Semua Bab Istri Tanpa Suami: Bab 71 - Bab 80
143 Bab
70. Firasat
Prrang"Amira!" Ami berlari menghampiri Amira yang tanpa sengaja menjatuhkan gelas minumnya."Diam di situ, Mira! Nanti terkena pecahan kacanya!" Bik Astri yang kaget dengan suara benda pecah, bergegas ke dapur untuk mengambil sapu dan serokan sampah. "Biar saya, Non. Neng Amira, jangan bergerak ya. Biar Bibik sapu dulu," ujar Bik Astri pada Amira. Gadis kecil itu mengangguk, sekaligus takut. Air mata sudah mengalir di pipinya."Sudah sayang, sudah selesai. Ayo, sama Ibu sini!" Ami mengulurkan tangannya untuk menggapai Amira yang masih terdiam karena takut. Belum pernah sekalipun Amira terlepas memegang gelas atau pun piring."Amira kenapa? Licin ya tangannya?" tanya Ami lemah lembut. Amira sudah duduk di pangkuannya, sambil mengusap air mata. "Ibu, Mila inet Papa Emil. Kenapa kita didak ke kantol Papa, Bu?" tanya Amira lagi diiringi isakan. Gadis kecil itu begitu merindukan Emir, begitu juga deng
Baca selengkapnya
71. Farah Terkena Batunya
Farah dilarikan ke rumah sakit, keesokan harinya. Sang Mama baru saja bangun saat pukul lima shubuh dan menemukan Farah terkapar tak sadarkan diri di lantai ruang televisi, dengan bau pesing yang sangat menyengat. Lekas Bu Sinta menghubungi Daniel dan mengabarkan kondisi Farah. Begitu sampai di rumah sakit, Daniel langsung menggendong Farah masuk ke dalam ruang IGD untuk diperiksa. Seorang dokter muda yang berjaga pagi itu, segera memeriksa kondisi Farah."Apa yang terjadi?" tanya dokter itu pada Daniel dan Bu Sinta."Saya bangun pagi hari dan menemukan anak saya sudah pingsan di ruang televisi," terang Bu Sinta dengan khawatir."Aromanya tak sedap," ujar dokter itu sambil mencebik, merasa terganggu dengan bau pesing pasien yang tengah ia periksa."Maaf, Dok. Sepertinya memang anak saya buang air kecil di celana," timpal Bu Sinta merasa tak enak dengan dokter dan beberapa perawat di sana."Saya periksa dulu ya."
Baca selengkapnya
72. Emir yang Koma
Sepanjang perjalanan menuju Surabaya, dengan pesawat pribadi milik Tuan Wijaya. Ami tak hentinya meneteskan air mata, sedangkan Amira bingung, kenapa ibunya dari tadi menangis terus. Amira memang tidak tahu jika Emir sakit, Ami tak sampai hati menyampaikan kabar buruk pada Amira. Apa lagi, gadis kecil itu tahunya Papa Emir sedang bekerja. Tentulah Ami bisa dicap membohongi Amira lagi. Gadis kecil Aminarsih itu begitu pintar.Ada Bik Astri yang menemani penerbangan sore ini, Tuan Wijaya juga ikut serta, begitu juga Pak Samsul. Tuan Wijaya yang memaksa pergi ke Surabaya dengan pesawat pribadi miliknya, karena lelaki tua itu ingin mengucapkan terimakasih pada Emir, karena telah menolong cucu menantunya."Ibu, sudah ya, janan nanis." Amira bergelayut manja di tubuh Aminarsih. Bola mata abunya terus saja menatap Ami penuh harap, agar ibunya itu berhenti meneteskan air mata."Iya, Amira." Ami tersenyum, lalu menghapus air matanya. "Makanla
Baca selengkapnya
73. Pertemuan Tuan Wijaya dan Bu Farida
