All Chapters of AKU MEMBUNUH IPARKU: Chapter 11 - Chapter 20
61 Chapters
BAB 11
Dua pasang orangtua kami sedang bersinergi membangun kekuatan yang sebenarnya dalam hubungan kekerabatan. Mestinya hal ini menjadi contoh bagi anak-anaknya."Mama, ada yang mau disampaikan?" Tanya Bapak kepada Mama setelah Isaknya reda."Kami dan anak-anak kami mengucapkan terimakasih atas perhatian besan kami, semoga bermanfaat dan Allah membalas dengan rezeki yang berlipat-lipat kepada besan sekeluarga.Soal Naya, terus terang saja, kami menyayangi Naya seperti anak sendiri bahkan mungkin lebih, sehingga menimbulkan kecemburuan anak kami yang lain.Jadi mohon maaf Bapak dan Ibu Ikram, kalau ada kekeliruan kami dalam menjaga Naya selama menjadi menantu kami."Suara mama pelan namun cukup jelas."Yang lain dari Anggun, Naura, Lily, Rara, masih ada yang mau disampaikan?" Tawar Bapak."Terimakasih Banyak kepada Pak Ikram dan keluarga, atas nama pribadi saya mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam memperlakukan Ibunya Leang." Ucap Anggun.
Read more
BAB 12
"Sama-sama, pak. Inilah fungsinya keluarga, saling mengingatkan. Kami mohon pamit, untuk bantuannya akan kami kirim ke rekening Naya agar dapat segera diserahkan kepada Bapak. Jumlahnya 50 juta." Kata Ayah."Nah, kalau begitu kan jelas. Biar transparan. Ya Nggak, Nay?" Kata Rara.Naura langsung menyikutnya, "Apa sih, Ra?" Sementara mata Bang Ishaq melotot pada istrinya.Ayah, ibu, kak Ilham dan kak Irfan pun pamit pulang.Mereka memelukku hangat dan erat."Tenang, Nay. Kami selalu di belakangmu untuk menguatkan dan mendukungmu." Bisik Kak Irfan.Terimakasih, Tuhan. Kau berikan aku cinta berkelimpahan.Pasti akan ada cerita baru tentang ipar-iparku setelah pertemuan sore ini.Menjelang Maghrib kondisi Leang kembali mengkhawatirkan. Demam tinggi. Berkali-kali infus lepas dan pindah tempat."Ibu, kepala Eang sakit." Rintihnya."Sabar ya, nak. Nanti setelah minum obat sembuh." Bujukku samb
Read more
BAB 13 TERUNGKAP
"Kak Rara diajak Bang Ishaq pulang, Dzaki rewel katanya. Lily hipertensinya kambuh." Urai Rossy."Bang Ishaq tampaknya marah." Rossy bergumam."Kenapa?" Tanya Nandean."Katanya karena kak Lily nyuruh kak Rara minta biaya rumah sakit pada ayahnya kak Naya, kak Lily juga marah pada kak Rara karena menceritakan dalam pertemuan tadi sore." Jawab Rossy.Kami tersenyum, ada-ada saja mereka ini."Kalian sudah makan belum?" Tanya suamiku."Belum. Kakak dan Abang juga belum kan? Nanti sekalian aku pesan." Jawab Rossy."Tidak. Biar aku saja yang beli, sekalian keluar nanti." Kata suamiku.Suamiku beranjak keluar kamar.Rossy duduk di sisi pembaringan, tangannya mengelus pipi Leang perlahan. Selama ini jarang sekali dia melakukan kontak fisik dengan anakku."Kak, maaf ya atas kelakuan kakak-kakak kami." Tiba-tiba Rossy bersuara.Aku tersenyum, "tidak apa-apa.""Kak, bisa tidak kakak memaafkan kak Marry?" Tanyanya
