Share

Bagian Lima

"Jadi, kapan kalian akan pacaran?"

Pertanyaan menohok yang dilontarkan ayah seketika membuat Bram dan juga Anjel bungkam. Suasana yang tadinya ramah, kini beralih menjadi kikuk dan kaku. Ayah yang sebenarnya hanya basa-basi tiba-tiba juga merasa kikuk dan salah tingkah. Bram menatap ayah dengan senyuman canggung dan Anjel sendiri malah melotot tajam. "Loh, belum pacaran ya?"

"Ayah!" protes Anjel seraya mengerucutkan bibir.

"Um, masih proses, Yah. Sebentar lagi juga pacaran, kok," jawab Bram santai dengan senyuman ramah.

Tawa ayah tiba-tiba meledak dan diringi dengan suara tawa Bram. "Ya sudah, jangan lama-lama. Ingatlah usia kalian, udah waktunya nikah!" timpal ibu juga tak mau kalah.

"Ah, ibu. Aku masih mau santai juga!" Anjel lagi-lagi protes dan ingin suaranya didengar.

"Tenang saja, Ibu. Setelah kami pacaran, sesegera mungkin kami akan menikah. Begitu 'kan, Njel?"

Anjel tak habis pikir dengan pola pikir mereka yang ingin sekali melihatnya menikah. Jawaban perasaan Bram saja belum ia jawab, apalagi pikiran untuk menuju pernikahan. Anjel menatap sang adik yang sedari tadi diam, kini dalam pandangannya nampak Azel yang tengah menatap Bram dalam diam dan dengan sorot mata yang sulit diartikan.

"Zel, kamu mau ikut?" tanya Anjel basa-basi.

Azel sontak menoleh dan kikuk dengan pertanyaan sang kakak. "Eh, ke mana? Ngapain? Ngga lah!" Kini sang adik tersebut berdiri dan menatap jarum jam yang terus bergulir.

"Bukankah kalian akan pergi jalan?" Azel melipat tangan di dada seolah-olah memberi kode pada Bram dan Anjel untuk segera pergi.

"Ah iya! Terlalu asik mengobrol dengan ayah dan ibu, sampai lupa kalau Anjel dari tadi sudah menungguku untuk jalan!" Bram menggaruk rambutnya yang tak gatal dan segera berdiri.

"Wah, iya iya. Kalian lekaslah jalan. Jangan pulang terlalu larut, ya!" pesan ibu seraya mengusap lengan Anjel yang ditutupi blezzer berbulu.

"Anjel jalan, ya!" Setelah Anjel dan Bram berpamitan pada ayah serta ibu, mereka segera memasuki mobil dan meninggalkan pelataran rumah. Suasana tiba-tiba menjadi canggung, kedua sejoli yang sebenarnya sama-sama dimabuk cinta itu tengah hanyut dalam lamunan. Terlebih lagi Anjel, sorot pandang Azel menatap Bram tiba-tiba mengusik pikirannya.

"Apa Azel merasakan hal buruk dalam diri Bram, ya?" gumam wanita cantik itu, lalu ekor matanya melirik lelaki yang kini tengah fokus pada kemudi.

Jalan kota di malam hari selalu jadi daya tarik tersendiri. Apalagi bekas hujan yang membuat jalanan menjadi basah, semakin menambah keaestetikan cahaya lampu jalan yang terpantul mengenainya. Tak ada percakapan sejak tadi, hanya ada suara musik yang mengalun dengan volume sedang. Bram sengaja menyalakannya agar tidak terlalu sepi, sebab ia merasa gugup sekali. 

"Tadi saat di rumah, kamu aktif sekali." Anjel memecah keheningan, tetapi matanya masih terpaku menatap sesuatu di luar jendela yang mungkin menurutnya lebih menarik untuk dilihat. 

"Chemistri, aku ingin terlihat sebagai orang yang ramah di depan orangtuamu," timpal lelaki di samping Anjel.

"Jadi?" Anjel menoleh menatap Bram. "Kamu sebenarnya tidak ramah?" Kali ini dengan nada suara bernada protes. 

