Aku terus mengamati hingga sosok itu berada di depan mata.“Mau ke kantor? Mirza juga baru berangkat bareng ibu tadi?” ujar ibu, lumayan ramah. “Katanya sih, mobilnya kamu sita. Kok, tega ya?”Baru juga dipuji, sudah keluar aslinya. Aku mendesah kesal.“Bukan menyita, Bu. Tapi sengaja mau membagi gono-gini. Masuk dulu, Bu.” Aku mengajak ibu masuk dan langsung disambut oleh mama.Aku berusaha menyimpan ego, begitu pun mama. Berusaha agar tidak terjadi ketegangan pagi ini. Selain lelah, aku juga malu didengar tetangga.“Jadi begini, Bu Widya. Semalam Mirza pulang naik taksi. Saat ibu tanya, dia bilang mobilnya masuk harta gono-gini yang akan dibagi nanti. Tapi saya heran sama Mala ya? Belum cerai kok sudah sibuk jual ini itu. Rumahlah, mobil bahkan yang paling menyakitkan hati kami, Mala mengambil motor milik Melati. Apa gak keterlaluan namanya?” ucap ibu tak ada basa-basi.Ucapan ketus, raut wajah sinis dan sedikit meledak-ledak, adalah ciri khas ibu ketika berhadapan denganku. Tak ter
Aku ke kantor dengan tergesa-gesa. Ponsel di dalam tastak berhenti berdering. Pasti Lian yang menelepon. Aku mengacuhkannya karena harusfokus mengendarai mobil. Diangkat pun, Lian hanya akan mengomel.Lelaki itu sedikit sensitif dan kurang sabaran jika ada teman atau karyawan yang tidak disiplin. Untungaku saudaranya, sehingga sudah mengerti sifatku. Aku tak pernah menggubris meski Lian mengomel nantinya.Benar saja. Di depan lobi pria itu tampak mondar-mandir. Dia langsung menyambut kedatanganku dengan sorot kekesalan.“Gak usah merepet. Aku baru saja kedatangan tamu yang bikin jengkel.Mau tau siapa orangnya.” Aku langsung memberikan sebuah map yang kubawa dari rumah.“Siapa?” tanyanya sambil menjajari langkahku.“Ibu,” jawabku singkat.“Dan kamu rela menanggapi ocehannya, begitu?”“Ck, gak sopan juga aku tinggalkan. Lagian, ini tadi terpaksaaku tinggal pergi. Untung ada mama yang menemaninya.”“Gak sebanding kalau lawannya tante Widya. Mana bisa marah. Cuma kamu yang bisa mengimbang
Seperti biasa, Hesti tampak kikuk menghadapiku.Tak berselang lama, tampak mas Mirza dengan rambut yang acak-acakan keluar di belakang Hesti.Oh ...! Aku tersenyum kecut. Kasihansekali diriku ini melihat pemandangan di depan mata. Suamiku baru saja keluar darikamar bersama maduku. Lalu tampak seperti habis bergumul. Ya Allah kuatkan.“Dek,” panggil mas Mirza. Bagus, masih mengingatku rupanya. Aku membuang pandangan.Aku tak menjawab, menoleh pun tidak. Aku menarik nafas dan mengembuskannya hingga berulang kali.Huft, sesak dadaku.“Sesak dadaku, Mas melihat pemandangan ini. Aku berkata jujur saat ini,” ucapku. Mas Mirza mengambil tempat duduk berseberangan dengnku, sehingga tatapan kami mau tak mau harus beradu.“Aku bingung, Dek. Meminta maaf pun, kamu tak akan memaafkan. Aku bisa apa?”“Entahlah, aku bingung. Wanita itu membuatmubanyak berubah.” Aku menatap tajam Hesti yang berdiri. Dia terkejut ketika aku menyebut namanya.“Aku gak ngerti apa-apa. Kenapa dibawa-bawa?” jawabnya menge
Lian memapah ketika aku berhasil berdiri. Tak ada Satu pun yang berani membalas ucapan Lian. Mereka tau siapa Lian dan tindak tanduknya, termasuk mas Mirza yang diam-diam juga sangat segan pada pria berkharisma ini.“Ayo kita pergi. Tempatmu tidak di sini. Kamu gak layak berada di sini.” Lian menghentikan setengah menggandeng keluar, tetapi aku merasa ada yang belum usai.“Sebentar Lian.”Aku berbalik. Lian membiarkan aku berjalan tertatih mendekati Hesti. Aku sudah sudah kehilangan rasa hormat, maka aku lemparkan kertas dari ibu ke wajahnya.“Aku bukan lagi istrinya. Aku janda sekarang. Jadi, tugas menjadi mesin pencetak uang, aku serahkan kepadamu. Selamat menikmati. Semoga kamu betah menjadi kacung di rumah ini.”Aku menatap nyalang satu persatu wajah-wajah mereka yang tertunduk, terutama mas Mirza. Ibu pun tak lagi terdengar suaranya.Lian datang mendekat dan menyambar tanganku. Bergerak cepat agar aku segera keluar.Di teras rumah ini, aku tergugu.“Jangan menangis!” bentak Lian.
