Rasa lega langsung memenuhi rongga dada Bianca ketika ada suara yang mengintrupsi mereka. Perhatian Melodi jadi teralihkan. Wanita manis dengan rambut diikat pita yang cantik itu mendongak. Kemudian berdiri, menyambut pelukan dari wanita yang baru menyapa. "Diana? How are you?" tanya Melodi dengan suara senangnya. Wanita yang dipanggil Diana itu lantas mendudukkan diri di sebelah Melodi. "I'm good, always. Gimana kamu sama Ravindra?" Bianca menjilat bibir bawah, kembali merasa gugup luar biasa ketika mendengar nama Ravindra. Diana adalah teman Melodi, wajar kalau mereka akan membahas Ravindra. "Baik, kami dalam hubungan yang sangat baik." Melodi lalu menoleh pada Bianca, menunjuk wanita itu dengan tangan yang terentang. "Ini Kak Bianca, temannya Kak Ravi." Diana menubrukkan pandangannya pada Bianca. "Diana," katanya sembari mengulurkan tangan. Bianca menyambut uluran tangan itu dengan hangat. "Bianca." "Maaf kalau aku ganggu kalian," ucap Diana dengan suara menyesal. "Kalau git
Hingar bingar yang ada di dalam Club memang selalu berhasil membuat Bianca melupakan dunia luar sejenak. Meski tempat itu berisik dan penuh manusia berengsek, tapi Bianca menemukan rasa aman di dalam ketika berada di dalamnya. Dia memang manusia yang masa bodoh dengan etika atau bahkan dosa. Karena itu, Bianca tetap berani datang meski Ravindra sudah melarang. Sarah yang melihat kehadiran Bianca langsung menghampiri. Wanita berusia hampir empat puluh itu masih tetap cantik dengan tubuhnya yang sexy. "Kirain gue nggak bakalan liat lo lagi, Bi." Bianca tersenyum sinis. Tangan kanannya membawa rambutnya yang terurai tersampir sepenuhnya ke pundak kanan. Memperlihatkan punggung wanita itu yang backless. Kesan sexy dan liar memang sangat melekat pada image Bianca. "Gue belum mati jadi lo masih bisa liat gue," balas Bianca santai. Si cantik itu lantas melewati Sarah, menghampiri bartender yang sepertinya baru. Karena Bianca baru pertama kali melihatnya. "Lo nggak keliatan kemarin, dan
Adiwijaya adalah salah satu keluarga konglomerat yang terpandang. Bisnis hotel yang sudah memiliki nama di kalangan masyarakat membuat nama mereka juga sering kali menjadi sorotan. Apapun yang dilakukan oleh keluarga Adiwijaya tidak pernah lepas dari perhatian publik. Termasuk pertunangan antara Ravindra dan Melodi yang berasal dari keluarga Rahadi. Salah satu keluarga yang memiliki pengaruh dalam dunia penerbangan. Karena itu, meski Ravindra tidak suka dengan Melodi, dia masih harus menjaga nama baik mereka. Ravindra tidak bisa sembarangan berjalan dengan wanita lain dan mengabaikan sang tunangan. Orang tuanya bisa-bisa menguburnya hidup-hidup kalau sampai ada berita tak mengenakkan yang bisa mempengaruhi citra keluarga mereka. Melodi memperhatikan Ravindra yang bolak-balik melihat ponsel, terlihat sangat sibuk. Padahal sekarang sedang makan malam kelurga, dan lelaki cerdas itu tidak pernah memegang ponsel biasanya. "Ada masalah, Kak?" bisik Melodi. Ia juga melirik pada para oran
"Ravindra?" Lelaki itu menenggelamkan tangannya pada saku celana. Memberi kode pada Sarah untuk pergi dengan gerakan kepala. Wanita yang merupakan 'Mami' di tempat itu menurut tanpa membantah. Langsung pergi tanpa pamit, meninggalkan Bianca dengan raut bingung yang kentara. Ravindra duduk di tempat kosong yang tadinya milik Sarah. Lelaki itu memesan vodka pada bartender. "Harusnya bilang dulu kalau mau ke sini," ucap Ravindra dengan nada dingin. Berbeda dengan intonasi bicara seperti biasanya. Kali ini pria itu terlihat tak suka. "Pasti nggak bakal boleh kalau gue bilang dulu," jawab Bianca. Wanita itu menunduk, menatap jemari kukunya yang tertaut satu sama lain. Ada getaran aneh yang menjalar ke seluruh tubuh ketika Ravindra sudah berada di sisinya. Terlebih ketika pria itu diam seperti ini, seakan memberikan hukuman pada Bianca. Ravindra menenggak satu gelas kecil vodka, dan Bianca memperhatikan itu. Sexy dan panas. Dua kata yang mampu menggambarkan penampilan Ravindra malam i
