"Aku nggak mau pake cincin, Bang," rengek Arka di dekat sebuah toko perhiasan."Udah tinggal lima langkah lagi kita masuk toko loh, Ka."'Ternyata mode jinaknya nggak bertahan lama.' Caraka menatap Arka dengan kesal. "Kenapa nggak bilang dari tadi pas masih di jalan?"Arka tampak berpikir untuk menjelaskan apa yang ada di pikirannya. Tapi ia terlalu bingung.Tadi, saat Caraka lagi-lagi menggenggam tangannya, Arka seperti tersihir.Bodoh memang.Yudha juga selalu menggenggam tangannya ketika mereka berkencan, tapi genggaman Caraka terasa berbeda. Karena itu, Arka hanya diam saat Caraka mulai melajukan mobilnya.Namun, setelah tiba di parkiran sebuah mall, otak Arka tiba-tiba bisa bekerja dengan normal lagi.Cincin kawin tentunya akan terlalu mencolok kan? Bagaimana kalau teman-temannya tahu dan bertanya, apa yang harus dijawab Arka? Sementara pernikahannya dengan Caraka memang belum diresmikan secara hukum dan secara umum."Aku baru kepikiran, Bang. Gimana kalo temen-temenku tau, giman
"Kenapa Yud?""Ini Mas Arga, Dek.""Mau ketemu di mana?" Entah alasan apa yang membuat Arka berpura-pura menerima telepon dari Yudha.Rahang Caraka mengeras mendengar Arka seperti mengatur janji temu dengan seseorang yang dipanggilnya 'Yud', yang ia tebak adalah Yudha, mantan pacar Arka."Siapa yang mau ketemu sih?" Arga menggeram kesal. Menjauhkan ponselnya dari telinga dan meneliti sekali lagi, jangan-jangan ia salah menekan nomor telepon."Bisa, kamu nggak ngerasa kamu lagi buang-buang waktu buat ketemu aku?""Dih, Adek mas lagi gesrek."Setelah itu, Arga menutup sambungan telepon dan berganti menghubungi Caraka.Beberapa detik setelah arka menutup telepon, ganti ponsel Caraka yang berdering. Tanpa curiga, Caraka mengangkat telepon dari kakak iparnya."Si Arka kenapa itu?" tanya Arga begitu teleponnya diangkat Caraka."Kenapa gimana?" tanya Caraka sambil melirik ke arah Arka."Barusan, ditanya apa jawabnya apa."Caraka mengulum senyumnya. Jadi panggilan telepon yang masuk ke Arka s
-London, lima tahun lalu-Arga menyeret kopernya melintasi lorong menuju apartemen Caraka yang berada di ujung koridor.Setelah mengetuk pintu beberapa kali, seseorang membukakan pintu untuknya. Bukan Caraka, melainkan seorang wanita. Wanita itu mengenakan dress putih longgar sepanjang lutut dan tersenyum dengan ramah.Sebenarnya Arga tidak terlalu kaget. Memang karena alasan ini ia sampai harus menempuh perjalanan hampir delapan belas jam, melintasi benua, demi meluruskan kabar yang didengar dari eyangnya."Mas Arga?" Suara Caraka dari dalam apartemen membuat dua orang di depan pintu yang belum sempat bertegur sapa itu menatap Caraka bersamaan.Jantung Caraka menggila saat melihat sosok yang ada di balik pintu. Dengan tergesa ia mendekat. "Masuk dulu, Mas.""Saya nggak ganggu kalian?" tanya Arga dingin.Caraka menggeleng, berniat membantu Arga membawakan kopernya namun ditepis begitu saja oleh Arga."Saya rasa kita perlu bicara. Berdua." Arga bahkan belum duduk di ruang tamu aparteme
-London, lima tahun lalu-Caraka melepas cengkeramannya di leher Arga. Ia sadar apa yang dikatakan Arga adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapinya. Melibatkan diri dengan keluarga Bestari adalah anugerah sekaligus musibah.Keduanya kini bersimpuh di lantai hotel, Caraka bersandar pada kaki sofa sementara Arga bersandar pada kaki ranjang. Pergulatan mereka memang hanya berlangsung sebentar tapi sudah berhasil membuat keduanya kehabisan tenaga.Arga terkekeh melihat keadaannya dan Caraka yang berantakan. Kalau Arka tahu ia sadu jotos (lagi) dengan orang lain, adiknya itu pasti akan mengomelinya dua hari dua malam. Dia tidak akan peduli siapa yang salah, yang Arka pedulikan hanya keadaan kakaknya yang sering mendaratkan pukulan ke orang lain."Eyang tau kamu di sini deket sama cewek. Kamu nggak sebodoh itu kan? Nggak mungkin kamu nggak tau kalo Eyang nyuruh orang buat ngawasin kamu. Kamu beruntung, aku bisa meyakinkan Eyang biar aku aja yang ngurus kamu. Karena kamu nggak bakal tau a
