Semua Bab Yuk, Nikah!: Bab 61 - Bab 70
88 Bab
Kabar Kepulangan Fadlan
Hampir tiga minggu diam di rumah membuat otot terasa dipaksa kerja keras ketika kembali aku memulai aktivitas seperti waktu-waktu yang telah berlalu.Pagi ini aku sudah siap kembali pada dunia sibuk kantor. Malu kalau lama-lama ambil cuti. Merepotkan orang lain saja. Beruntung bos-ku itu baik hati dan ekstra sabar.Selama aku tak bisa bekerja dahulu, ia memberi keringanan berupa cuti panjang. Bahkam diberi tunjangan kecelakaan. Padahal, itu murni kecelakaan di jalan, bukan di perusahaan. Pak Wahyu memang paling the best.Drrt! Drrt!Ponselku bergetar di meja. Saat kulihat pesan dari siapa, ternyata dari pujaan hati. Kuraih ponsel baru ini hati-hati, takut jatuh dan rusak. Kemarin malam setelah kejadian amuk-mengamuk Nyak Marni karena makanan, teman-teman kantor datang menjenguk untuk kedua kali. Tanpa kuduga mereka juga memberiku ponsel baru hasil patungan.Rasa haru malam itu tak dapat kubendung. Tanpa tahu malu menangis di hadapan mereka.Sela juga ikut. Aku menyarankannya untuk men
Baca selengkapnya
Pikiran Kosong
Dunia terasa berhenti berputar sekarang. Aku bagai terperangkap dalam keterkejutan tak bertepi.Fadlan akan pulang? Percaya tak percaya aku berani memikirkan pertanyaan itu.Ini tidak benar. Harusnya aku senang mendengar kabarnya akan pulang ke tanah air. Tapi apa yang kulakukan? Malah mematung sempurna di hadapan komputer seperti orang bodoh begini.Setelah sekian lama pergi dan kadang memberi kabar kadang tidak, kenapa mendadak ada kabar yang ... jujur saja aku tak ingin tahu.“Ini terlalu kejam, bukan? Aku baru saja memulai kisah cinta bersama Vivi.” Diri ini bergumam egois.Dari sekian hal yang dipikirkan, kenapa masalah hubunganku menjadi beban paling berat sekarang? Apa kaitannya dengan kepulangan Fadlan?Harusnya aku sudah siap ini akan terjadi. Namun, tak pernah sekali pun mengangka waktunya akan secepat ini.Ya Allah, apa yang harus kulakukan ketika dia sudah puang nanti? Apa yang harus kukatakan nanti andai dia menanyakan soal Vivi? Bagaimana caraku memberitahu kalau perempu
Baca selengkapnya
Bercandanya Kelewatan
Kalian tahu, sejak aku resmi berpacaran dengan anak ibu kosan, sedikit-sedikit ngaca. Sedikit-sedikit poles rambut. Sedikit-sedikit semprot parfum. Yah, pokoknya serba sedikit-sedikit lebay.Aku terdiam sekarang ketika sedang menghadap cermin. Pikiranku jauh melayang pada kenangan masa lalu ketika sebelum Fadlan pergi ke negri tirai bambu.Sisir warna biru masih lekat kupegang. Namun, benda itu hanya menganggur.Terpikir kata-katanya yang menurutku adalah sihir paling pamungkas. Tidak, lebih tepatnya sebuah sumpah yang dia ucapkan dengan nada riang.Saat itu dia sedang sibuk menulis list rencana PDKT. Persis duduk menghadap jendela di sampingku ini. Lalu, aku diam-diam mengintip kelakuan konyolnya dan nyeletuk mengatai Fadlan lebay.Yang paling membuatku ingat adalah tawa renyahnya. Dia sama sekali tak peduli dengan ejekanku, justru dengan bangga menunjukkan isi list itu tanpa ia tahu aku sudah melihatnya lebih dulu.Dengan lantang dia menyumpahiku. Katanya suatu saat aku juga akan me
Baca selengkapnya
Susahnya Jujur
