Victor menarik napas dalam-dalam. Lehernya terlihat membengkak menahan amarah dengan frustasi yang memuncak.
“Tuntutanmu tidak masuk akal. Kamulah yang harus mengembalikan mahar yang kuberikan padamu sebelum kita menikah. Karena kamulah yang meminta cerai, kamu wajib mengembalikannya kepadaku. Tapi kamu malah tidak memasukkannya ke dalam dokumen-dokumen ini,” bantah Victor.
“Kamu ingin bercerai dan berniat mengeruk hartaku? Oke saja! Aku akan segera membawa masalah ini ke pengadilan!”
Victor langsung menuju kamarnya. Dia hanya mencuci muka, lalu menelepon untuk memesan taksi.
Dia keluar dari kamar, masih dengan amarah memenuhi hatinya. Langkahnya begitu tegap dan kaku dengan kepalan tangan terkepal. Jika Emma laki-laki, dia pasti akan menghajar wajahnya. Tapi dia masih mampu menahan amarahnya dan masih bisa berbicara dengan tenang dengannya.
“Aku sudah memesan taksi! Kita akan menyelesaikan masalah ini secepatnya.”
Namun Emma masih berdiri di sana dengan tangan disilangkan di depan dada. Victor sedikit bingung dan penasaran, karena seharusnya ini adalah kemauan Emma untuk menyelesaikan perceraian itu. Tanpa sepengetahuan Victor, saat ini Emma sedang menunggu kedatangan seorang pria yang akan menjemputnya.
Begitu Victor membuka pintu, ternyata pria itu sudah ada di hadapannya, terlihat hendak mengetuk pintu. Pria itu langsung nyengir bruk dengan wajah mengejek begitu mereka bertatap muka.
Victor terkejut karena ini bukan pertama kalinya dia melihat wajah pria itu. Dia masih mengingat wajah arogan dengan rambut cokelat klimis bergaya pompadour itu dengan jelas. Begitu juga dengan pria itu, mengenali wajah Victor dengan baik.
“Oh, hai! Bukankah kau si pengantar pizza itu? Apa yang kau lakukan di sini?" pria itu menyapanya.
Dia adalah Lucas Atkinson, pria yang sama yang ditemui Victor sebelumnya di perusahaan farmasi kemarin siang. Tentu saja Victor tidak melupakan wajah pria yang baru saja mengusirnya saat mengantarkan pizza, dan juga menghinanya sebelum pergi.
“Seharusnya aku yang bertanya di sini. Apa yang kau lakukan di rumahku?” balas Victor.
“Oh sayang! Apakah itu kamu?” Emma menyelonong, dan mulai bertingkah seperti perempuan jalang yang baru saja menemukan pelanggannya.
Dia mengusap dada pria itu begitu hangat di depan Victor. Padahal, statusnya saat ini masih istri sah Victor karena belum selesai mengurus perceraiannya.
Victor tak menyangka wanita yang selama ini begitu berharga dan cantik di matanya ternyata bertingkah serendah pelacur. Emma dulunya adalah sebuah permata terbaik yang dia temukan dalam hidupnya. Tapi sekarang, wanita itu hanya terlihat seperti berlian sintetis hasil lab yang cacat di matanya.
Pria bernama Lucas itu bahkan tidak menahan diri di depan Victor. Dia melingkarkan lengannya di pinggang Emma dan mendekatkan hidungnya ke telinganya.
“Apakah dia suamimu?” tanya pria itu sambil senyum yang terkesan memancing perkara dengan Victor. “Aku tidak percaya wanita secantik dirimu mau menikah dengan pecundang menyedihkan sepertinya. Apakah kamu sudah menceraikannya?”
“Kamu datang pada waktu yang tepat. Kami akan menyelesaikan perceraian ini sekarang juga. Kita tidak bisa tinggal lama di sini. Ayo pergi!”
Emma meraih tangan Lucas dan membawanya ke mobil BMW mewah milik pria itu. Victor hanya bisa menatap penuh kebencian. Dia bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun karena betapa marahnya dia.
