan juga belum benar-benar bercerai.""Bisa kita bahas hal lain aja, Jung. Kamu tahu benar kan kalau aku sama sekali nggak mau bahas dia," desah Amanda sambil menahan rasa nyeri yang mulai menyerang hatinya."Sebenarnya perasaan kamu buat dia seperti apa, Amanda. Apa benar kalau perasaan kamu buat dia udah berubah tapi aku malah merasa kamu masih sangat mencintai pria itu," jeda Daejung dan mulai menghentikan laju mobilnya. "Delapan tahun kita dek
Amanda mengembuskan napasnya dengan pelan setelah berhasil menenangkan Shadam yang sedang kesal karena untuk kedua kalinya dia menjemput anak itu tanpa Daejung. Shadam marah dan mengabaikan Amanda dan mengamuk saat di rumah. Namun, setelah dibujuk beberapa kali akhirnya anak itu luluh dan langsung tertidur. Kini Amanda yang harus menyelesaikan semua kegaduhan yang telah Shadam ciptakan, semua mainan yang telah dia tata dengan rapih kini berhamburan di dalam kamar bermain itu.Setelah semua tugas selesai, Amanda memilih bersantai di ruang tengah dengan secangkir teh hijau di tangannya. Ingatannya kembali pada perdebatannya dengan Daejung tadi."Shadam terlalu bergantung sama Daejung, laku gimana caranya supaya mereka bisa menjauh." Amanda memijat pelipisnya dengan kedua tangan, selama ini dia tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi bila terlalu lama dekat dengan seorang bujang. Kini dia menyesal, seharusnya sejak awal dia menolak kehadiran Daejung, setelah melahirkan seharusnya
"Ngapain lo masih di sini aja. Bukannya lo mau pergi cari Amanda. Kita juga bukan suami-istri lagi jadi nggak perlu sok-sokan perhatian sama gue," amuk Fara saat Yuda masih juga memperhatikannya selama dia dirawat di rumah sakit."Kamu udah makan, Ra? Kalau belum ... kebetulan aku bawain bubur ayam kesukaan kamu." Yuda melengos dan meletakkan dua kotak bubur ayam ke atas meja di samping berangkat rumah sakit "Keluar lo dari sini!" Fara memalingkan wajahnya dan enggan menatap wajah Yuda. Dia sudah terlanjur sakit hati dengan perlakuan pria itu yang masih saja lebih mementingkan Amanda daripada dirinya yang begitu membutuhkan teman saat barusaja keguguran.Yuda abai dengan usiran Fara, justru kini pria itu malah duduk dan bersiap untuk menyuapi wanita tersebut. Namun, bukannya menerima suapan dari Yuda Fara malah menampik tangan pria itu membuat bubur yang tadinya menggantung di udara terpelanting dan berceceran di atas lantai. Yuda memejamkan mata dan mengembuskan napasnya dengan bera
Yuda menghentikan langkahnya saat merasakan seseorang menarik kemeja yang dia kenakan. Yuda menoleh dan terbelalak saat tahu bahwa Faralah pelakunya. Dia memalingkan wajah saat istrinya itu menatapnya cukup tajam. "Jangan-jangan Fara denger lagi soal pengakuanku tadi. Tapi semoga aja dia nggak denger," ucap Tuda dalam hati."Aku minta maaf kalau udah ganggu tidur kamu. Kamu bisa lanjutin tidurnya," desah Yuda dan melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari kamar. Namun, hal yang selanjutnya terjadi malah membuatnya langsung berteriak. Fara menarik kemejanya dan membuat pria jangkung utu terjatuh je atas ranjang."Kenapa mau langsung pergi, udah capek sama sikapku, iya?" tanya Fara dengan datar membuat Yuda yang awalnya menunduk kini mendongak menatap wajah sang istri yang sedang polos tanpa make up."Bukannya gitu, Ra. Aku bener-bener minta maaf karena udah ganggu tidur kamu. Aku juga nggak bermaksud untuk ....""Apa yang kamu bilang tadi benar? Dan sejak kapan?""Hah?!" Yuda terbe
Malam yang panjang telah keduanya nikmati seolah tidak akan ada lagi malam berikutnya. Keduanya sama-sama mencari kepuasan dunia yang selama satu bulan lebih tak mereka dapatkan. Ungkapan cinta terus terucap dari bibir Fara dan jawaban Yuda seolah tidak nyambung. Pria itu masih sedikit malu walau hanya untuk mengucap kata 'aku mencintaimu' padahal Fara sudah tah benar kalau rasa cinta Yuda untuknya bukan main-main. "Ayo, aku mau denger kamu bilang gitu lagi. Please, Yud. Aku mau denger lagi dalam keadaan sangat sadar," rayu Fara yang saat ini sedang tertidur di atas bahu Yuda seusai pertempuran mereka yang entah keberapa kali."Harus banget, ya. Aku malu, Ra," jawab Yuda dengan wajah serius. "Kamu kan udah tahu kenapa juga harus diulangi lagi."Fara cemberut, tetapi tetap memaksa Yuda untuk menyatakannya lagi dan akhirnya pria itu menyatakan perasaannya kembali dalam keadaan Fara yang sudah sangat sadar.***Napas Fara tercekat dengan detak jantung yang bertalu-talu. Selembar kertas
Tatapannya nanar menatap benda bulat berwarna keemasan di atas meja. Dia menghela napasnya dengan berat dan lagi-lagi tertampar oleh kenyataan bahwa si empunya barang itu sudah lama pergi dan tak lagi peduli dengan benda tersebut. Dia ambil benda itu dan memegangnya dengan jari teluk dan ibu jari, lalu menatap ke arah siai dalam dari cincin tersebut, membaca tiga kata yang terukir di sana."Amanda dan Angga," gumamnya dengan lirih dan kembali mendesah dengan berat.Angga terus memperhatikan cincin pernikahan milik Amanda yang wanita itu tinggalkan dengan berkas perceraian yang sudah Amanda siapkan dengan sendirinya dan juga akta perceraian yang sudah menjadi bukti bahwa keduanya sudah resmi berpisah sejak hampir tujuh tahun yang lalu.Hari itu selang beberapa bulan dari perginya Amanda datanglah sebuah surat panggilan yang mewajibkan Angga untuk datang di sidang perdana mereka. Awalnya dia tak ingin datang, tetapi Angga menyakini satu hal bahwa sang istri pasti akan datang di sidang p