"Ma, Pa." Arka yang baru menampakkan dirinya di ruang tamu segera mendekat dan mencium pipi kedua orang tuanya. "Kok ke sini nggak bilang-bilang?""Jadi sekarang kalo Papa mau ketemu anak Papa mesti buat janji dulu?"Arka mendekat ke papanya dan merebahkan kepalanya di bahu papanya. "Nggak gitu, Pa. Kalo rumah lagi kotor, gimana? Yang ada Nyonyah marah-marah ke aku," ledek Arka sambil melirik mamanya.Avi balas melirik Arka dengan sengit, kemudian beranjak ke dapur, mengawasi ART yang dibawanya dari rumah untuk membantu menyiapkan makan malam di rumah itu."Mata kamu bengkak, Dek?" telisik lelaki paruh baya yang telah makan asam garam kehidupan itu. Memprediksi anaknya baru saja menangis bukanlah hal yang sulit untuknya. Apalagi sifat Arka sebelas dua belas dengan istrinya, sensitif, mudah tersentuh sekaligus terluka hatinya.Caraka yang duduk di single seater sofa tak jauh dari mereka hanya menundukkan kepala, tidak berani menatap mertuanya."Kalian berantem?"Arka belum sempat menja
"Abang mau ngapain?" Melihat Caraka yang benar-benar menatapnya tanpa berkedip, tak ayal membuat Arka ketar-ketir, takut kalau Caraka tiba-tiba ‘menyerangnya’, lalu ia hanya bisa pasrah, mengingat sosok Caraka yang jauh lebih besar darinya dan mampu membuatnya membeku, seperti sekarang."Loh emang sekarang Abang ngapain?"Arka mengerucutkan bibirnya, kesal karena mendapat godaan balik dari Caraka."Tangan Abang jangan ke mana-mana.""Emang tangan Abang ke mana? Kan nggak ke mana-mana." Caraka semakin berada di atas angin karena Arka mulai gelisah dan mengeluarkan semua yang ada di pikirannya."Rambutku udah rapi, nggak usah pura-pura ngerapiin rambutku buat modus megang pipiku.""Ya udah. Abang nggak modus lagi.""Hah?" Arka semakin bingung karena kini nyata-nyata Caraka membelai pipinya, bukan seperti sebelumnya yang hanya menyentuhnya dengan ringan."Arka, in case kamu belum bener-bener maafin Abang, sekali lagi Abang minta maaf ya. Abang akui Abang masih harus banyak belajar buat n
Arka terbangun saat menyadari situasi di dalam kamar yang kini tidak sepenuhnya gelap seperti tadi malam.Astaga!Jantung Arka tiba-tiba menggila saat menyadari ia menempel pada dada bidang Caraka selama tidur—setelah ia menangis sesenggukan sampai kelelahan.'Gimana ini? Tangannya Abang kenapa ada di pinggangku? Ini gimana caranya aku bangun tanpa bangunin dia?' Arka bermonolog dalam hati. Bingung setengah mati menetralkan debaran jantungnya sekaligus memikirkan cara menjauh dari Caraka tanpa membangunkannya."Udah bangun?" Caraka bertanya namun matanya masih memejam, kemudian menarik tangannya dari pinggang Arka dan mengubah posisinya menjadi terlentang.Dengan posisi Caraka yang baru ini, Arka tidak menyia-nyiakan kesempatan dan bergegas bangun.Caraka baru membuka mata setelah mendengar suara pintu kamar mandi yang menutup. Tangannya meraba dadanya, merasakan debaran jantungnya yang masih tidak terkendali."Easy boy! It's just morning hormones." Caraka memilih bangkit dari posisin