Setelah mengantar Emma masuk ke mobilnya, pria itu melirik ke arah Victor dengan wajah terkesan mengejek, terlihat puas seakan dia telah memenangkan sesuatu dari Victor.
“Apa kau ingin ikut denganku? Atau haruskah aku membayarkan taksi untukmu?”
Dia kemudian terus berjalan ke sisi lain mobil, mengetahui bahwa Victor tidak akan pernah menerima tawarannya. Ia bahkan membelai bodi mobil mulus itu sambil berjalan, sembari terus menatap Victor dengan seringai buruknya.
Victor belum pernah merasa begitu terhina seperti ini seumur hidupnya. Dihina oleh Emma, orang yang dicintainya, begitu melukai perasaannya. Namun kini ia harus menerima bahwa pria yang sangat dibencinya adalah orang yang mencuri Emma darinya.
“Aku tak akan membiarkanmu menang. Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan satu sen pun dari perceraian ini,” gumamnya dalam hati, penuh amarah.
Mobil BMW itu masih di sana, belum juga berangkat, karena Victor sendiri masih berdiri di depan rumahnya. Ketika Victor sudah melihat taksi yang dipesannya, barulah ia mengunci pintu dan meninggalkan rumah.
Saat Victor baru saja masuk ke dalam taksi, si sopir taksi tersenyum padanya. Bukan senyuman ramah, tapi lebih seperti mengejeknya sambil tertawa kecil.
Victor memang keluar dari rumahnya dalam keadaan berantakan. Dan sepertinya supir taksi tersebut cukup familiar juga dengan wajahnya. Meski begitu, Victor berusaha mengabaikannya dan memintanya untuk mengemudikan saja taksi itu.
Setelah taksi itu pergi, barulah Lucas mengemudikan mobilnya, mengikuti taksi tersebut dari belakang.
Dan sama seperti supir taksi lainnya di kota, kini lelaki tua berkumis putih ini pun mulai mengajak Victor berbincang ringan.
“Baru akan berangkat bekerja pada jam segini? Apakah kamu tidak takut pria Italia itu akan kembali memarahimu lagi?” dia bertanya.
“Hah?” Victor merespons dengan sedikit penasaran.
Dia sedikit bingung, bagaimana sopir taksi itu bisa tahu tentang dirinya. Seingatnya, dia biasanya tidak naik taksi untuk berangkat kerja selama ini.
Namun kenyataannya, selama ini Victor telah keliling kota selama bertahun-tahun mengantarkan pizza. Entah berapa banyak supir taksi yang mengenal wajahnya karena selalu melihatnya di jalanan. Sama seperti sopir taksi tua ini, dia bahkan tahu di mana Victor bekerja.
Victor semakin kesal karena lelaki tua itu terus berbicara dengannya dengan nada mengejek. Bahkan seorang sopir taksi yang kerap ramah terhadap penumpang, kini juga meremehkannya.
Dengan sedikit helaan nafas, Victor pun membuang muka, menoleh ke pinggir jalan. “Aku sudah tidak bekerja dengan orang Italia itu. Jadi berhentilah menggangguku. Kemudikan saja mobilnya.”
Sopir taksi itu melirik ke arah Victor melalui kaca spion. Dia kemudian tertawa dengan sedikit terbatuk.
“Apa kamu mendapat pekerjaan baru di tempat lain? Melihat penampilanmu, aku meragukannya.”
“Hey, orang tua! Jika kau bisa menutup mulut sampai kita tiba di tempat tujuanku, aku akan membayarmu dua kali lipat,” jawab Victor dingin.
“Ya, ya! Tentu! Seperti dugaanku. Anak-anak zaman sekarang memang terlalu tak sabaran. Kau bahkan membuang-buang uang hanya karena rasa kesal itu.”
Victor menoleh ke kaca spion, menatap dingin ke arah mata pengemudi tua itu yang kebetulan juga sedang meliriknya melalui cermin yang sama. Namun lelaki tua itu tidak peduli betapa kesalnya Victor saat ini, dan terus terkekeh menggelengkan kepala.
