Nazeela tersenyum melihat Farah makan dengan lahap. Tidak berapa lama Fairuz meninggalkan kamar, wanita itu membuka kelopak mata perlahan. Yang pertama dia lihat adalah sosok sang gadis sedang menatapnya dengan mata yang diselimuti embun. Farah mengangkat tangan, sebagai isyarat dia telah kenyang. "Udah, segini aja.""Satu suap lagi, Kak," pinta Nazeela dengan sendok teracung di depan mulut Farah.Namun, Farah menggeleng. "Perutku ngga sanggup lagi. Ntar malah begah, kekenyangan. 'Kan ngga lucu," balasnya terkekeh pelan.Nazeela meletakkan mangkuk yang berisi bubur yang tinggal separuh ke atas meja yang ada di sebelah brankar Farah. Dia menelisik raut wanita tersebut. Masih terlihat pucat dengan pipi yang semakin menirus, ada cekungan di kelopak mata bawahnya, dan kulit bibir yang mengelupas. Meski seperti itu kecantikan Farah tak berkurang sedikit pun. Benar sekali, jika kecantikan itu berasal dari hati, bukan rupa. Dia pernah mendengar sebuah hadis yang berbunyi. "Ingatlah bahwa
Gerimis tak menyurutkan pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Tumpukan kendaraan di jam-jam sibuk tak bisa dielakkan, sebab para pedagang tersebut juga memakai bahu jalan, hingga kemacetan mengular sampai puluhan kilo meter.Dru memutar tape musik yang terpasang di mobilnya. Suara Mahen mengalun merdu Melantunkan lagu anyarnya.Pernah aku jatuh hatiPadamu sepenuh cintaHidup pun akan kuberiApa pun akan kulaluiTapi tak pernah kubermimpiKau tinggalkan aku pergiTanpa tahu rasa iniIngin rasaku membenciTiba-tiba kamu datangSaat kau telah dengannyaSemakin hancur hatikuJangan datang lagi cintaBagaimana aku bisa lupaPadahal kau tahu keadaaannyaKau bukanlah untukkuJangan lagi rindu cintaKutak mau ada yang terlukaBahagiakan diaAku tak apaBiar aku yang pura-pura lupaTiba-tiba kamu datangSaat kau telah dengannyaSemakin hancur hatikuJangan datang lagi cintaBagaimana aku bisa lupaPadahal kau tahu keadaaannyaKau bukanlah untukkuJangan lagi rindu cintaKutak mau ada yang
Tak semua yang kita inginkan bisa didapat. Adakalanya merancang masa depan dengan perhitungan seteliti mungkin, merasa tidak akan ada celah kegagalan mengambil tempat. Nyatanya, manusia hanya bisa berusaha, takdir seorang hamba Tuhanlah yang menggariskan dan kita hanya bisa menjalankan sebaik mungkin. Seperti skenario sebuah filem, telah terancang rapi dari awal hingga akhir.Pun dua insan yang pernah menulis kisah di masa lalu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, bergelut dengan perasaan gelisah. Dua hati yang pernah saling mengisi, mencoba mengais rasa yang dulu pernah ada. Mati-matian Farah menekan memori kala merajut kasih dengan Dru, dia tak ingin mengotori hati yang telah berpemilik. Tak mau terjebak pada romansa silam.Pun Dru. Pria itu memilih diam, seraya memandang rinai yang mulai tercurah deras. Sepertinya sang mega tak sanggup lagi menahan keinginan kandungan langit itu untuk segera mencumbu tanah. Dada pria itu seperti tertusuk duri-duri bunga mawar yang sedang mek
Nazeela tertegun melihat Dru berdiri di depan kamar rawat Hasan. Pria itu menatapnya dengan sorot lekat dan lama. Seolah ingin menggali apa yang tersimpan di sorot teduh milik sang gadis. "Kenapa?"Dahi Nazeela berkerut mendengar pertanyaan Dru. "Maksud Kakak?""Kenapa kamu simpan kesedihanmu sendiri, Zee ...? Kenapa kamu ngga cerita kalau Ibumu meninggal dunia?"Nazeela tersenyum getir. Melarikan pandangan ke arah lain. "Kakak baru pulang beberapa hari yang lalu dan selalu bertanya tentang Farah." Dia menjeda kalimatnya sesaat, seraya menghela napas perlahan. "Lagipula kita tidak sedekat itu untuk aku bercerita.""Kamu masih anggap aku orang lain?""Bukannya memang begitu? Kak Dru mantan majikan Ibu, saudara Bang Fairuz, majikanku." Mati-matian Nazeela menahan getar di nada suaranya. Mendengar kalimatnya sendiri, seolah menyadarkan siapa dirinya dan itu semakin membuat ngilu kembali bertandang ke dada.Dru maju selangkah. Melipat jarak yang dibentangkan Nazeela. "Jangan bicara seper