"Yudha?" Tenggorokan Arka rasanya seperti tercekat saat melihat pria yang semalam ditangisinya. "Kamu ... ngapain?""Arka, makan siang yuk. Kita perlu bicara, Ka. Maaf waktu itu aku ninggalin kamu begitu aja setelah kamu cerita masalah kamu. Aku sudah mikir berhari-hari, aku rasa aku punya solusinya.""Arka!"Arka memejamkan matanya, tanpa perlu menoleh ke sumber suara, ia sudah tahu kalau itu adalah suara Caraka. 'Apalagi ini? Kenapa mereka berdua ada di sini?'Caraka menghampiri Arka yang membeku di tempat. Sejak tadi ia menunggu di dalam mobil dan setelah melihat Arka berhenti untuk berbicara pada Yudha, Caraka tidak tahan lagi untuk menghampiri istrinya. "Jadi kan kita makan siang?" tanya Caraka yang tiba-tiba berdiri di samping Arka tanpa berjarak sambil mencium puncak kepala Arka dan membuat Arka terkesiap beberapa detik."Sorry, Yud, aku udah janji makan siang sama ... suamiku."Arka membiarkan saja saat Caraka menggandeng tangannya menuju mobil Caraka.Saat sudah berada di dal
“Arka, Abang salah apa? Kok tiba-tiba kamu marah?”Arka menggeleng-geleng. “Aku mau tidur, Bang.”“Mau dipeluk?”Lagi-lagi Arka menggeleng. Caraka menghela napas, tidak mengerti salahnya di mana. Bukannya mereka tadi sedang membicarakan resepsi pernikahan.Setelah hampir satu jam Caraka tidak menemukan apa yang membuat Arka emosi, ia mengalah pada kantuknya. Arka sudah tertidur sejak tadi, memeluk gulingnya, tidak seperti biasa yang mengiakan ketika ia menawarkan diri untuk memeluknya.Caraka terpaksa bangun jauh lebih pagi daripada biasanya karena tidurnya yang tidak nyenyak. Caraka memilih keluar kamar, menuju ruang kerjanya yang berada di lantai dua untuk mengerjakan desain salah satu proyeknya.Saat ia turun satu jam kemudian, Arka tengah duduk di stool bar sambil minum air hangat. Caraka mengernyit bingung, biasanya Arka minum air putih dengan suhu normal, bahkan kadang air dingin dari kulkas.“Udah bangun?” tanya Caraka dengan nada biasa, mencoba mengabaikan kemarahan tanpa seba
"Ehem!" Caraka berdeham sekaligus membersihkan tenggorokannya. "Buku nikah udah di tangan, terus—""Santai, Bang." Arka terlihat panik saat Caraka semakin mendekat ke arahnya.Caraka menatap Arka seperti harimau yang akan menekan mangsanya. Atau sebenarnya itu hanya ada di pikiran Arka?Dalam satu gerakan lembut, Caraka menarik Arka ke dalam pelukannya.Sepertinya ini pertama kalinya mereka berpelukan sambil berdiri. Biasanya selalu sebelum tidur sampai keesokan paginya.Ada rasa lega luar biasa di hati Caraka yang membuatnya tak henti mencium puncak kepala Arka."Jadi selanjutnya kita harus apa, Ka?"Merasakan tangan Arka yang seperti ingin mendorongnya menjauh, Caraka mengulum senyumnya. Kenapa rasanya semenyenangkan ini menggoda istrinya?"Abang, aku masih punya jatah permintaan kan ke Abang?""Hah? Jatah permintaan apa?""Waktu itu kan Abang janji mau ngabulin tujuh permintaanku, baru juga dipenuhi satu kali."Caraka menarik lagi ingatannya ke saat Arka marah padanya karena ia men
“Temenmu nggak jadi ikut?”“Masih jam makan siang, dia belum tega ninggalin café-nya. Tapi nanti dia main ke rumah. Boleh kan, Bang?”“Bolehlah. Selama temenmu cewek, Abang izinin kamu ajak main ke rumah. Tapi kalo cowok, harus pas ada Abang.”Arka mengangguk, lagipula dia tidak punya teman laki-laki.“Tadi—” Caraka ragu untuk menanyakannya, khawatir Naya mengerjainya. Biasanya persahabatan wanita seperti itu kan.“Tadi kenapa?” tanya Arka penasaran.“Sejak kapan kamu bisa main gitar?”“Dari SMP.” Arka terdiam. Ada masa-masa kelamnya yang membuat ia bersahabat baik dengan gitar, walaupun ia sudah bisa main gitar sejak SMP, tapi saat-saat terpuruknya itu lah yang membuatnya jadi mahir memainkan gitar.“Pantes jago. Suaramu juga bagus.”“Abang ngeledek ya? Pasti tadi suaraku fals. Iya?”“Nggak, Ka. Cuma … Naya ngomong sesuatu yang aneh tadi.”Arka langsung menoleh dan menatap Caraka dengan horor. Apa yang dikatakan sahabatnya yang kadang tidak punya filter itu? “Naya ngomong apa, Bang?”
