Share

Bagian Dua

Azel mulai mengemasi barang-barangnya dan beranjak pergi, padahal makan siangnya pun belum habis setengah. Anjel bingung dengan tingkah adiknya, lagi pula untuk apa beli bunga? Bukannya Azel tidak terlalu suka bunga?

"Kakak mau sampe kapan duduk di situ? Ayok!"

"Buat apa beli bunga? Di rumah udah banyak." Anjel masih enggan beranjak karena memang ia tidak minat. Azel memutar bola matanya dan menghampiri Anjel.

"Aku mau tunjukin sesuatu buat kakak, cepat!" Tak sabar Azel menarik tangan Anjel. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Anjel melangkahkan kaki. Melihat sesuatu yang hendak ditunjukkan padanya.

Kini mereka memasuki sebuah toko bunga yang tidak terlalu besar namun lumayan ramai. Dari luar nampak desain minimalis serba vintage yang akan menarik pembeli terutama wanita. Di depan kaca, nampak deretan keranjang-keranjang bunga yang berjajar rapi. Mulai dari bunga mawar, tulip, zinnia, lavender, azalea, anyelir dan banyak lagi. Pintu dibuka, lalu terdengar suara lonceng berdenting di atas pintu. Refleks para pengunjung menoleh seketika, melihat siapa yang datang. Namun, tak lama mereka kembali abai.

"Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita muda menghampiri Anjel. Sepertinya ia adalah karyawan di sini, terlihat dari celemek yang ia kenakan bertuliskam 'Florist –nama toko bunga ini. 

"Um, anu ...." Anjel kelimpungan. Bingung apa yang ia lakukan di sini karena Azel-lah yang memiliki inisiatif dan sekarang anak itu menghilang di antara keranjang-keranjang bunga. 

"Duh, di mana, sih, anak ini? Main ilang-ilang aja!" rutuk Anjel dalam hati. Ia menggigit bibir dan tiba-tiba muncul sebuah ide.  “Em—mau cari bunga—“  

"Anjeline?" 

Anjel menoleh ke belakang, melihat siapa yang memanggilnya barusan. Mata Anjel terbelalak, siapa dia? 

"Dia nyari saya, Mbak," ucap lelaki itu pada wanita muda di depan Anjel. 

"Oh, baiklah." Wanita muda itu pergi meninggalkan mereka berdua.  Anjel bingung sekaligus kaget, siapa yang mencari lelaki ini? Lalu, siapa lelaki ini? Tunggu, kenapa ia bisa tahu nama Anjel? 

"Tak perlu kamu bingung seperti itu." Lelaki itu tersenyum manis di hadapan Anjel. 

Tentu Anjel yang masih bingung, mencoba menerka-nerka siapa lelaki di depannya kini. Mungkinkah kawan lama yang ia lupakan namanya atau salah satu relasi bisnisnya yang tak sengaja bertemu di sini.

"Bramasta Samudra, panggil saja Bram." Lelaki bernama Bram itu mengulurkan tangannya. Sebuah isyarat untuk memulai sebuah perkenalan yang baik. 

Anjel ragu menerima uluran tangan itu, tapi ia juga tak bisa membiarkannya tak bertuan. Maka dengan ragu dan kaku ia terima. Ini adalah uluran tangan pertama yang ia terima sejak mencoba berkenalan dengan laki-laki tujuh tahun lalu. 

"Anjel, Anjelina Tamara." Senyum manis juga terukir di bibir Anjel. Tak dapat dipungkiri, lelaki di hadapannya ini memang terlihat cukup menarik. Seorang lelaki tampan berkulit bersih. Tubuh yang atletis dan suara yang berat. 

"Nama yang cantik dan imut. Seperti pemiliknya."

Anjel terperanjat, sontak pipinya bersemu merah bak kepiting rebus. Ia segera menutup mulutnya, hal yang biasa ia lakukan saat merasa malu. 

"Terima kasih, tapi kamu berlebihan. Dan ... "  Anjel menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. Sepatu flat yang ia kenakan juga turut menggesekkan diri di atas lantai, mungkin ikut gugup atau malu. 

"Terima kasih sudah menolongku barusan."

Bram mengernyitkan dahi, namun tak lama ia tertawa. "Aku serius, aku benar-benar mencarimu."

"Mencariku? Kenapa?" 

"Hai!" Tiba-tiba seseorang merangkul pundak Anjel dan sudah bisa ditebak siapa orangnya. 

"Gimana, Kak? Cantik 'kan dia?" Azel merapatkan rangkulannya pada Anjel, memperlihatkan kedekatan mereka di depan Bram. 

"Tentu, Anjel amat cantik seperti yang kamu ceritakan." Bram menunduk, meluruskan wajahnya dengan wajah Anjel hingga Anjel mampu merasakan deru napas Bram. 

"A—Apa? Apa-apaan ini?" Anjel mulai curiga dengan ini semua. Ia mundur beberapa langkah dan alisnya mulai bertaut. 

"Kak, aku ingin bantu kamu. Aku ngga mau kamu diomelin ibu terus," ungkap Azel dengan polosnya. Anjel seketika sadar, apa yang sedang dilakukan Azel pada dirinya. 

"Ngga! Apa ini? Aku ngga suka!" Anjel geram, ia meninggalkan Bram dan Azel, namun tiba-tiba sebuah tangan meraihnya.

"Tunggu, Njel! Bukan begitu maksudnya!" Bram menarik pergelangan tangan Anjel dan membuat langkah Anjel terhenti. Ia membuang napas kasar dan menghadap Bram.