Read more
BAB 14
Hingga Nandean datang, Rossy masih menangis."Kenapa?" Bisik Nandean kepadaku.Aku menggeleng.Aku tak mampu bersuara. Tenggorokanku seperti tercekat.Aku menghampiri Rossy yang tertelungkup di samping Leang. Mengusap-usap punggungnya. Bahkan aku saja terperanjat mendengar ceritanya, apalagi dia yang mendengar langsung dan mengetahui fakta tentang kejahatan kakaknya. "Bapak sama Mama mau kesini katanya." Ujar Nandean memecah kebisuan.Aku membereskan makanan yang tadi dibawa Nandean. "Kok banyak amat ini?" Tanyaku."Bapak dan Mama mau makan bareng disini." Jawab Nandean.Rossy bangkit mengusap matanya, kemudian ke kamar mandi. Gemercik suara air terdengar, tampaknya ia mencuci muka.Tak lama ada suara salam dan ketukan di pintu kamar. Aku gegas membukanya, tampak wajah Bapak dan Mama yang terlihat letih."Bagaimana si Leang?" Tanya Bapak."Sedang tidur, pak. Tadi demam tingg
Read more
BAB 15
Aku berdiri di bawah sebuah pohon mangga yang besar dan berbuah lebat. Buah-buahnya yang matang jatuh berserakan di sekeliling pohon. Kupungut buah-buah yang jatuh dan kumasukkan dalam sebuah keranjang besar hingga keranjangku hampir penuh.Lily dan Marry datang mendekat, mereka memetik buah yang masih tergantung di pohon."Kak, tidak boleh mengambil yang masih di pohon. Ambil yang sudah jatuh saja." Aku mengingatkan.Lily menatapku marah. Dia pergi dan kembali lagi membawa sebuah golok panjang.Disuruhnya Marry memotong dahan pohon."Biar dapat banyak buahnya." Katanya kepada Marry.Aku tak bisa mencegah mereka, karena pohon ini pun bukan milikku.Susah payah Marry memotong dahan sementara Lily hanya berteriak-teriak mengatur begini dan begitu, bahkan sesekali marah jika Marry tak bisa menjangkau dahan pohon.Tiba-tiba dahan pohon patah, jatuh menimpa Marry. Aku berteriak mengingatkan, tapi terlambat. Marry jatuh rebah tert
Read more
BAB 16
"Ibu, apakah kain-kain ini boleh dilepas?" Tanyanya menunjuk perban yang masih melilit bagian kepala, kaki, dan tangan."Nanti kita tanya dokter ya, nak." Jawabku sambil tersenyum.'Kepala Leang masih sakit?" Tanyaku.Leang menggeleng.Nandean datang membawakan sarapan."Abang dari kemarin membawakan sarapan untuk mereka, jangankan bilang terimakasih, menegur saja tidak." Kata Rossy."Itu kan kakak-kakakmu." Jawab Nandean sambil tertawa.Rossy tersenyum datar."Tapi tadi Anggun bilang: Terimakasih, Bapak Leang." Kata Nandean."Tapi Abang langsung pergi?" Tanya Rossy."Ya mau ngapain?" Nandean balik bertanya.Aku mendengarkan percakapan mereka sambil tersenyum. Mereka ini aneh sekali. Selama aku menjadi menantu di keluarga ini jarang kulihat mereka berbincang akrab antar kakak beradik bersama-sama. Mereka hanya berkumpul saat Bapak memanggil untuk merapatkan sesuatu yang suasananya selalu formal cenderung tegang.
