Tak lama setelah deru motor pria gondrong itu menjauh, terdengar suara pintu rumah dibanting. Siapa lagi kalau bukan Desi yang membantingnya.
Aku kembali menutup tirai jendela yang kusibakkan tadi dan berjalan menuju ranjang. Tanpa sengaja, mataku tertuju pada gadget milik Mas Rafael yang berada di atas nakas. Aku berpikir, lebih baik untuk memeriksa ponsel tersebut saja, mumpung lelaki yang berstatus suamiku itu sedang mandi.
Segera kuraih HP tersebut, mencoba membukanya dengan memasukkan tanggal kelahirannya pada password yang diminta, tetapi salah. Kucoba lagi dengan memasukkan tanggal jadian kami dan tanggal pernikahan, akan tetapi tetap juga salah. Tak berputus asa sampai di situ, kucoba memasukkan beberapa tanggal penting, termasuk tanggal lahir Desi dan Jay, tetap juga passwordnya salah. Saat gadget tersebut memberi satu lagi kesempatan terakhir untuk memasukkan sandi, aku iseng memilih mengetik tanggal lahirku pada angka yang diminta smartphone tersebut,
Segera kupungut gadget yang terjatuh di lantai itu dan secepatnya men-share ke WA-ku rekaman video tersebut. Tak lama berselang, suamiku kembali dengan sekotak Pizza di tangannya.“Suara apa itu tadi, Dek?” tanyanya padaku. Tiba-tiba rona wajahnya berubah saat melihat gadgetnya dalam genggamanku. Lantas, ia meraih HP-nya dan terlihat raut mukanya memerah menahan amarah padaku. “Kamu apakan HP-ku?!” bentaknya.“Jelaskan padaku tentang video itu!!” balasku meminta penjelasannya dengan suara lantang.“Vi–video apa maksudmu?" tanyanya berpura-pura.Kuraih balik HP di tangannya dan memperlihatkan rekaman video tak senonoh antara dia dan Desi yang tersimpan di ponselnya itu.Ia tampak terkejut dan terlihat pucat melihat rekaman video yang kutunjukkan padanya dan tak menyangka bahwa aku bisa membobol password gadgetnya itu.Mas Rafael terdiam sesaat, lalu memejamkan matanya sambil memijit-mijit pelipi
Mas Rafael menindihku, aku berusaha berontak sekuat tenaga. Namun, tetap saja kekuatannya jauh melebihiku. Dia mengungkung badanku dengan tangannya, sementara kedua kakinya menjepit kedua lututku. Tiba-tiba perasaan takut menguasai pikiranku, saat tangannya mulai meraba membuka kancing atas piyamaku. Desah nafasnya yang memburu tak beraturan, membuat tanganku gemetaran menepis tangannya. Dia mulai menciumi leherku, beralih melumat bibirku, sementara tangannya yang lain, mulai nakal melucuti satu persatu kain yang menutupi tubuhku. “Tolong ... Jangan lakukan ini padaku,” mohonku padanya. “Kamu yang memulainya, aku akan meminta hakku sebagai suami malam ini,” tegasnya. “Aku mohon lepaskan aku! Aku berjanji takkan meninggalkanmu Rafael dan takkan mencari tahu masa lalumu lagi,” pintaku padanya. Dia menyeringai nakal menatapku. “Kamu tahu? Aku cukup sabar untuk tidak meminta hakku padamu selama ini, karena aku sadar tak mungkin memaksamu jika belu
Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku. Perasaan takut ketahuan menguasai diriku. Pintu di dobrak dua kali, tetapi pada dobrakkan ketiga terdengar suamiku keluar dari kamar dan bertanya ada apa pada Desi dan Steven si pria gondrong.Seketika perasaanku mulai tenang mendengar Mas Rafael keluar dari kamar. Tak berselang lama, terdengar suara ketukan di pintu kamar. “Siapapun di dalam tolong buka pintunya.” Suara khas bariton suamiku terdengar tegas dari luar. Membuatku gugup dan tak tahu harus berbuat apa.Lima menit kemudian, kembali terdengar ketukan yang lebih kuat disertai dengan ancaman dari suamiku. “ Buka pintunya sekarang atau saya dobrak. Dan jika tidak, saya akan menelepon polisi sekarang,” ujarnya dengan nada mengancam.Aku yang gemetaran ketakutan, berusaha menguasai diri dan mencoba menepis kegugupanku. Segera kubuka pintu kamar dengan kepala menunduk aku tak berani menatap pria di depanku yang beberapa menit yang lalu tel
