Dipta merasa kesal dan akhirnya meluapkan semuanya. Emosi yang selama ini dipendamnya meledak begitu saja, tak terbendung lagi. Ia memukul meja, membanting berkas-berkas yang sedari tadi digenggamnya, dan berteriak, “Kalian sudah keterlaluan!”
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena amarah, tetapi juga karena rasa kecewa yang teramat dalam. Selama ini, ia mencoba menahan semuanya, berharap keluarganya bisa berubah, bisa memahami. Tapi harapannya hanya tinggal harapan kosong.Ayunda, yang sedari tadi berdiri tak jauh darinya, segera memeluk tubuh lelaki itu dari belakang. Pelukannya erat, tulus, mencoba menjadi tempat bersandar bagi sosok yang terlihat kuat di luar, namun menyimpan luka yang tak terucap.Di balik tubuh kokohnya, ada hati Dipta yang kosong dan rapuh. Semua yang ia bangun, semua kepercayaannya, diruntuhkan oleh orang-orang yang seharusnya menjadi pelindung dan pendukung utamanya.“Kamu sekarang nggak sendirian. Ada aku di sini, Dipta,”Setelah badai demi badai mengguncang keluarga mereka, akhirnya mereka memutuskan pergi menjauh sejenak dari hiruk pikuk kota. Bukan ke tempat mewah atau luar negeri seperti kebanyakan pasangan mapan. Mereka memilih tempat yang sederhana: sebuah vila kayu di dataran tinggi, di mana embun pagi jatuh tanpa terganggu, dan matahari terbenam tenggelam perlahan di balik siluet gunung.Di sanalah, mereka berjalan berdua menyusuri padang hijau, menertawakan tingkah si kembar, dan menikmati keheningan yang sudah lama tak mereka rasakan. Bukan keheningan karena jarak, melainkan ketenangan setelah berhasil melewati semua luka bersama.Sore itu, ketika langit berubah jingga keemasan dan angin gunung menerpa lembut pipi mereka, Ayunda menyandarkan kepalanya di bahu Dipta. Suaranya lirih, hampir kalah oleh desir daun dan gemerisik senja.“Aku tahu kita sudah bahagia dengan Aluna dan Elvano,” bisiknya. “Tapi ada bagian dari hati kita yang ingin melengkapi. Bukan karena kurang tapi karena cinta kita m
Beberapa minggu berlalu. Proses hukum Aryo berjalan cukup lancar. Berkat itikad baik dan bantuan dari Dipta serta Ayunda, masa penahanan Aryo kemungkinan besar akan dipersingkat. Ia masih harus bertanggung jawab, tentu saja, namun kini ia melaluinya dengan kepala tegak—bukan karena tidak bersalah, tapi karena ia mulai belajar menerima dan memperbaiki kesalahan.Di rumah, suasana sudah jauh berbeda. Dina mulai membuka diri. Ia kembali menulis—kegiatan lamanya sebelum semua masalah datang. Sebuah catatan harian kecil kembali mengisi meja kamarnya. Catatan itu bukan sekadar pelampiasan rasa, tapi cara dirinya memaafkan dan bertumbuh.Sementara itu, anak-anaknya perlahan kembali ceria. Mereka sudah mulai mengikuti les online, bersosialisasi lagi, dan paling sering—bermain bersama Aluna dan Elvano. Bahkan kini mereka menyebut rumah Ayunda sebagai rumah kedua mereka.Suatu malam, ketika langit begitu cerah dan bintang terlihat jelas, Ayunda duduk di balkon kamar, menggendong Aluna yang belu
Pengacara itu memberi waktu sejenak, membiarkan Dina meredakan emosinya. Sementara itu, Ayunda menatap saudara iparnya dengan penuh keteguhan—tatapan seorang perempuan yang telah melalui badai, dan kini menjadi pelindung bagi yang lain.Setelah suasana sedikit tenang, pengacara itu berdiri dan menutup berkasnya.“Saya pamit dulu, akan segera urus semuanya hari ini. Nanti sore saya akan kembali dengan update terbaru.”Setelah sang pengacara pergi, Dipta mengantar Dina ke ruang belakang agar ia bisa menenangkan diri. Sementara itu, Ayunda menuju dapur. Ia butuh waktu sendiri sejenak—bukan untuk menangis, tapi untuk menata ulang pikirannya. Terlalu banyak yang harus dihadapi, terlalu banyak luka yang harus disembuhkan, tapi ia tidak boleh jatuh.Tak lama kemudian, ibunda Dipta masuk ke dapur. Ia membawa sebuah gelas berisi susu hangat, lalu meletakkannya di depan Ayunda.“Ayunda,” panggilnya lirih.Ayunda menoleh, sedikit terkejut. “Iya, Bu?”“Saya minta maaf. Selama ini mungkin saya ter