"Kamu ...," suara bariton tua milik Tuan Wijaya membuat Bu Farida menoleh pada sosok lelaki, yang kini berdiri dengan tongkat di depannya."Allahu Akbar! Papa?!" "K-kamu Farida, temannya Deandra'kan?" tanya Tuan Wijaya lagi sambil mendekat ke arah Bu Farida."I-iya, Pa. Ya Allah." Bu Farida menghambur ke hadapan Tuan Wijaya, bahkan ia mencium punggung tangan lelaki tua renta itu, sembari memeluknya singkat."Ada apa ini, Ma?" tanya Suraya menginterupsi. Ia merasa heran dengan kedekatan antara ibunya dan kakek sepuh yang sedang memakai tongkat ini."Kamu ingat Tante Deandra'kan? Ini mertuanya. Ayah dari Pak Broto," terang Bu Farida dengan air mata yang sebentar lagi akan tumpah. Suraya mengangguk kaku, bukankah Tante Deandra sudah meninggal bunuh diri?"Papa Emil sakit ya, Bu?" suara Amira yang kini berdiri di dekat brangkar Emir, membuat semua yang ada di sana ikut menoleh kepada Amira. Mereka tersenyum penuh ha
Baca selengkapnya
74. Emir Sekarat
Opa Wijaya, Pak Samsul, dan Bik Astri, sudah pergi menuju hotel yang terdekat dari rumah sakit tempat Emir dirawat. Sedangkan Amira dan Ami, memilih untuk tidur di rumah sakit bersama Bu Farida, karena Suraya besok harus kembali ke Jakarta. Bola mata abu Amira masih terus saja memandang Emir yang terlelap di brangkarnya. Gadis kecil itu memilih tidur di sofa yang mengarah pada Emir. Tak sedikit pun ia memejamkan mata. Amira benar-benar merasa sedih karena Papa Emirnya masih saja terlelap. "Tidur, Sayang," tegur Ami pada puterinya. Ami mengusap rambut Amira penuh sayang, lalu mengecup kepala Amira yang masih sangat harum. Jika dulu rambut dan kepala anaknya bau apek, karena hanya memakai sampo dua hari sekali. Sekarang, entah sampo apa yang diberikan oleh Bik Astri, sehingga rambut Amira selalu wangi sepanjang hari, walaupun gadis kecilnya itu berkeringat."Papa boboknya lama ya, Bu? Tapan banunnya?" Amira yang tadinya berbaring, kini memi
Baca selengkapnya
75. Guna-guna
Satu Jam Sebelum Emir Kejang.Seorang lelaki tengah berada di dalam kelas, mengajar Mata Pelajaran Bahasa Inggris, di kelas IX. Saat tengah asik menerangkan pelajaran, tiba-tiba pintu kelasnya diketuk.TokTokKleeek"Permisi, Pak Iqbal. Tolong diangkat telepon dari Pak Zaki," ujar Pak Ujang, guru olah raga yang barusan mengetuk pintu kelasnya."Oh, baik Pak. Terimakasih." Iqbal mengangguk paham, lalu mengeluarkan ponsel yang memang ia getarkan saja. Sehingga tidak mengganggu saat ia mengajar. Maklumlah, bekerja sebagai tenaga pendidik, memang sudah sangat ia sukai, sehingga walau sudah bekerja di kantor, tetap ia mengambil freelance mengajar pelajaran Bahasa Inggris di dua sekolah."Anak-anak, Bapak ijin terima telepon dulu ya," ujarnya pada seluruh siswa di dalam kelas. Lamgkahnya lebar menuju pintu keluar."Hallo, Assalamualaikum. Iya, Pak Zak
Baca selengkapnya
76. Membalas Farah
"Narsih,Amira, saya harus kembali ke Jakarta sekarang, tetapi Pak Samsul dan Bik Astri akan menemani kalian di sini," terang Tuan Wijaya menghampiri Ami yang tengah membantu Emir mengganti pakaiannya yang terkena muntahaan darah."Opa, tapi ... Saya dan Amira baik-baik saja. Pak Samsul biar ikut Opa pulang, Bik Astri yang di sini," sahut Ami yang merasa sungkan. Bagaimana mungkin ia didampingin banyak orang?"Tak apa, saya juga akan kirim beberapa orang untuk berjaga di depan," tambah Tuan Wijaya, yang kini melihat ke arah Emir. Tentu saja Emir mengangguk hormat sambil memberikan senyum tipisnya."Pa, memangnya ada apa? Kenapa sampai harus ada yang berjaga di depan?" kali ini Bu Farida yang buka suara, bertanya pada Tuan Wijaya. Kening Emir, semakin berkerut. Di kepalanya ada begitu tanda tanya tentang siapa lelaki tua yang masih terlihat gagah ini? Bagaimana bisa bersama Ami? Bagaimana bisa ibunya memanggil Papa? Bukankah kakeknya s