“Maafin abang, Vi.” Entah mengapa rasa sedih ini kian mencuat dan membuat diri tak tahan lagi untuk segera mengutarakannya.Saat ini kami sudah duduk di bangku taman. Dengan perasaan yang tak bahagia tentunya.Vivi menggenggam tangaku.“Buat apa? Abang enggak ada salah.”Senyum miris ini tersungging. Di balik kata-kata Vivi itu aku tahu betul kalau dia hanya menghibur saja.“Maaf karena abang pengecut. Harusnya sebelum menjalani hubungan ini, alangkah bagusnya bilang ke Enyak dulu.”Kata sendu ini lolos begitu saja. Begitu mudah tanpa aku berusaha mencegahnya. Genggaman tangan Vivi tambah erat, tetapi aku berusaha untuk melepaskan.“Ini pasti gara-gara becandaan bang Arif, ya? Ih, udahlah lupain.” Dengan enteng dia berkata.Aku menghela napas berat. Jawabannya iya dan tidak.“Abang cuma kepikiran omongan Enyak. Abang merasa payah sebagai laki-laki. Enggak bisa jujur.”Hening beberapa saat.“Bang, maafin Enyak.” Ia berucap dengan raut cemasnya. Mungkin dia sungguh khawatir jika aku mem
Baca selengkapnya
Dia Si Pembuat Marah
Keringat dingin mulai berjatuhan. Mendengar Nyak Marni menelfon membuat jantungku terpacu cepat. Kira-kira kenapa, ya? Jangan-jangan Bang Arif ngomong macem-macem lagi sampai Enyak nelfon nyuruh pulang. Oh, ya ampun. Pikiran macam apa ini? Sungguh bodoh. Bang Arif sudah bilang jika dia hanya bercanda, tetapi aku merasa takut luar biasa. Bagaimana andai dia tahu yang sebenarnya? “Ck.” “Iya, Nyak. Iya, iya.” Vivi mematikan panggilan ketika aku belum sempat nguping. Dari tadi habiskan waktu untuk melamunkan hal-hal konyol. “Bang,” panggil Vivi menatapku lekat. Deg-degan. Itu yang kurasa sekarang menanti apa yang hendak dia sampaikan. “Ya, kenapa, Vi? Enyak bilang apa?” Demi apa pun, perasaan ingin tahu ini sudah menggunung bertingkat-tingkat. “Abang kenapa, sih? Orang Enyak suruh bawain nasi bungkus kalau pulang,” jawabnya diiringi senyum. Aku tahu. Dia pasti mengira diri ini gila karena terlalu banyak memikirkan problema hidup. Salah satunya ya ini, soal hubungan kami yang tak k
Baca selengkapnya
Tambah Mumet
Sungguh, kali ini aku sudah tak tahan lagi ingin memukul wajah lelaki di depanku ini. Tanganku bahkan sudah mengepal kuat.“Apa maksudnya, tolong jangan mencari masalah. Saya lagi capek. Selama ini kita tidak pernah saling bertegur sapa, bahkan sampai mengobrol hingga sedekat ini.”Tahukah sebesar apa amarah ini? Rasanya sudah bergemuruh bagai lava yang akan segera dimuntahkan oleh gunung merapi.Bang Arif yang bertampang menyebalkan ini akhirnya memudarkan senyumnya. Lantas mendekat, membisik pelan.“Kalian pacaran. Kalau ibunya tahu, matilah kamu. Saya tahu ibu kos ini sangat mempercayakan anaknya pada kamu, lantas kenapa berani sekali mengkhianatinya?”Deg!Benar kecurigaanku. Dia ternyata tahu kalau aku dan Vivi memiliki hubungan spesial. Refleks aku menarik kerah bajunya. Wajahku mengeras. Napasku memburu hebat. Gawat, ini sudah tak bisa lagi ditahan. Aku sungguh kewalahan menahan agar tak lepas kendali.“Kenapa? Takut?” tanyanya terdengar seperti sebuah tantangan. Dia mengempa
Baca selengkapnya
Tak Jadi Mangancam Katanya
Pagi-pagi sekali aku sudah antre di rumah sakit. Kebetulan hari ini jadwal kontrol tiba. Bisa berada di sini di jam kerja adalah sebuah keberuntungan. Beruntung memiliki bos yang baik hati selalu mengizinkan.Namun, jangan salah. Dibalik itu semua, terkadang ucapan tak enak kudengar dari para karyawan yang memang mungkin iri atas perlakuan istimewa yang Pak Wahyu berikan untukku.“Kalau gue yang cuti beberapa hari, kayaknya bakal ditendang!”Itu yang paling jelas kudengar. Mereka ternyata diam-diam membicarakanku di toilet ketika jam istirahat tiba. Wajah-wajah yang kerap kali tersenyum ramah mereka tak lain hanyalah topeng belaka.Aku hanya menghela napas berat mengingat kembali kata-kata tajam itu. Akan tetapi, aku yakin suatu hari akan berlalu dan hal itu kulupa. Ya, sudahlah. Terserah.Selesai dengan urusan pemeriksaan kesehatan, dan aku dinyatakan sudah lebih baik dari sebelumnya, aku pun segera bergegas pergi untuk kembali ke kantor.Namun, di lobi malah melihat Bang Arif sedang