"Aku bingung, Bang. Kenapa kita mesti ke pengadilan agama juga? Kirain tadi abis dari KUA langsung beres," tanya Arka bingung, setelah mereka menyelesaikan urusan di pengadilan agama.Pada akhirnya Arka memilih untuk mengambil cuti demi menemani Caraka wira-wiri ke KUA dan pengadilan agama. Walau Caraka sudah meminta Arka mengajar saja daripada harus mengambil cuti dadakan, tapi Arka tetap memilih menemani Caraka. Dia tidak terlalu resah, karena sudah meminta salah seorang guru cadangan untuk mengampu kelasnya selama ia cuti."Tadi ke KUA cuma minta surat pernyataan aja kalau pernikahan kita emang belum dicatat. Kita kan nikah siri, nikahnya udah kejadian, jadi mesti ke pengadilan agama buat minta pengesahan perkawinan. Kalo putusan pengadilan setuju, baru kita bawa putusannya ke KUA buat dicatatkan di sana. Gitu.""Eh, berarti ada kemungkinan putusan pengadilannya nolak dong?"Caraka terdiam, mengapa ia tidak terpikirkan hal itu?"Ya ... ada kemungkinan sih.""Trus gimana kalo gitu
"Kalian serius?" tanya Hadi Wijaya di tengah makan malam, setelah Caraka mengutarakan niatnya untuk mengesahkan pernikahan mereka (isbath nikah) di pengadilan agama."Kalian udah nggak bisa mundur lagi setelah ini. Arka, kamu yakin? Kalau sekarang kalian pisah, semuanya gampang, nggak perlu berurusan sama hukum." Kini Avi menatap langsung mata putrinya yang duduk di hadapannya."Ma, kok ngomongnya gitu? Mestinya kita bersyukur Arka udah mau nerima pernikahan mereka," tegur Hadi."Terlalu cepet, Pa. Mama takut nanti Arka nyesel.""Aku udah ngomongin ini sama Abang, Ma."Avi melirik Caraka dengan kesal. Entah apa yang sudah dilakukan lelaki itu pada anaknya hingga Arka bisa luluh dalam hitungan hari. "Gimana cara kamu ngerayu Arka sampe dia luluh secepet ini?""Ma." Tiga orang di meja makan itu—Hadi Wijaya, Arka, dan Arga—bersamaan menegur sang nyonya rumah."Ma, pernikahan di bawah tangan akan merugikan pihak perempuan, dilihat dari sisi mana pun, Ma." Kini Caraka angkat bicara karena
Apa impian kencan pertama bagi seorang wanita? Diajak ke restoran mewah? Diajak ke tempat yang paling hits se-ibukota? Atau diajak ke pantai untuk makan malam romantis?Setidaknya itu yang ada di kepala Caraka. Tapi Arka dengan santai menggiringnya menuju sebuah tempat makan dengan cabang franchise di mana-mana, bahkan ada hampir di setiap mall.“Arka, ini beneran nggak apa-apa makan di sini?”“Lah, memangnya kenapa, Bang? Abang ngarep makan di mana? Aku pengen chicken cordon bleu, Bang,” rengek Arka. “Udah pengen banget dari kemaren.”“Kan ada resto yang jual chicken cordon bleu juga, dan jauh lebih enak dari di sini.”“Tapi ribet. Kan kita mau nonton abis ini.”“Nontonnya di sini? Nggak di Premiere?”Arka mengernyitkan dahinya. “Abang sebelum sama aku, pernah kencan sama cewek model apa sih? Di sini semua lengkap, Abang. Nggak ribet pindah tempat, nyari parkir.”“Tapi kamu … keluarga Bestari, Ka.”“Iya, kalo Abang kencannya sama Eyang, mungkin harus bawa ke restoran mewah. Astaga, A