Baca selengkapnya
77. KUA
Farah membuka mata perlahan, sambil merasakan sakit pada pergelangan tangan yang sepertinya terikat di ranjang besi. Langsung ia tersentak, saat menyadari keadaan sekelilingnya yang gelap. Di mana dia? "Hei! Lepaskan aku!" teriaknya kencang. Suara itu menggema di dalam ruangan. Bau anyir, apek, dan aroma bangunan tua, sangat menusuk hidungnya. Membuat ia merasakan mual yang sangat hebat."Ueekk!" "Ueek!""Baji***n! Beraninya kalian dengan perempuan! Baji****n! Lepaas!"Farah terus saja berteriak histeris minra dilepaskan. Ia tidak tahu, apakah sekarang sudah malam, atau malah sudah pagi. Rasa lapar membuatnya semakin histeris. Jika artis atau model yang lain akan memilih diet, atau sedikit makan, tetapi dirinya tak pernah melewatkan waktu makan sedikit pun. Jadi, bila sekarang perutnya terasa sangat sakit, itu tandanya ia memang belum makan apapun."Aku lapar, baji***n! Lepaaass! Toloooong! Tolooong!" jerit Farah pilu sembari ter
Baca selengkapnya
78. Pembalasan dari Tuan Wijaya
"Aaw! sakit, Ibu," rengeknya manja, menirukan suara Amira."Lagian, iseng banget. Mana bisa begitu, harus ikuti protokol pernikahan," protes Ami dengan wajah masamnya."Duh, saya udah gak sabar mau halalin kamu, Ami!" "Ini namanya ujian, Mas. Harus sabar, jangan grasa-grusu. Pernikahan yang diawali dengan rasa tak sabar, bisa saja menimbulkan penyesalan.""Iya, deh." Bahu Emir melorot, betapa sesungguhnya ia sangat gemas dengan Aminarsih, tetapi wanita ini sangat kuat membentengi dirinya dari sentuhan-sentuhan yang memang belum boleh ia lakukan Seperti memeluk atau mencium. Ah, iya ... Bahkan ia belum pernah mencium bibir Ami.BeepBeepEmir mengambil ponselnya yang berdering di atas meja. Matanya membulat sempurna, tatkala ada nama Gunawan di sana. Ya, Gunawan adalah pengacara perceraian yang ia minta untuk mengurus perceraiannya dengan Farah."Hallo, Bro. Bagaiamana?""Gue denger lu sakit? Udah sehat?"
Baca selengkapnya
79. Kepolisian
Selamat Membaca"Tidaaak! Tidaaak! Pergii!" teriak Farah histeris saat melihat kakek tua di depannya sudah melucuti satu per satu pakaiannya, menyisakan pakaian dalam saja. Farah memejamkan matanya kuat, sangat jijik melihat lelaki tua yang kini perlahan jalan ke arahnya. Kakinya ia hentak-hentakan kuat, agar kakek tua tidak mendekat padanya."Jika Kakek mendekat, maka akan aku tendang burung mati Kakek!"Tentu saja Tuan Wijaya tergelak, hingga suaranya melengking tinggi. Tubuh tuanya bergetar karena merasa geli dengan ocehan wanita muda di depannya. Karena benda yang baru saja disebutkan Farah, malah sudah terbangun dengan gagahnya di balik segitiga pengamannya."Kamu, jika dalam rumah tangga hanya untuk mencari kepuasan batin saja, maka sampai kamu tua, gak bakalan kamu menemukannya!" Tuan Wijaya mendorong kening Farah dengan kuat, hingga membuat Farah membuka mata dengan tatapan penuh amarah.Tuan Wijaya mund
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
15
DMCA.com Protection Status