Baca selengkapnya
Kepulangan Fadlan
Waktu telah berganti. Sore yang kunanti telah tiba. Embusan angin menggoyang dedaunan yang pohonnya berdiri kokoh di tepi jalan.Aku mengambil kunci mobil Fadlan dan bergegas pergi ke bandara.Fadlan sempat meminta nomor telepon milikku yang aktif sebelum dia naik pesawat, katanya agar mudah untuk berkomunikasi ketika dia turun di bandara.Sekarang sudah hampir jam lima, tapi dia belum juga memberiku kabar barang sekali. “Apa-apaan manusia satu itu. Suruh jemput tapi tidak bilang jam berapa dengan jelas. Hanya bilang sore jemput.” Aku bergumam selama perjalanan.Entah niat iseng atau apa, yang jelas ini membuatku sedikit jengkel.Ponselku berbunyi, kupikir itu Fadlan, tetapi ternyata Vivi. Karena tanggung sedang nyetir dan lupa tak bawa headset, akhirnya panggilan itu hanya menganggur. Dan dringnya terdengar lebih panjang ketika sengaja aku menunggu panggilan mati.Ada yang aku lupa. Vivi tak kuberitahu soal kepulangan si hidung ingusan. Enyak juga. Oh, ya. Semua juga tak kuberitahu.
Baca selengkapnya
Ketemu Kangen
Aku menyetir tak terlalu konsentrasi. Sedikit-sedikit lirik kiri, mendengarkan ocehan Fadlan gugup. Sudah pakai jurus diam seribu bahasa begini saja masih membuat aku gugup, bagaimana kalau menyahuti setiap cerita yang dia sampaikan?Sumpah, aku sangat takut keceplosan soal hubungan rahasiaku bersama Vivi. Maka dari itu, dari tadi lebih memilih bungkam.Kalau dia bicara ini dan itu, aku hanya menanggapi sewajarnya. Iya dan iya saja. Terkadang aku ikut tertawa, tapi tak tahu apa yang sebenarnya ditertawakan.“Gam, dari tadi kamu diam terus. Enggak kangen, apa?”“Hah?” Kaget, refleks aku menoleh dan tak sengaja menginjak pedal lebih dalam.“Heh, Gam! Hati-hati!” tegur Fadlan berpegangan. Mungkin dia takut dibawa celaka.“Maaf, maaf. Efek fokus ke jalanan,” sahutku singkat. Mata ini kembali fokus lurus menatap jalanan yang tampaknya akan segera macet. “Bisa nggak ceritanya nanti saja di kosan. Biar aku puas jadiin kamu bulan-bulanan. Sudah lama sekali enggak ada kekerasan dalam ranah p
Baca selengkapnya
Tak Nampak Di Mata
Aku duduk memandang ketiga orang itu saling melepas rindu. Kedatangan Fadlan sungguh jadi kejutan yang lebih dari aku bayangkan.Lihatlah sekarang, betapa bahagianya mereka kembali bertatap muka, sampai aku seolah tak nampak di mata mereka. Aku tersisih, sendiri menatap agak kesal.“Ya Allah, Fadlan. Elu cakep banget pulang dari Cina. Lu operasi plastik, ya?” celetuk Nyak Marni sembarangan. Kedua tangannya meraba-raba wajah Fadlan, terkadang mencubit gemas.“Iya, ih. Bang Fadlan tambah putih kayak personil boyband.”Hah? Bahkan Vivi juga memuji? Asem bener, dia sama sekali tak memandangku di sini. Menyebalkan.“Ha ha ha. Bisa aja. Ya, enggaklah Nyak. Mana berani operasi segala. Ini, nih udah ganteng dari sananya.”Aih, kuyakin hidung si Fadlan melayang sekarang. Lihat saja betapa dia salah tingkah. Pakai acara menunduk malu-malu gajah. Garuk-garuk tengkuk.Jika boleh jujur, aku memang terbakar api cemburu. Terlebih Vivi bersentuhan fisik secara langsung. Haduh, inginnya menarik tangan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status