"Kamu ditipu! Azel pembohong! Aku tidak seperti yang dia ceritakan! Kuharap, kamu menganggap pertemuan ini hanya mimpi." Anjel menarik tangannya dan beranjak pergi. Lonceng pintu berdenting, seseorang telah pergi.

***

Malam ini begitu mendung, tapi langitnya begitu menarik untuk ditatap. Dengan segelas susu coklat dan angin yang sesekali menerpa anak rambutnya, Anjel melepas kepenatan dan kesedihan di balkon kamar. Ia menerawang jauh, jauh sebelum kegelisahan ini menyelimutinya.

Dulu ia pernah begitu cinta, pernah begitu percaya. Pada seorang adam yang amat ia suka. Seseorang yang juga turut mengantarkannya pada kesuksesan. Andai ia dan lelaki itu masih bersama, mungkin saat ini adalah tahun pernikahan mereka yang ke tiga. Anjel sama sekali tak merasa dingin meski hanya mengenakan tank top dan hotpans berbalut gardigan. Ia menyesap susu coklatnya lalu melumat bibir, memastikan tidak ada bercak susu di sana.

Di lubuk hati yang paling dalam, tentu saja Anjel punya keinginan. Membina rumah tangga dan memiliki beberapa anak yang nanti akan membuat rumahnya berantakan setiap pagi. Melihat sebagian besar karibnya sudah mengalami itu, malah membuat keinginan itu semakin menggebu. Entah kapan, ia pasti akan bertemu dengan seseorang itu. Tetapi, segala tuntutan demi tuntutan yang terus menjeratnya terkadang membuat Anjel muak setengah mati. Dia tak suka dipaksa, ia lebih suka berjalan apa adanya tanpa ada seseorang yang menjadi perantara.

Anjel terkesiap. Jika menginat kejadian tadi siang rasanya ia ingin menampar Azel. Anjel masih menerawang jauh, jemarinya memeras gelas susu yang sudah dingin dan hampir habis. Mau sampai kapan ia dipaksa? Walau sebenarnya Anjel sadar bahwa Azel hendak membantunya. Tetapi, bukan begitu caranya. Bayangkan, bagaimana jadinya jika kamu bertemu seseorang di jalan dan tiba-tiba mengajak berpacaran? Geli, bukan?

Anjel tiba-tiba bergidik, ia menggelengkan kepala karena mengingat bagaimana hangatnya tangan Bram saat menyentuh telapak tangannya. Atau senyum Bram yang menawan dan terlihat manis. Anjel suka lelaki itu, tapi ia tak suka kesan pertama saat mereka bertemu. Malam semakin larut, Anjel melangkahkan kaki memasuki kamar. Setelah mencuci muka dan memakai skincare malam, ia duduk di samping ranjang. Ponsel yang sedari tadi bergetar cukup mengusik pikirannya.

Ia melihat beberapa pesan, memeriksa ada hal penting atau sekadar memeriksa grup chat yang biasanya hanya membahas sesuatu yang tengah hangat terjadi. Tak ada yang istimewa seperti biasanya. Lalu benda pipih itu ia matikan dan diletakkan di atas nakas. Tidur adalah salah satu pilihan terbaik untuk melupakan masalah.

***

Ting! Roti yang dipanggang oleh Anjel sudah menyembul keluar. Dengan cekatan, ia memindahkan roti-roti ke atas piring lalu membawanya ke meja makan. Setelah duduk dan hendak menuang segelas jus jambu, Azel tiba. Namun kini tanpa suara TOA seperti biasanya. Anjel diam, ia pura-pura tak tahu saat Azel menatapnya intens. Selain itu, ia masih cukup marah atas perbuatan Azel kemarin.

"Tumben bukan kopi." Azel meraih dua lembar roti lalu berjalan menuju alat pemanggang. Jika biasanya ia akan merengek minta dipanggangkan, maka kini tiba-tiba ia bisa melakukannya sendiri.

"Bukan urusanmu." Jawaban menohok, mungkin akan membuat Azel jera dan mengerti. Anjel mengoleskan selai kacang di atas rotinya. Lalu melahapnya perlahan. Tangan kirinya sibuk mengulir layar ponsel, membaca sesuatu yang ada di ponsel terlihat lebih menarik ketimbang membalas tatapan mengintimidasinya di seberang meja.

"Kak, udah dong, marahnya!"

Anjel diam dan memilih segera menghabiskan sarapannya. Ia tak bisa membohongi perasaanya jika memang ia tengah kesal. Maka, inilah Anjelina dengan dengan segala keteguhannya.

"Aku berangkat, nanti jangan telfon aku. Aku cukup sibuk di butik dan kamu makan sianglah sendiri."

Anjel meraih tasnya lalu melenggang pergi. Jika biasanya ia masih berpamitan pada ayah ibu, maka kini tidak lagi. Mereka berdua sedang ke luar kota mengurus cabang perusahaan ayah yang baru saja selesai dibangun.

Mobil Merchi Anjel membelah jalanan yang padat. Kemacetan yang tak dapat dihindari selalu menjadi santapan sehari-hari warga ibu kota. Dengan mengalunkan musik, Anjel bersenandung kecil seraya menepuk-nepuk kemudi. Sesaat ia tersadar, bahwa ucapan Azel ada benarnya. Tumben tidak minum kopi? Ah, sepertinya Kristin lebih tahu apa yang akan ia minum saat berkutat di meja kerja.

Tibalah Anjel di The Dress, seperti biasa, Kristin akan membukakan pintu dan mengucapkan selamat pagi pada Anjel. Namun, kini ....

"Kak, ada yang mencarimu." Anjel mengernyitkan dahi, siapa lagi ini?

Tbc. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status