Tangan Fairuz meremas kepalan tanah dari gundukan makam Farah yang ditaburi bunga. Tatapannya nanar ke arah nisan yang bertuliskan nama sang istri tercinta. Siluet kebersamaan mereka satu per satu datang menghantamnya. Senyum manis dan tulus selalu terukir di bibir sang wanita. Kemanjaan, canda, dan semua lelucon yang selalu menghidupkan rumah tangga mereka. Tidak pernah dia merasa jatuh cinta setiap hari kepada lawan jenis, tetapi sejak mengenal Farah, mata Fairuz tertutup untuk wanita lain.Berkali-kali Fairuz meyakinkan diri kalau semua yang terjadi hanya mimpi buruk dan Farah akan membangunkan, seraya menyodorkan segelas air mineral, lalu membaringkan kepala sang pria ke atas pangkuan. Wanita itu akan melantunkan sholawat hingga sang suami kembali tertidur.Rinai yang berderai dari mega membuyarkan kenangan tersebut. Ingatan Fairuz dipaksa kembali pada kenyataan di.hadapan, bahwa yang kini ada di depannya adalah makam Farah, tempat peristirahatan abadi sang terkasih. Ngilu berulan
Fairuz bersidekap dengan wajah datar, sementara matanya sibuk memindai ruang tamu yang berukuran 4 × 3 m persegi. Tidak ada yang spesial dari rumah tersebut, kecuali potret Dru kecil yang sedang duduk di atas kuda poni. Sepertinya foto itu diambil di luar negeri. Fairuz menebak umur pria itu sekitar sepuluh tahun. Dru memang beruntung, besar dengan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Kepergian mereka pun tidak setragis dirinya. Kedua orang tua Dru meninggal saat pria itu telah menginjak dewasa. Mungkin itulah yang membuat hidupnya begitu terlihat begitu menyenangkan, seolah tak ada beban yang mampu membuatnya terpuruk. Tentu saja, harta warisan cukup untuk tujuh turunan, bisnis keluarga otomotis jatuh kepadanya sebagai anak tunggal. Berbeda dengan Fairuz yang harus kehilangan kedua orang tua sejak kecil, untuk bertahan pun harus dengan kemampuan dia sendiri. Akan tetapi, pria itu bangga dengan apa yang sudah dicapainya selama ini. Namun, semua keberhasilan itu terasa si
Apa?!" Fairuz menggosok telinga pelan ketika seruan histeris Ratmi menusuk indera pendengarannya. Wanita itu syok ketika sang anak menceritakan niatnya untuk menikahi Nazeela."Bu, ngga usah berlebihan gitu. Aku nikah sama orang, bukan sama monster sampai harus sehisteris itu," tegur Fairuz, sambil meneguk air mineralnya.Ratmi menggeleng dengan raut tak percaya pada keputusan Fairuz. Mengapa pria itu memilih gadis yatim-piatu itu? Padahal ada Kinaya yang lebih segala-galanya dari gadis miskin tersebut. Untuk keturunan, wanita itu jelas berasal dari keluarga terhormat. Ratmi dan Ibu Kinaya bersahabat sejak kecil, soal status sosial jangan ditanya, wanita itu satu-satunya pewaris kekayaan keluarganya, meski umurnya memang tak muda lagi, tetapi bukankah dia masih berstatus gadis. Lagipula cinta wanita itu tak diragukan lagi pada Fairuz. Dia rela menggadis demi menunggu si pria kembali dan membuka hati. Alih-alih Fairuz malah menikahi Farah."Pokoknya Ibu ngga setuju! Apa kurangnya Kin
"Silakan diminum, Kak." Nazeela meletakkan secangkir kopi di atas meja. Dru tidak mendengar ucapan si gadis karena sedang asyik memerhatikan aneka macam tumbuhan yang ditanam di pekarangan rumah. Banyak tanaman yang dia kenal sebagai apotik hidup, sepertinya Nazeela lebih suka tumbuhan bermanfaat untuk kesehatan tubuh daripada sekadar tanaman hias. Terdapat tanaman kumis kucing, sambiloto, temulawak, dan lidah buaya."Aku lebih suka memanfaatkan lahan untuk hal yang penting saja, Kak." Nazeela ikut berdiri di samping Dru ketika menyadari arah pandangan pria tersebut.Dru tersenyum seraya menelengkan kepala menatap Nazeela. "Lalu aku bagaimana?"Nazeela menatap bingung, "Ha!"Dru terkekeh melihat raut gadis itu. Mungkin Nazeela tidak menyadari mulutnya sedang menganga dengan mata mengerjap beberapa kali. Pria itu sudah mengulurkan tangannya hendak mengusap kepala si gadis yang tertutup hijab instan berwarna hitam. Akan tetapi, tangannya tertahan di udara mengingat Nazeela tak nyaman,