Tidak ada lagi suara dalam mobil yang Ravindra kendarai. Bianca sibuk men-scroll akun sosmed, sedangkan Ravindra sendiri fokus menyetir mobil. Lelaki itu sangat berhati-hati karena jalanan yang licin, hujan yang semula gerimis sekarang cukup deras. Membuat jarak pandang Ravindra semakin kecil. Tiba-tiba ada dering masuk di ponsel Ravindra. Lelaki itu merogoh saku celana, lalu melihat ke kursi belakang. "Tolong ambilin hape di belakang, Bi," katanya. Bianca mendengus, tapi tetap melakukannya. Ia meraih ponsel di kursi belakang dengan susah payah. Bahkan Bianca harus mengangkat sedikit tubuhnya dari kursi dan berputar menghadap ke belakang. "Ngapain naruh hape di belakang gini, sih. Jadi susah, kan, ngambilnya," gerutu Bianca dengan sebal. Wanita itu mengangkat sebelah alisnya. Ada nama Melodi dan fotonya yang manis. Sangat imut dan polos, sangat disayangkan Ravindra mengabaikan perasaan wanita ini. "Dari Melodi, nih." Bianca menyerahkan ponsel pada Bianca. Ravindra berdecak seba
Decakan kembali terdengar ketika ponsel putih itu berdering nyaring. Seingatnya Bianca tidak memasang alarm semalam. Karena dirinya memang sudah berniat untuk tidur seharian. Jadi, ini pasti adalah dering ponsel. Bianca bersumpah akan mengutuk kalau sampai ini bukan hal yang penting. Dia baru saja tidur pukul empat pagi tadi. Ia masih sangat mengantuk untuk dipaksa bangun. "Hallo?" ujarnya malas. "Baru bangun?" Terdengar suara Ravindra yang renyah dari seberang telepon. Bianca mendengus, ini benar-benar nggak penting. "Gue matiin karena pertanyaan lo nggak penting." Bianca dengan kesal berniat mematikan sambungan, tetapi perkataan Ravindra langsung mengurungkan niatnya. Bahkan matanya yang masih memejam langsung terbuka lebar. "Cepat kemasi barang, hari ini kamu pindah ke penthouse." Bianca mengerjapkan mata, ia melihat kembali layar ponsel sekilas kemudian kembali menempelkan pada telinga. "Penthouse? Lo beneran beli penthouse buat gue?" "Hm." "Gue nggak mau pindah," balas Bi
Bagi Melodi yang mengartikan perasaannya adalah cinta, perkataan Ravindra tentu sangat menyakitkan. Gadis dengan wajah manis itu menunduk, menatap rok merah muda yang ia kenakan. Kemudian tanpa mengatakan apapun berdiri dan keluar dari ruangan Ravindra. Lelaki itu menghela napas. Seharian nanti pasti akan banyak pesan masuk dari Mamanya. "Bapak ngomong apa kok muka Non Melodi langsung sepet gitu?" tanya Ilham yang baru masuk ke dalam ruangan Ravindra. "Ketuk pintu dulu kalau mau masuk," ketus Ravindra sebelum berdiri dan kembali ke meja kerja. Ia berdecih melihat makanan yang tadi di bawa Melodi. "Makan ini terus kalau sudah habis tolong foto wadahnya dan kirim ke saya." "Again?" Sejujurnya ini bukan yang pertama bagi Ilham diminta memakan masakan Melodi. Dia tidak tahu kenapa atasannya itu selalu menolak makan padahal tidak ada racun di dalam masakan Melodi. Meski tidak terlalu enak tapi rasanya juga tidak mengecewakan. "Lakuin aja cepetan. Saya nggak mau lembur hari ini, jadi
Bianca memekik ketika dengan cepat Ravindra menarik tubuhnya ke atas pangkuan. Kedua tangan lelaki itu terselip di antara pinggang dan leher Bianca. Sama sekali tak memberi akses untuk wanita itu mundur. Lidah hangat milik Ravindra kembali melesak maju diantara bibir Bianca yang bercelah. Mengecap dan juga menarik di titik yang tepat, menimbulkan suara decapan yang sungguh erotis. Bianca merasa pusing, ciuman Ravindra membuatnya menginginkan lebih. Gairah dalam tubuhnya semakin memuncak dengan perlakuan Ravindra. Pinggang rampingnya diusap dengan lembut, namun, bibir Ravindra bergerak dengan ambisius. Tidak ada lagi kelembutan dalam permainan lidah mereka, karena Ravindra sekarang bahkan menekan tubuh mereka agar semakin mendekat. Bianca membawa tangannya meremas rambut Ravindra. Menyalurkan perasaan yang kini ia rasakan. Bagian bawahnya terasa sudah sangat basah dan berkedut. Ia ingin segera merasakan tubuh keras Ravindra dalam dirinya. Ini sangat gila dan memabukkan. Namun, sep