“Aku harap ini bukan uang terakhir yang akan kamu berikan padaku. Ups, aku terus saja berbicara. Maafkeun, maafkeun!” kata si supir taksi, menutupi ucapannya dengan tawa acuh tak acuh.
Tiba-tiba Victor mendapatkan telepon lagi dari Viona, wanita yang sama yang menelponnya sebelum ia memutuskan untuk berhenti bekerja dengan pria Italia itu.
[Di mana kamu saat ini?]
“Aku sedang dalam perjalanan menuju ‘John Brown Law Firm’ untuk mengurus perceraianku. Ada apa?”
[Perceraian? Hei, Victor! Aku tidak peduli soal masalahmu dengan penyihir jelek itu. Kami akan mengadakan rapat dengan para manajer lainnya di sini. Orang-orang sudah menunggumu sedari tadi. Bukankah sudah aku katakan untuk datang ke kantor pusat Counterbrand pukul 8 pagi ini?]
Semakin Victor menunjukkan wajah serba salahnya, pria itu semakin yakin bahwa Victor benar-benar seorang pencuri. Dalam benaknya, ketakutan Victor adalah ketakutan pencuri yang baru saja tertangkap.“Pencuri mana mau mengaku kalau dia adalah seorang pencuri?” kata seorang laki-laki dari kerumunan.“Logika macam apa itu?” bantah Victor pada orang yang baru saja menuduhnya. “Mereka yang bukan pencuri pun, tidak mau mengakui dirinya sebagai pencuri? Dasar bodoh!”“Kamu benar-benar pandai berkilah! Aku yakin kau pasti sudah berlatih berkilah setiap hari,” kata pria bernama Andrew itu sambil masih memegang kerah baju Victor.“Sudah kubilang, aku tidak mencoba mencuri tasnya!”“Oh, benar juga! Kenapa tak kau katakana saja itu pada polisi nanti. Tapi untuk saat ini, aku perlu…”Andrew menarik tangannya ke belakang, hendak melayangkan pukulan. Namun tiba-tiba seorang lelaki tua memukul punggung Andrew dengan tongkat.“Dia mengatakan yang sebenarnya! Kau dan gadismu itu perlu berterima kasih p
Hari Sabtu pun datang, sama seperti hari-hari Sabtu lainnya bagi sebagian orang. Tapi itu berbeda untuk Emma. Dia masih tertidur meski sudah lewat tengah hari.Dia masih mengenakan pakaian yang sama yang dia kenakan untuk bekerja tadi malam. Tempat tidurnya berantakan dengan salah satu sepatunya di atas bantal. Ada juga beberapa kaleng bir kosong di mana-mana.Sejak bekerja paruh waktu sebagai operator drive thru di “Peccato Legale”, bar milik pria bernama Robert itu, Emma harus bekerja lembur hingga lewat tengah malam.Meskipun dia kembali ke motel sebelum jam 3 pagi, dia baru tertidur sebelum fajar. Bahkan itu hanya setelah dia menghabiskan beberapa kaleng bir. Tapi sekarang, minuman keras itu masih mempermainkan pikirannya.Alkohol itu begitu efektif dalam menghentikan otaknya menghasilkan hormon kecemasan sejak tadi malam. Itu juga efektif membuatnya melupakan semua masalahnya.Namun, ketika efek minuman kerasnya mereda, kecemasannya justru meningkat. Sekarang dia mengalami sesuat
Jimmy menyajikan kopi untuk mereka. Setelah itu, dia sedikit menykamurkan bokongnya di atas meja, dan mulai berbicara untuk memancing perhatian mereka ke arahnya.“Aku tahu kamu adalah Viona Emery, wakil presiden di Counterbrand. Aku tidak akan menyembunyikan siapa diriku di depan orang sepertimu. Jadi, apakah kamu sudah selesai menghakimi diriku?” dia bertanya dengan percaya diri.Viona tersenyum dengan sedikit berceletuk. “Aku tidak datang ke sini untuk memintamu bekerja untukku, tapi hanya untuk menemani orang di sebelahku ini, pemimpin di perusahaan Counterbrand,” jelas Viona.“Eh?!” Jimmy menjawab dengan sedikit terkejut dan senyuman yang tidak pasti, tak menyangka bahwa klien barunya adalah seorang presiden sebuah perusahaan besar.Melihat betapa tenangnya Victor saat ini, Jimmy langsung mengubah sikapnya. Dia merapikan rambut dan pakaiannya sedikit, dan duduk di kursinya dengan memulai sikap profesionalnya.“Jimmy Farion siap melayani anda, menyelesaikan masalah tanpa masalah!