Bram menoleh cepat dan menatap gadis imut yang ada di sampingnya. Sejenak lelaki itu terkejut, namun sesaat kemudian tawanya meledak. "Wanita selalu begitu!" Masih dengan tawa yang tak kunjung berhenti, ia menginjak pedal rem sebab lampu lalu lintas yang berubah merah. 

"Aku mengatakan begitu bukan berarti aku tidak ramah. Ibaratnya aku mau memperkenalkan diriku bahwa aku ini memang baik dan pantas dijadikan menantu! Paham?" 

"Lalu kenapa kamu menyalahkan wanita?" Kali ini Anjel memutar badan menatap Bram dengan tatapan tajam. Ia tak terima jika Bram begitu cepat menilainya. 

Bram mendongak sebentar, melihat hitungan mundur angka yang terpampang di samping lampu lalu lintas. Masih lama, akhirnya ia memutar badan menghadap Anjel dan mendekatkan wajahnya. 

"Wanita yang selalu penuh ambisi, sepertimu adalah kesukaanku." Nada suara yang rendah namun penuh emosi, membuat Anjel terpaku. Ia tak menyangka jika amarahnya justru membuat Bram semakin tertarik padanya. 

Bram menarik tubuhnya setelah mendengar suara klakson di belakang mobilnya lalu segera menginjak pedal gas. Ia tersenyum ringan, kalimat sederhananya sudah mampu membuat Anjel bungkam. Bahkan gadis itu tak kunjung memutar tubuhnya. 

"Ternyata menatapku seasik itu, ya?" 

Anjel segera tersadar dan sontak menarik tubuhnya. Lagi-lagi wanita cantik itu kecolongan, ia tak dapat mengendalikan emosi antara kesal dan terpanah, sial! Dengan wajah yang masih terlihat kesal, Anjel beralih menatap luar jendela mobil. Napasnya masih memburu, tentu saja. Keringat bercucuran padahal AC mobil juga dinyalakan. Pikiran Anjel berkecamuk, sebentar lagi ia harus memberi jawaban pada Bram. Ia bingung dan terlalu gugup untuk melakukannya. Apalagi, hotel? Kenapa harus tempat itu? 

"Tak bisakah kita melakukannya di tempat lain?" Anjel kini memberanikan diri menatap dan mencoba mengintimidasi Bram. 

Bram sontak mengernyitkan dahi dan turut menatap Anjel. "Melakukan apa?" 

Anjel berdecak, tak habis pikir. Selain suka menggoda, ternyata Bram punya sisi lemot. "Ah, jangan berpura-pura!" 

"Berpura-pura apa, Cantik?" Kali ini Bram benar-benar memasang wajah serius. Hal itu tetap terlihat meski ia masih fokus menatap jalanan. 

"Kamu sungguh lupa?" tanya Anjel dengan suara yang mulai merendah. Tunggu! Jika Bram memang lupa tentang jawaban yang harusnya Anjel katakan, lalu untuk apa lelaki ini mengajaknya ke hotel? Atau jangan-jangan? 

"Stop!" teriak Anjel.

Bram terkejut dan seketika menginjak pedal rem. Napas lelaki di samping Anjel terengah, sontak ia menoleh pada wanita yang ada di sampingnya. "Kenapa?!" 

"Kenapa kamu ngajak aku ke hotel?! Ha?!" kali ini Anjel benar-benar kesal. Ia menatap Bram dengan wajah marah dan merah padam. Pikirannya sudah berkeliling ke mana-mana. Sebab sedari tadi sejak di rumahnya, Bram selalu menggodanya dan memberinya chemistri-chemistri aneh. 

"Ke—kenapa? Ha? Kenapa?" Kali ini Bram yang jadi bingung dan kelabakan. 

"Jangan-jangan mau menjebakku seperti waktu itu?" Suara Anjel naik satu oktaf dan tangannya sudah merapatkan bagian depan blazzernya. Sungguh, tingkahnya membuat Bram bingung dan merasa aneh. 

"Menjebak apa?" tanya Bram seperti orang bodoh. Sungguh sebenarnya ia tak main-main. 

