Laksa sungguh kesal dengan laki-laki itu, apalagi panggilan mereka berdua yang terdengar sangat mesra di telinganya, sebagai suami tentu saja dia cemburu, hatinya tak cukup lapang untuk membiarkan orang lain memberi perhatian pada sang istri.
Entah apa hubungan Luna dan Dinosaurus itu. Laksa bukan laki-laki yang pencemburu sebenarnya, dulu bersama Raya dia tak akan ambil pusing saat pacarnya itu makan malam romantis dengan kawan modelnya atau dengan beberapa laki-laki, dia tahu itu pekerjaannya dan dunia, Laksa tak berhak melarang, tapi dengan Luna dia selalu merasa tidak senang jika ada laki-laki yang dekat dengan istrinya itu, meski dengan alasan teman atau semacamnya. Laksa di dera kebimbangan hatinya terasa tak nyaman rasa takut kehilangan membuatnya menempatkan Luna dalam sangkar yang dia buat. Apa ini perasaan yang wajar untuk seorang suami? “Kakak kenapa?” tanya Luna yang ternyata mengikuti Laksa ke dalam kamar. “Kamu makanLuna menggelengkan kepalanya, mungkin hanya perasaannya saja. Sekali lagi dia menatap pada gadis yang masih terpaku menatap mereka lalu pada sang tante yang berjalan cepat di depannya seolah di kejar maling. “Oma kenapa, Dio?” tanya Luna pada putranya, tentu saja bayi mungil yang baru berumur beberapa bulan itu tidak menjawab, hanya tangannya yang berusaha meraih wajah sang mama dengan ceria. “Jangan melirik tante terus nanti kamu tambah sayang.” Luna hanya nyengir, dia juga seperti para wanita kebanyakan yang akan kepo dengan keadaan di sekitarnya, apalagi kalau itu menyangkut orang yang dia kenal, meski Luna bukan orang yang berpengalaman dalam majelis pergibahan tapi tetap saja, tapi di sini dia cukup punya power untuk mencari tahu. Yah dia bisa bertanya pada bagian HRD nanti. “Kamu masih waras bukan.” Sang tante memandang Luna dengan aneh bahkan untuk meyakinkan hatinya, dia meletakk
Sebuah komputer yang terhubung dengan semua komputer pada jaringan Sanjaya Group, laporan akan otomatis tervalidasi, oleh sebuah sistem pintar yang telah dibuat Dirga, jadi Laksa hanya cukup memeriksanya jika memang menemukan parameter yang tidak sesuai dengan yang dia harapkan. “Wah bagus sekali, jadi aku tak harus mondar-mandir ke kantor cabang, dari satu komputer aku bisa tahu semua,” kata Laksa. “Tepat sekali.” “Kamu hebat Dirga bisa membangun sistem manageman serumit ini,” Puji Luna tulus. “Itu ideku, Dirga hanya menjadikannya sebuah sistem di komputer,” kata Laksa seolah tak terima dengan pujian sang istri untuk sepupunya. “Eh, kerja sama kalian memang sangat baik,” kata Luna tak terpengaruh. Dirga hanya tertawa mendengar suami istri itu berdebat, mereka memang benar-benar menggemaskan. Bunyi ponsel Luna memutuskan diskusi mereka sejenak. “Ayah,” gumam Luna lirih. Dia segera beranjak berdiri dan
“Hah! Aku tidak menyangka ternyata kamu memang sangat kaya.” Dirga bersiul melihat laporan di tangannya. Saat ini mereka memang hanya bertiga saja berada di ruangan Luna, sedangkan Mama Dirga dengan baik hati mengajak Dio berjalan-jalan di sekitar hotel.Keinginan sang mama untuk memiliki cucu dari Dirga memang sudah dalam tahap kritis, Telinga Dirga sampai pengang mendengar omelan sang mama setiap harinya, dan mengajak Dio adalah solusi terbaik yang bisa dia pikirkan untuk saat ini, supaya dia lebih berkonsentrasi pada apa yang dia kerjakan. “Apa maksudmu bukankah itu seperti pengetahuan umum saat kamu SD,” kata Laksa sinis. “Yah tentu saja, bahkan sampai kamu tidak tahu banyak aset keluargamu yang terbengkalai seperti ini” Laksa meraup wajahnya kasar, dia juga tak habis pikir kenapa ayah dan kakeknya membiarkan hal ini berlarut-larut, mereka berdua bukan tipe orang yang ceroboh, tapi kenyataan di lapangan sangat bertolak belak
Laksa hanya mengangguk sekenanya dan membiarkan sang istri pergi, dia begitu tenggelam pada laporan yang dibuat sang istri, sempat tidak percaya juga tapi tidak mungkin bukan Luna akan memanipulasi laporan ini, buat apa coba. “Jangan terlalu dipikirkan nanti kamu cepat tua,” kata mama Dirga yang masuk bersama yang lain. “Setidaknya aku sudah punya anak dan istri, tante,” kata laksa dengan pandangan mengejek pada sepupunya. “Teruskan saja mengejekku, kalau mau aku meninggalkan semua,” kata Dirga dengan sewotnya. Urusan jodoh memang dia sangat sensitif apalagi di depan sang mama yang sangat bersemangat untuk menjodohkannya dengan siapapun wanita yang menurut sang mama potensial untuk dijadikan menantu. “Itu memang benar, lihat Laksa sudah punya Dio, sedangkan kamu menaklukkan satu wanita saja untuk dijadikan istri tak mampu.” Dirga langsung diam, kalau sang mama sudah ngomong dia bisa apa. “Kita makan dulu saja, aku