“Kenapa muka Abang kusut? Masalahnya belum beres?” tanya Arka bingung begitu melihat Caraka masuk ke dalam ruangannya dan langsung menuju dispenser, menghabiskan satu gelas air dingin.Caraka berbalik, menatap Arka dari tempatnya berdiri. Tidak ada yang salah dengan wanita itu. Arka tidak terlalu girly dengan pakaian serba pink seperti barbie berjalan atau menggunakan pernak-pernik yang membuatnnya seperti toko aksesories berjalan.Penampilan Arka justru terlihat simple, dengan celana jeans dan blouse putih yang dikenakannya. Tidak ada yang salah. Ia hanya tampak girly karena kitten heels yang dikenakannya. Itu hanya selera berpakaian. Kenapa Daniel sampai berkata seperti itu, Caraka benar-benar tidak habis pikir.“Bang.”“Hmm?” Caraka baru tersadar kalau ia sudah terlalu lama menatap Arka.“Kenapa? Ada yang salah?” Arka melihat lagi penampilannya, barangkali ada noda di bajunya atau sesuatu yang salah dengan bajunya.“Nggak. Nggak ada.” Caraka mendekat, melihat buku yang sedang dibac
"Arka, bisa nggak jangan naik turun tangga? Abang susah ngejar kamu.” Tentu saja itu dusta karena Caraka sudah naik turun tangga sejak Arka pergi mengajar. Kakinya sudah pulih walaupun belum bisa diajak lomba lari.“Nggak ada yang nyuruh Abang ngejar,” Arka duduk bersila di atas sofa perpustakaan, berpura-pura membaca buku karena malas meladeni Caraka.“Tapi pengen dikejar kan?” goda Caraka yang kini mengambil posisi duduk di samping Arka.“Nggak!” jawab Arka (terlalu) cepat.“Kan Abang udah pernah bilang, dari artikel—”“Coba, tunjukin ke aku artikel mana yang dari kapan itu Abang omongin!” sela Arka. Ia jadi mengira kalau Caraka membohonginya.“Udah lama Abang bacanya, lupa di mana.”Arka berdecak pelan sambil menahan wajahnya yang terasa panas, entah karena tadi dia baru saja menangis atau karena Caraka mendekatinya.“Maaf ya, Abang salah sangka. Tapi kalo kamu nanya kenapa Abang bertahan ya … karena Abang mau bertahan.”“Alasan macam apa itu?”Caraka mengedikkan bahu. Ia memang su
Sebuah rumah makan dengan konsep masakan sunda yang telah menjadi langganan mereka, dipilih Yudha untuk makan siang mereka berdua. Yudha menatap Arka, hampir tidak berkedip karena rasa rindunya pada gadis itu.Arka sedikit salah tingkah mendapati Yudha yang terus menatapnya, Hingga makanan tersaji di atas meja pun, Yudha seperti tidak ingin mengalihkan perhatiannya."Mau ngomong apa, Yud?""Gimana hari ini? Murid-muridmu pada nurut? Nggak ada yang bikin kamu harus lari-lari?"Arka terdiam. Yudha memang selalu menanyakan hal itu setiap harinya. Katanya, ia suka mendengar Arka bercerita antusias tentang murid-muridnya. Dulu, Arka suka mendapat perhatian seperti ini dari Yudha. Tapi tidak kali ini, hatinya bisa goyah karena perhatian-perhatian kecil dari Yudha."Ya gitulah, namanya juga anak-anak. Yud, aku nggak bisa lama-lama, aku mesti cepet pulang, jadi kalo kamu mau ngomong sesuatu yang penting, mending buruan deh. Kamu tau kan aku kalo laper, makanku cepet."Yudha terkekeh, tapi sep