"Aku mau turun di sini!" Anjel memutar badan hendak membuka pintu namun gerakannya sudah di sadari lebih dahulu oleh Bram dan lelaki itu sudah lebih dahulu menguncinya.  Anjel menarik gagang pintu mobil dan menariknya kuat-kuat, merasa tidak bisa terbuka akhirnya dia menyerah. Dadanya bergemuruh, Bram benar-benar menyebalkan malam ini. "Kamu mudah sekali berubah pikiran, ya." 

"Apa?" Anjel menghadap Bram, sebab apa yang dikatakan lelaki itu sungguh membuatnya terganggu. 

"Padahal tadi saat di rumah, terlihat sekali bahwa kamu terpesona padaku. Tetapi, saat ini malah marah-marah." Bram tertawa di akhir kalimatnya. Sungguh, sikap Bram sendiri juga mudah berubah-ubah. 

"Siapa yang terpesona?" tanya Anjel dengan melebarkan bola mata, ia tak terima jika kali ini Bram begitu kepedean dengan dirinya sendiri. 

"Lalu, mengapa ekspresimu langsung berubah saat Azel menatapku begitu?" Kali ini Bram mengeluarkan kalimat yang menohok. 

"A—apa? Siapa yang berubah?" Anjel kelabakan, pipinya langsung bersemu merah bak kepiting rebus. Wanita itu kehabisan akal, semua kedoknya dibeberkan Bram tanpa ampun. Ia menyandarkan punggung dan menghela napas panjang. 

"Sial, kenapa dia bisa tahu?!" gumam Anjel sendiri.

"Aku bisa mendengarnya, Sayang. Akui saja jika kamu memang menyukaiku." Bram lagi-lagi tertawa saat mengucapkan kalimatnya. Dia seperti mendapat lotre, bisa dengan mudah menemukan letak kelemahan Anjel. 

"Apa?! Argggh! Kamu sungguh menyebalkan!" Anjel menautkan kedua alisnya, sedang giginya sibuk menggigit kuku jari telunjuknya. 

"Lihat, kamu kalah!" 

"Masa bodoh!" 

Bram masih tertawa dengan suara renyahnya. Tanpa terasa sudah hampir satu jam mereka berkendara. Kini, Bram memutar kemudi ke arah kiri untuk memasuki pelataran Hotel Diamond. Sebuah hotel bintang lima yang langganan digunakan oleh tokoh-tokoh terkenal untuk menginap saat berwisata di kota ini. 

Setelah memasuki pelataran, nampak jalanan panjang yang terbagi menjadi dua. Di tengah jalannya, terdapat taman-taman yang dihiasi bunga serta rerumputan yang hijau. Semua itu nampak berkilau saat disiram oleh cahaya lampu taman. Tepat di ujung jalan, nampak bangunan super megah dengan air mancur di depannya. Sungguh, the real hotel bintang lima. 

"Kalau kamu tidak tahu, sebaiknya bertanya." Ucapan Bram sontak membuat pikiran Anjel terganggu, sebab matanya masih fokus mengagumi keindahan hotel ini tetapi telinganya malah mendengar sesuatu yang membuatnya cukup terusik. 

"A—apa?" 

"Menurutmu mengapa aku mengajakmu ke mari? Kenapa tidak kamu tanyakan alasannya?" Bram fokus menatap jalan di depannya seraya mencari-cari sesuatu. 

Anjel baru sadar, mengapa ia tidak melakukan itu? Wanita itu menepuk jidatnya dan mulai mengakui kekonyolan dirinya. "Ah! I—itu .... " 

Kalimat Anjel dipotong oleh suara klakson dari Mobil Bram. Wanita itu mendongak seraya mengernyitkan dahi, ia mengikuti arah pandang Bram. Ternyata, lelaki di samping Anjel ini telah menemukan apa yang ia cari. Tangan Bram melambai-lambai, lalu dengan cepat menghentikan mobilnya tepat di depan seseorang yang kini berdiri di samping mobil yang juga Anjel naiki. 

Sesaat Anjel melirik sekilas pada wajah Bram, nampak sebuah senyuman manis nan bahagia di sana. Iya, senyuman yang lelaki itu berikan pada seseorang yang kini tengah Bram hampiri. Anjel sedikit beringsut, dalam hati ada sedikit rasa kesal dan panas yang menjalar. 

"Siapa wanita ini?" gumam Anjel dengan rasa kesal. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status