Seperti dugaan Luna sebelumnya, tidak mudah bekerja sama dengan orang yang sudah memiliki kekuasaan lama, mereka cenderung sombong dan merasa sudah banyak pengalaman. Hal yang jamak terjadi memang, apalagi bisa dikatakan Luna hanya menang di status saja, sebagai istri Laksa. “Ibu hanya istri pak Laksa, bukan berarti ibu bisa ikut campur masalah pekerjaan bapak.” Luna memandang laki-laki paruh baya di depannya ini dengan pandangan menyipit, tatapan matanya terkesan meremehkan membuat Luna sebal luar bisa. Dia bukan orang yang suka sekali membedakan orang lain berdasaran pangkat dan kedudukan, tapi sepertinya saat ini hal itu sangat perlu dilakukan, beberapa hari yang lalu Laksa sudah mengajarinya untuk menjadi sombong, jadi tidak ada salahnya kalau ilmu itu dia terapkan. “Saya kemari bukan sebagai istri Pak Laksa tapi sebagai staff khusus yang melakukan audit, tapi bila saya mau saya juga bisa mengatakan perlakuan anda pada suami saya, saya yak
Luna langsung gondok setengah mati. “Kakak nggak lupakan kita sudah punya Dio, dia masih minum Asi dan juga kakak yang harus rutin terapi, kalau aku kerja siapa yang akan melakukan itu semua.”Laksa menatap istrinya dengan rasa bersalah, seharusnya dia memang tidak membebani istrinya tapi mau bagaimana lagi. “Kamu bisa bekerja hanya setengah hari, sementara Dio bisa di rumah sama aku.” “Hah?” “Aku kan kerja dari rumah untuk sementara.”“Jadi kakak akan mengambil peran jadi bapak rumah tangga gitu?”Laksa tertawa mendengar komentar Luna. “Kamu itu ada-ada saja, jadi bagaimana? Aku sengaja tidak mengatakan langsung padamu anggap saja ini kejutan,” kata Laksa sambil nyengir. Luna mencibir sebentar, tapi dia tentu tahu suaminya pasti melakukan hal ini dengan sebuah tujuan, saat ini sangat sedikit orang yang ada di sisi Laksa, tapi pertanyaan terbesarnya adalah apa dia tidak akan mengecewakan suaminya? “Apa sebenarnya tug
Luna membolak-balik surat yang memang ditujukan kepadanya ini dengan heran. “Ini surat siapa yang ngantar, Bi?” tanya Luna pada Bibi yang memberinya surat itu. “Kata Ujo tukang pos yang tadi kemari mengantar surat itu,” jawab Bibi. Pos? Kok aneh ya, dan lebih aneh lagi surat ini berasal dari orang yang bernama Bu Tati, dan alamat yang digunakannya adalah alamat kantor pusat Sanjaya Group. Dengan rasa penasaran yang menggunung Luna lalu menyobek surat itu dan matanya makin melotot menatap isi dalam surat itu, bagaimana dia tidak kaget isinya adalah surat panggilan kerja dari kantor pusat yang sekarang ini di pimpin oleh suaminya sendiri dan parahnya dia tidak pernah merasa telah mengirimkan surat lamaran ke sana, sejak dia diterima di Hotel Sanjaya waktu itu. Tergesa Luna berjalan ke ruang kerja suaminya dan mengetuk pintu sejenak, setelah empunya menyuruhnya masuk, Luna langsung berjalan menghampiri suaminya. “Ini maks
Nah lho, Luna harus jawab apa coba, kenapa laki-laki satu ini jadi sensitif, padahal tadi dia biasa saja menggoda assisten rumah tangga yang masih muda. “Heran saja, setelah Mas Dirga tiba-tiba ngilang tahu-tahu hari ini muncul lagi.” “Aku bukan tiba-tiba ngilang, tapi sedang sibuk dengan pekerjaanku.” “Jadi sekarang sudah selesai pekerjaannya?” “Belum lah.” Lah kok?“Dia mau sekalian numpang sarapan, biasalah belum ada yang ngurusin setiap hari.” Luna menoleh ke belakang dan mendapati Laksa menggerakkan kursi rodanya dengan Dio yang ada dalam pangkuannya. “Astaga, nanti Dio jatuh bagaimana.” Luna langsung mengambil putranya yang ada di dalam pangkuan sang ayah, seperti mengerti kondisi sang ayah putra kecilnya itu hanya diam sambil memainkan tangannya. “Tidak akan jatuh, dia anak yang tenang,” kata Laksa sambil tersenyum manis menenangkan. “Biar aku gendong saja,” kata Dirg
Luna merasa Laksa mendjadi lebih pendiam akhir-akhir ini, bahkan dia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja daripada menemani Luna dan putra mereka seperti biasanya. Di minggu pertama Luna masih bisa maklum, Laksa memang masih harus menyesuaikan diri dengan ritme kerjanya yang baru, dari dulu memang dia pekerja keras tapi sekarang dengan beban pekerjaan yang tidak sedikit sudah pasti waktu yang dibutuhkan lebih banyak. Masalahnya Luna juga tak ingin Laksa mengabaikan kesehatannya sendiri. “Kak,” panggil Luna sambil melongokkan kepalanya di ruang kerja suaminya. “Masuk, Sayang tidak dikunci kok.” Luna langsung masuk dan meletakakan secangkir teh dan makanan ringan di atas meja kecil. “Aku bawa makanan kecil buat kakak.” “Terima kasih, tarus saja di situ nanti aku makan,” kata Laksa tanpa mengangkat kepalanya. Luna menghela napas dalam, suaminya sudah bekerja sejak sore tadi dan bahkan makan malam Luna ju