Share

Bagian Tiga

"Siapa?" Anjel memindahkan tas channel-nya dari tangan kanan ke tangan kiri. Sementara matanya menelisik ke dalam butik. 

Kristin tersenyum dengan senyuman yang aneh. Dia menaikkan sebelah alis kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Anjel. "Seseorang yang biasa disebut tampan. Dia datang membawa bunga dan bau lavender."

Anjel semakin bingung, tanpa merespon perkataan Kristin, ia masuk dan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk menerima tamu di dekat kasir. Sebuah sofa beludru warna merah dan meja bundar di depannya. Sesampainya di sana, nampak seorang lelaki yang tengah mengenakan setelan kemeja warna putih dan celana jeans warna bitu gelap. Lengannya dilipat sebagian dan kancing depannya dibiarkan terbuka dua biji.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Anjel duduk di depan lelaki itu---di atas sofa tepatnya.

Lelaki yang tengah memainkan ponselnya itu mendongak dan Anjel seketika tercengang. Lelaki itu tersenyum manis, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja. "Apa kabar, Njel?"

"B—Bram?"

Bram masih tersenyum, kemudian meraih bucket bunga yang ada di sampingnya. "Ini untukmu, semoga dapat memberikan energi positif."

"Ngapain kamu ke sini?"

"Santailah, tidak perlu terlalu serius, Njel."

Anjel memalingkan wajah, sepertinya Azel benar-benat tidak menyerah. Kemudian Anjel berdiri, berjalan menuju mesin pembuat kopi yang ada di dekat mereka. "Mau kopi?"

Anjel melirik sekilas pada Bram, kemudian mengambil dua cup kopi. "Tentu, walau aku sebenarnya lebih suka susu." Nada suara Bram terdengar konyol.

"Aku tak yakin, kalau kamu tidak suka kopi," bantah Anjel seraya meletakkan kopi di depan Bram.

"Begitu pun aku ..." Bram menyesap kopinya perlahan, kemudian menatap Anjel sekilas.

"Aku tak yakin, kalau kamu tidak menyukaiku. Iya, 'kan?" Bram mendekatkan wajahnya pada wajah Anjel. Anjel tentu terkejut, sesaat ia hanya bisa mematung, namun kemudian kesadaran menyerang dan ia segera memundurkan tubuhnya.

"Bullshit! Ternyata kamu pandai merayu," ucap Anjel seraya memandang ke arah jalan. Ia melihat beberapa pengunjung memasuki butiknya. Itu tandanya hari sudah agak siang dan waktunya ia bekerja.

"Hanya itu yang ingin kamu katakan? Sepertinya, jam kerja sudah menungguku." Anjel tersenyum manis, ia kini tengah mengenalan kemeja berwarna biru langit dengan renda-renda di sekitar dadanya. Ia memadukannya dengan rok span warna biru gelap. Tak lupa, rambut panjangnya yang harum selalu dibiarkan terurai. 

"Sebenarnya cukup banyak, tapi akan kukatakan nanti saat makam malam. Bagaimana, mau?" tawar Bram. Ia menandaskan kopinya kemudian berdiri. Anjel bimbang, kemarin saat bertemu dengan Bram, ia merasa amat kesal. Tetapi di sisi lain, Bram selalu terbayang di benaknya. Apalagi, cara Azel mempertemukan mereka, rasanya cukup memuakkan. Oh ya, Anjel masih marah, 'kan, pada Azel?

"Kuharap makam malam ini akan berkesan, agar aku tak kesal lagi saat bertemu denganmu." Anjel ikut berdiri kemudian melipat tangan di dada.

"Tentu saja, kamu pasti akan ingin merasakannya lagi pekan depan. Jam tujuh malam, oke?"

Anjel tersenyum manis, sepertinya menarik untuk di coba.

***

Cuaca malam ini begitu cerah, meski sore tadi hujan mengguyur kota, tetapi kini telah berganti dengan sinar rembulan yang memancar bak batu kristal di langit. Taburan bintang turut menghiasi gelapnya warna langit, membentuk rasi indah dan sangat sayang untuk tidak diabadikan. 

"Mau makan di mana?" Bram tetap memandang lurus ke depan fokus pada jalanan. 

Anjel mengabaikannya dan malah fokus pada deretan pedagang kaki lima yang menjajakan jajanan-jajanan lokal. Mereka terlihat bahagia, meski raut lelah nampak di wajah mereka.

"Anjeline?" 

"E—eh iya?" 

Bram tersenyum miring, lalu tangan kirinya menekan-nekan layar kecil di dekat kemudi. 

"My heart will go on, selalu jadi lagu kesukaanku," ujarnya setelah sesaat judul lagu yang ia sebut mengalun merdu. 

Anjel hanya mengangguk-angguk. "Aku lebih suka lagu korea," ucap Anjel merasa tak mau kalah.

"Kenapa? karena oppa-oppa tampan?" tanya Bram yang terdengar seperti ledekan. 

Sekarang ganti Anjel yang tersenyum miring, kemudian mengeluarkan ponselnya dan memeriksa sesuatu di sana. Nampak puluhan panggilan dari Azel, dan juga puluhan pesan darinya yang sejak pagi sama sekali tak terbalas. 