Hening, kecuali suaranya yang terdengar tegas.“Sudah berapa lama kamu mengabaikan mamamu? Bahkan kamu sendiri sudah lupa mungkin, kesukaan tante Widya, makanannya, kebiasaannya. Atau jangan-jangan kamu lupa sudah lupa cara berbakti, sehingga-““Cukup, Li. Ucapanmu lama-lama menghakimiku.”Aku berdiri, cepat berlalu meninggalkannya. Pintu mobil kubuka dan tutup segan keras. Tadinya nyaman-nyaman saja mendengarkan penuturannya. Lama-lama bosan. Dia malah terkesan mengungkit kesalahanku.Aku tau, aku salah. Tapi tak satupun manusia yang mau ketikadia terpuruk malah gak mendapatkan penghakiman. Aku gak butuh itu.Aku butuh didengar, bukan mendengarkan omelan yang ujung-ujungnyamengungkit kesalahanku.Malas..Lian mengantarkan aku sampai di rumah. Aku langsung turun tanpa meminta dia mampir atau mengucapkan terima kasih karena mau mengantarkan ke rumah ibu.Ada mama di teras. Mama menyambut Lian. Tentu saja langsung berbincang sampai lama sekali.Mereka memang cocok. Bahkan mama akan mem
POV Mirza“Mau ke mana, Mas?”Panggilan Hesti membuatku menoleh. Tadinya ingin pergi tanpa sepengetahuan dia, malah jadi kepergok begini. Terpaksa menuruni motor, lalu balik lagi ke dalam.Hesti mengelus perutnya yang sudah memasuki bulan kedelapan. Aku merengkuh bahunya dan mengajak masuk.“ Mau ke mana? Sudah jam sembilan ini,” tanyanya. Dia memang sedikit posesif akhir-akhir ini. Mungkin karena hamil tua.“Mas kangen sama Zaki,” jawabku.Hesti menghentikan langkah sebelum sampai di ranjang.Aku tau, dia pasti mau protes. Kubawa dalam rengkuhan sambil mengajaknya duduk.“Sebentar saja,” ucapku lagi.“Kenapa malam-malam begini?”“Namanya juga kangen.”“Sama mamanya kan?” Hesti bersungut kesal.Mulai lagi.“Nggak, Sayang. Kan aku sudah menceraikan Mala. Gak usahdibahas lagi, ya? Cuma sebentar doang. Tidurlah, nanti aku bawakan martabak manis.”Aku merebahkannya ke pembaringan, lalu membentang selimut. Meninggalkan sebuah kecupan sebelum pergi.“Jangan lama-lama. Jam 10 harus sudah samp
POV Mirza**Aku menghentikan laju motor ketika sampai di depan rumah. Rumahku dulu saat hidup bersama Mala dana Zaki. Sekarang sudah menjadi mantan. Mantan rumah hunian. Hanya tinggal menunggu hari sebelum pemilik yang baru menempati.Sengaja mencari tempat parkir di luar pagar. Sebab, aku malu jika Mala akan menertawakan aku yang saat ini kesulitan masalah ekonomi. Aku mengendarai sepeda motor, tak ingin dia melihatku seperti ini.Uang hasil bagi penjualan mobil berada di tangan ibu. Biasanya, uang yang masuk ke ibu pasti sulit untuk diambil lagi. Alasannya, akan dipergunakan untuk biaya makan dan sebagian lagi di tabungan.Aku mengetuk pintu.Dadaku berdebar mendatangi rumah yang sudah tiga tahun aku tempati. Sudah sedemikian jauhaku berubah, sehingga rumah dan lingkungan sekitar terasa asing.Tiba-tiba dadaku berdebar ketika seseorang membuka pintu. Mala, mungkinkah dia. Apakah dia memperbolehkan aku masuk setelan kejadian siang tadi?“Mama,” sapaku ketika tampak sosok mama, buka
POV MirzaSatu panggilan tak terjawab terlihat di ponselku. Mala calling.Benarkah dirinya?Aku tersenyum semringah. Akhirnya, sesuatu yang kunanti- nantikan datang juga. Dia pasti mengajak bertemu.Aku mencari tempat yang lumayan sepi untuk melakukan panggilan. Semoga kali ini dimudahkan. Berharap ada jalan yang mulus untuk bisa membuat aku dan Mala bersama kembali.“Assalamualaikum,” sapanya.Hatiku tiba-tiba berbunga-bunga, seperti ada kupu-kupu yang tengah beterbangan. Ternyata Mala tidak berubah. Dia masih seperti dulu, mengucapkan salam ketika menerima panggilan dariku. Nada suaranya pun sangat lembut. Aku merasa, Mala yang dulu kembali pulang.“Mas.”Dia memanggilku?“Iya, Dek. Kenapa? Ada perlu?” tanyaku beruntun karena saking senangnya.“Datang ke rumah sekarang juga. Aku tunggu,” ucapnya tanpa basa-basi.“Oh, oke. Aku segera datang.”“Makasih, assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Tiba-tiba ada yang mengalir sejuk di dalam sini. Ada pengharapan baru.Aku segera meluncur ke rum