Saat waktu makan malam tiba, Ayunda turun terakhir dari kamar. Ia mengenakan piyama satin berwarna merah marun yang sederhana namun anggun. Tangannya masih terbalut perban, tapi ia tetap tersenyum, berusaha menutupi rasa sakit yang sesekali masih menusuk.Ia melangkah ke ruang makan, dan mendapati keluarga besar Dipta sudah duduk di meja makan, tetapi belum ada yang menyentuh makanan."Loh, kok belum mulai makan malam?" tanya Ayunda heran, menghampiri meja makan.Ibunda Dipta tersenyum lembut. "Kami menunggu kamu, Ayunda. Masa kami mulai makan tanpa tuan rumah?"Ayunda tertawa kecil sambil menarik kursinya. "Jangan sungkan begitu dong, Bu. Kita semua keluarga. Aku juga jarang sekali ikut makan malam, jadi kalau memang sudah lapar, makan saja lebih dulu."Dina hanya tersenyum, namun dari matanya terlihat ia masih menyimpan banyak beban. Sementara anak-anaknya duduk di samping, berusaha tenang walau jelas mereka belum sepenuhnya pulih dari rasa malu dan takut.Tak lama kemudian, Dipta y
Sesampainya di rumah, Ayunda mendapati kedua orang tua Dipta tengah duduk di ruang tamu dengan wajah sembab. Tangisan mereka tidak bisa ditutupi lagi.Ayunda tidak terkejut. Ia bisa menebak, mungkin saja Dina sudah lebih dulu memberi kabar tentang penangkapan suaminya yang akhirnya membuat semua kebenaran terbuka.Tanpa banyak bicara, Ayunda melangkah masuk. Namun, tiba-tiba, ibu Dipta bangkit dari duduknya dan berlari ke arahnya. Ia langsung bersimpuh di hadapan Ayunda, menangis sambil memohon maaf.Ayunda kaget, ingin rasanya menarik wanita itu untuk berdiri, tapi ia tahu ini adalah bentuk penyesalan yang tulus. Tak berselang lama, ayah Dipta pun melakukan hal yang sama. Lelaki yang selama ini keras dan penuh gengsi itu kini menunduk, memeluk istrinya, lalu menatap Ayunda penuh sesal."Ayunda maafkan kami ... kami salah besar. Kami buta oleh ego dan gengsi," ucap ayah Dipta dengan suara bergetar.Ayunda menahan air matanya. Bukan karena ingin terlihat kuat, tapi karena hatinya remuk
Setelah pagi menyapa dengan tenang dan suhu tubuh Dipta mulai normal, Ayunda akhirnya bisa menghela napas lega. Tapi kelelahan semalam mulai terasa. Mata sayunya menatap Dipta dengan senyum tulus, namun sembab karena tak tidur.Dipta, yang baru saja membuka mata, menyentuh lembut wajah Ayunda. Tangannya gemetar, tapi sentuhan itu mengandung ribuan kata yang tak terucap.“Kamu malaikat, ya?” bisik Dipta pelan.Ayunda menggeleng kecil, senyum getir mengembang di bibirnya.“Bukan. Aku cuma istri yang nggak bisa tidur kalau suaminya sakit.”Dipta menariknya pelan ke dalam pelukan. Ayunda menurut. Di dada yang masih lemah itu, ia rebah sejenak, menikmati detak jantung yang mulai kembali normal.Kamu nggak sendiri, Dipta ada aku. Ada kita. Dan ada si kembar."Kalimat itu seperti doa yang disematkan di udara, menegaskan bahwa apa pun badai yang datang, mereka takkan goyah lagi.Hingga pukul sembilan pagi, terdengar suara bel pintu. Pelayan membukanya, dan Kayla masuk dengan senyum lembut. Di