Read more
BAB 17
"Kalau gitu aku pulang ganti baju saja, langsung berangkat ke kantor." Ujarnya."Iya, Gun. Kalau Rara masih mau disini biar nanti aku juga pulang dulu." Kata Naura.Aku hanya jadi pendengar pasif diantara mereka."Bapak Leang sudah tahu belum, Lily mau lapor polisi?" Tanya Naura."Tadi sudah ku beritahu," kata Anggun."Biar saja dia lapor polisi." Jawab Nandean."Beritahu pada kakak kalian itu, daripada uangnya untuk bikin laporan ke polisi lebih baik untuk biaya pengobatan Marry." Kata Nandean lagi."Sampaikan juga, kalau Marry dan Rara bisa digertak dan ditakut-takuti, tapi Naya tidak." Ujar Nandean."Sebenarnya waktu Naya marah kemarin dia sudah agak takut sih." Kata Anggun. "Tubuhnya gemetar, malam itu dia mengeluh kepalanya sakit, dadanya berdebar-debar. Terus dia bilang: apa aku keracunan ya, gun?""Lalu maksudnya dia mau bilang dia keracunan, yang dimakan makanan bawaanku, dia mau menuduh aku meracuni makananny
Read more
BAB 18
"Iya, mba." Kami menyahut."Permisi Bapak dan Ibu, sampai ketemu lagi nanti sore ya, Leang." Pamit dokter."Terimakasih, dokter." Sahut kami.Sesaat setelah rombongan dokter pergi, Bapak dan Mama datang.Mereka menyapa dan mencandai Leang.Tigapuluh menit kemudian mereka dipanggil Rossy untuk menemui dokter yang memeriksa Marry. Bapak mengajak Nandean ikut serta.Aku sendirian bersama Leang yang mulai terkena efek obat, mengantuk. Tak lama kemudian ia tertidur.Aku memandangi wajah anakku, mengusap kepalanya, menyentuh wajahnya. Dia yang pernah sembilan bulan menghuni rahimku, nafasnya pernah menjadi nafasku, pertumbuhannya dari air susuku.Mengapa ada yang begitu tega ingin mencelakakan anak tak berdosa ini? Bahkan saat ia sama sekali belum mengerti rasa benci, belum memahami merah hitam dunia ini.Sedemikian dengkinya kah Lily kepada kami? Bukankah kami tak pernah meminta apa pun kepada Bapak? Bahkan kami telah mengalah perg
Read more
BAB 19
  Tigapuluh menit proses radiologi selesai."Radiografi nya nanti kami serahkan kepada dokter spesialis yang menangani Leang ya, Bu." Kata petugas di ruang radiologi."Baik, mas. Terimakasih." Jawabku.Bersama perawat kami membawa Leang kembali ke kamar."Bagaimana?" Tanya suamiku."Tunggu hasil analisa dulu." Jawabku."Leang istirahat lagi ya," kata perawat yang mengantar kami."Mari, pak, Bu." Pamit mereka.Kami mengucapkan terimakasih pada keduanya.Tiba-tiba ada suara tangis mendekat."Naya..huhuhuhu.. Naya.." ternyata Rara."Maaf ya, Nay. Kakak baru jenguk Leang..huhuhu.." katanya."Iya, kak." Jawabku sambil menatapnya heran."Kau nangis kenapa?" Tanya Nandean."Bapak mengusirku pulang, tidak boleh ke rumah sakit." Jawabnya."Ya pulanglah. Kok malah nangis." Kata Nandean."Aku juga ingin mengurus adikku, melihat keponakanku." Katanya."Sudah banyak adikmu yang mengurus, kau uru
Read more
BAB 20
"Marry, maafkan istriku ya." Kata Nandean di telinganya.Marry melenguh."Salam dari Leang untuk Tante Marry cantik." Kata Nandean lagi.Bulir bening mengalir dari mata Marry. Lalu isaknya perlahan terdengar.Ternyata dia bisa takut, dia juga bisa menangis. Pikirku. Entah menangis marah atau menangis menyesal."Marry, semua orang menyayangimu. Saya dan Mamamu juga sangat menyayangimu. Meski kau suka melawan, sering buat kami marah, kami tetap menyayangimu." Kata Bapak."Siang malam kami mendoakan keselamatanmu, siang malam kami mengharapkan kesembuhanmu. Cepatlah kau sembuh dan mulai hidupmu yang baru." Lanjut Bapak.Marry terisak semakin keras. Tapi ia tak mengatakan apa pun.Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Yang kutahu, saat ini aku merasa lega karena Marry sudah dalam keadaan sadar kembali, rasa bersalahku sedikit berkurang.Mama mengusap-usap lengan Marry, memberinya penguatan dan penghiburan."Cep
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status