Aku menggeliat, mencoba membuka mataku, saat merasakan tanganku hangat dan seperti berada dalam sebuah genggaman. “Aku dimana?” tanyaku memegangi kepala mencoba mengingat-ngingat. Ku edarkan pandanganku ke sekitar, hanya sebuah ranjang pasien tempatku berbaring saat ini, sebuah sofa letter L, sebuah meja kecil serta sebuah nakas.“Kamu sedang di Klinik Pelangi,” ujar lelaki yang masih menggenggam tanganku itu.“Kenapa aku di sini, Mas?” tanyaku bingung dan menarik tanganku dari genggamannya.“Hati-hati, nanti tangan kamu berdarah,” ujarnya mengingatkanku.Kulihat di tanganku terpasang selang infus. Batinku bertanya-tanya ada apa gerangan kenapa tanganku sampai terpasangi infus, apakah aku pingsan semalam? Seingatku, kemarin aku difitnah Desi kepada suamiku jika aku ada hubungan dengan Steven.Mas Rafael yang mengerti kebingunganku, menarik nafas sejenak sebelum menjelaskan padaku apa yang telah terjad
Keadaanku mulai membaik, setelah tiga hari rawat inap di klinik. Hari ini rencananya aku akan pulang ke rumah. Tampak wajah sumringah suamiku yang tersenyum manis padaku setelah selesai membereskan barang yang akan kami bawa pulang. “Kita mau langsung pulang, atau kamu mau keliling kota dulu?” tanya Mas Rafael kala kami berdua sudah masuk ke dalam mobil rush hitamnya. “Aku mau pulang ke rumah papa mama dulu. Aku sudah rindu.” Terlihat raut wajahnya sekilas murung mendengar permintaanku, sebelum akhirnya dia menanggapinya. “Kita makan sate padang dulu, Mas sudah lapar. Siapa tahu setelahnya kamu mau berubah pikiran untuk tidak ke rumah papa mama dulu sementara,” tawarnya padaku sambil memasangiku savety belt. Tak lama setelahnya, mobil yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang. Pikiranku menjelajah ke mana-mana, bagaimana bila nanti aku hamil dari hasil kejadian malam itu? Akan sulit bagiku untuk menggugat cerai bila ternyata
“Horee ...” ujar Jay kegirangan.“Kita pergi sekarang?” tanya Mas Rafael sembari memberiku senyum termanisnya.“Kemana?”“Beli es krim,”“Hmm,” ujarku sambil membuka-buka aplikasi facebook-ku.Tak lama kemudian sup jagung jamurnya sudah masak, dan Bik Ijah menghidangkannya di hadapanku.“Silahkan, Non,” ujarnya seraya membereskan sisa makanan Jay yang berserakkan di meja.Saat aku tengah menyesap kuah sup jamurnya, Mas Rafael tiba-tiba memecahkan keheningan suasana dengan mengajakku berbicara.“Dek, apa kamu sudah baikkan?“Hmm,” jawabku tak acuh padanya.“Kamu gak keberatan kan, bila Bik Ijah kembali bekerja di sini?” tanyanya hati-hati padaku.“Aku sih gak keberatan, asal gak memunculkan masalah baru aja nanti antara Desi, aku dan kamu,” jawabku retoris pada suamiku.“Karena kondi
Pagi ini Vika mau datang ke rumahku, rencananya dia akan bermalam selama dua hari. Beruntung Mas Rafael mengerti dan dia sendiri yang memintaku untuk mengajak Vika menemaniku selama masa pemulihan dengan kondisi kesehatanku yang masih belum sepenuhnya stabil. Tujuannya juga sebenarnya menginginkan aku mengajak Vika agar aku tidak terlalu merasa bosan dan sepi di rumah.Setelah menghabiskan sarapanku tadi, aku rebahan sebentar di kamar sambil menonton drama korea. Tepatnya jam 10 terdengar suara ketukan di pintu, pertanda di luar ada orang. Segera aku menuju pintu dan membukakannya, karena aku berpikir bahwa Vikalah yang datang. Mataku membelalak melihat yang datang ternyata Steven bersama dengan Jay. Sekitar dua menit kami mematung, tanpa suara dan saling menatap dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Jay memecah keheningan dengan meraih tangan kananku untuk salim.“Ante Ayena, Papa Lapael uda pulang?” Jay bertanya padaku dengan bahasa cadelnya.
“Hai Bi, “ sapa Vika pada Bik Ijah yang tengah menghidangkan makan siang di meja makan.“Kapan Bi Ijah balik ke sini?” tanya Vika setengah berbisik padaku.“Semingguan kayaknya, soalnya dia udah di sini saat aku balik dari klinik.”Vika hanya manggut-manggut sambil mencomot sepotong ayam goreng yang telah disajikan oleh Bik Ijah.“Silahkan, Non,” ucap Bik Ijah mempersilakan kami untuk mencicipi masakannya.“Ayok kita makan, sebelum makanannya dingin, mumpung masih hangat,” ajakku pada Vika sambil mengesap kuah bakso dalam mangkuk supku.Aku tertawa kecil melihat Vika yang makan begitu lahapnya.“Desi mana, Bik?” tanyaku pada Bik Ijah yang tengah sibuk mencuci piring-piring kotor.“Kurang tahu, Non. Barangkali lagi jalan sama temannya.” Jiwa kepoku tidak puas mendengar jawaban Bik Ijah. Selesai makan aku mengajak Vika untuk sejenak bersantai-sant