Ia mulai ragu dengan niatnya untuk berbuat sesuatu di lelang tersebut. Sepertinya dia harus menerima tawaran apapun yang akan datang pada cincin yang akan dia jual.“Sudah, suruh mereka pergi,” kata Victor kepada Emma.Kedua orang itu pun pergi begitu saja bahkan sebelum Emma menyuruh mereka pergi.“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Viona.“Kita bicarakan saja nanti. Kita temui saja pengacara itu dulu!” Jawab Victor sambil bangkit dari sofa dengan wajah lelah.Pada akhirnya, mereka meninggalkan rumah dengan Viona yang mengendarai Ferrari untuknya. Victor sama sekali tak membuat wajah tak bersemangatnya, tak menyembunyikan betapa kecewanya ia pada Viona.Meski begitu, dia tahu bahwa tak bisa juga menyalahkannya. Viona sudah mengatakan bahwa dia tidak akan mengasuhnya lagi. Bagaimana pun, tentu dia menyadari bahwa sebagian besar masalah ini disebabkan oleh kesalahannya sendiri, perselisihan pribadinya dengan Emma.Tapi tetap saja…“Bagaimana kamu bisa kepikiran menggunaka
Victor berdiri di sana sambil memalingkan wajahnya, terlihat sangat sulit menerima apa yang disampaikan Viona kepadanya.Seperti kekhawatiran Viona sebelumnya, jelas perkataannya telah melukai harga diri Victor karena kebaikannya dianggap kenaifan.Victor memang tidak pernah menerima setiap kali ayahnya mengatakan bahwa kebaikannya itu adalah sebuah kesalahan. Dia merasa nyaman dengan dirinya, tapi ayahnya melihatnya sebagai sebuah kelemahan dalam dunia bisnis.Viona tidak mengatakan sepatah kata pun setelah itu dan membiarkannya. Dia duduk di sofa dan menyalakan TV. Tidak ada yang ingin dia tonton, hanya berusaha mengalihkan perhatiannya dari Victor, sambil membiarkan Victor tenggelam dalam pikirannya.Tanpa memberikan jawaban pada Viona, Victor langsung memesan taksi, berniat keluar rumah tersebut dan pulang ke rumahnya sendiri. Tapi tiba-tiba, Viona memanggilnya dari ruang tamu dan bergegas menghampirinya.“Apa lagi?” Victor bertanya.“Aku sudah bertanya sebelumnya. Apakah kamu jad
Dia memang tidak tahu apa-apa tentang identitas asli Victor, selain apa yang dia ketahui tentang dirinya sebagai pengantar pizza.Motif awalnya memberi tahu orang-orang ini tentang Victor hanyalah agar mereka merampok Victor, atau mungkin membuatnya ketakutan setengah mati dengan kemunculan mereka. Dia hanya ingin mengerjai Victor untuk membalaskan kekesalannya, tak lebih.“Tolong, kasihani aku! Niatku hanya ingin memberi pelajaran pada bocah itu, dan membiarkan anak buahmu bersenang-senang dengan apa pun yang ingin mereka lakukan padanya,” pinta Benigno sambil menangis lirih.Marco menjadi semakin tidak sabaran, dan kemudian mengokang pistolnya, seolah-olah akan menembak mati pria gendut itu. Namun salah satu temannya segera menghentikannya dengan dingin.“Tunggu sebentar, Marco!” kata pria itu sebelum menepuk bahu Marco dua kali. “Ikutlah denganku sebentar!”Marco mengikuti pria itu ke ruangan lain, masih di dalam toko pizza. Dilihat dari tingkah laku Marco saat ini, sepertinya pria