"Salah satunya, iya. Aku suka ketampanan mereka dari pada western. Selain itu, lagunya lebih mudah dilafalkan menurutku." Anjel memandang Bram, penasaran dengan reaksinya saat ini. 

"Jadi?" 

"Hm?" Anjel mendekatkan wajahnya agar bisa mengintimidasi Bram.

"Apa aku harus oplas biar mirip oppa-oppa?" 

Anjel terkejut, tak lama tawanya meledak. Ia tak menyangka, Bram akan mengeluarkan pertanyaan seperti itu. Bahkan, Anjel sampai mengeluarkan air mata saking kerasnya tertawa. Mobil berhenti, lampu lalu lintas yang berubah merah 'memaksa' tiap kendaraan agar mau mengantri. 

"Tidak perlu, kearifan lokal tetap nomor satu." Akhirnya Anjel mengeluarkan kartu as-nya. Bram menghela napas panjang, lalu tersenyum lebar pada Anjel. 

"Tidak mungkin aku menyamakanmu dengan Ahjussi Lee Jong Gi atau Oppa Cha Eun Woo, karena standar kalian saja berbeda," imbuh Anjel. 

"Maksudmu?" Bram langsung menaikkan suaranya dan mobil melaju lagi. 

Anjel tertawa lagi, ternyata Bram tidak seliar yang ia kira. Bahkan, di sisi lain ia terlihat polos dan suka mengalah. "Kalian tinggal di negara yang berbeda, tentu selain beda keturunan, kalian juga beda dalam menjalani standar kehidupan. Masing-masing punya kelebihannya."

"Jadi?" tanya Bram lagi.

"Apa lagi?" Anjel mulai kesal. 

"Apa aku masuk kriteriamu?" Bram menatap Anjel sekilas, lalu memandang keluar jendela mobil. 

Anjel tersenyum dan menatap luar jendela juga. "Tergantung, semua tidak dapat dipastikan. Apalagi hati manusia, sekarang bisa benci, siapa tahu besok suka. Dan bisa juga sebaliknya." 

Bram tersenyum lagi dan mobil pun berhenti di depan salah satu restoran mewah. Bram turun lebih dulu, lalu berlari kecil menuju pintu Anjel dan membukanya. "Izinkan aku jadi pilihan yang pertama."

***

Pukul sembilan malam, Anjel melirik sekilas arloji yang melingkar di lengan kirinya. Kemudian ia menekan bel di dekat pintu rumah. Berharap ada yang membukakan pintu untuknya. Tak lama, pintu dibuka. Seorang wanita muda yang tengah mengenakan piyama kelinci nampak nyengir kuda tanpa dosa.

"Kamu membuatku terjebak dalam semua ini," ucap Anjel sekilas lalu berjalan mendahului Azel.

Azel menutup pintu, lalu berjalan di belakang Anjel. "Aku tak tahu kalo Kak Bram akan senekat itu, loh!"

Anjel diam saja, lalu ia segera menuju dapur dan membuka lemari pendingin. Ia meraih sebotol air mineral lalu menuangkan isinya ke dalam gelas. Azel mengikuti Anjel, kemudian duduk di salah satu kursi.

"Kukira, Kak Bram akan nyerah gitu aja. Apalagi kemarin respon kakak benar-benar buruk. Ternyata, ngga!"

"Kamu, 'kan, yang paksa dia untuk datang ke butik?" tanya Anjel penuh selidik.

"Mana ada! Bahkan aku ngga ngasih tahu alamat butik kakak. Um, jadi ini tandanya? .... "

Anjel melirik adiknya sekilas. "Apa?"

Azel tertawa, "Kak Bram benar-benar serius sama Kak Anjeline. Buktinya dia mau nyari di mana kakak kerja, ngasih bunga, ngajak makan malam juga.

"Itu semua terlihat biasa di mata manusia menjelang usia 30-an. Kita masih belum tahu karakter masing-masing, bukan?"

"Ya jalani aja dulu, kakak jangan judes-judes makanya!"

Anjel melotot, ia mengangkat botol air mineral tinggi-tinggi dan hendak ia lempar pada adiknya yang suka ceplas-ceplos itu. "Ampun! Hahaha!" Azel berlari menjauh, namun tak lama kembali duduk.

Suasana hening sesaat. Anjel ingat, di rumah ini hanya tinggal ia, Azel, Pak Tomo dan Bi Asih. Ayah dan Ibu masih belum pulang, mungkin lusa. Anjel melirik adiknya sekilas, nampak Azel sedang bermain ponsel seraya tertawa sendiri.

"Kamu ... bagaimana caranya bisa mengenal Bram?" tanya Anjeline. Aneh menurutnya, jika adiknya ini yang notabene adalah anak hits yang dikelilingi anak-anak kampus malah punya kenalan sejenis Bram.

"Oh itu, dia itu salah satu direktur di tempat aku magang waktu semester 7 dulu. Aku dan teman-teman sering mengadakan praktek dan ikut kerja sama Kak Bram. Jadi kenal, deh. Pas waktu itu dia cerita kalo lagi cari pasangan yang usianya ngga jauh beda. Akhirnya aku ingat kakak, karena usia kalian cuma selisih satu tahun, 'kan?"

Anjeline mulai tertarik, haruskah ia melanjutkan hubungan ini? Apa Bram benar-benar serius?

Tbc. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status