All Chapters of Hati yang Terbagi : Chapter 111 - Chapter 120
147 Chapters
Bab 112
"Ga ada jawaban, Ma," aku berusaha agar tidak panik. Ponsel Lea pun tak bisa dihubungi. Sepertinya sengaja dimatikan."Lea! Buka pintunya! Atau ga, Abang dobrak!" Kini Mas Ubay mulai mengeluarkan ancaman.Hasilnya sama saja, Lea tetap tak keluar kamar. Papa yang baru saja keluar dari kamarnya setelah mendengar kabar tentang Lea, tampak juga panik."Telpon, Arsyad. Lagi ada acara pesta di rumah, seharusnya dia menyempatkan diri untuk menemani istrinya. Ini malah kerja!" sungut Papa. Baru kali ini aku melihat Papa sekesal itu. Arsyad memang terlalu pendiam, dan tak humble. Apa mungkin faktor pekerjaannya yang menuntutnya untuk selalu serius.Hampir sejam kami sibuk di depan kamar Lea. Hingga tangis Alifa terdengar nyaring dari dalam. Kepanikan makin menjadi. Arsyad pun datang, wajahnya tampaknya canggung. Mungkin dia paham ketika melihat tatapan Papa dan Mama yang tak bersahabat."Maaf, Ma, Pa, Arsyad tak bisa menghadiri acara aqiqah Alifa,""Kamu seharusnya mendahulukan anak dan istri.
Read more
Bab 113
POV Lea."Bu, Lea ijin melahirkan di rumah Mama, ya, Bu?"Ibu menatapku tajam. Lalu kembali asik dengan gadget mahalnya. Aku terdiam tak berani mengulangi kalimat, meski ingin juga mendengar jawaban dari Ibu.Setelah menikah, Mas Arsyad selalu mengajakku untuk mengunjungi Ibunya diakhir pekan. Namun, saat itulah menjadi waktu terberat bagiku. Ibu selalu memperlakukan seperti orang lain. Bahkan sering membanding-bandingkanku dengan mantan Mas Arsyad yang seorang pramugari."Tasya itu orangnya putih, tinggi, baik, ramah, dan punya penghasilan sendiri. Tak ada cacatnya, entah kenapa Arsyad malah milih kamu!" Aku terdiam, meski bara di hati begitu berkobar. Rasanya darah ini mendidih."Kamu punya penghasilan apa? Selain mengharapkan gaji suami?"Ibu terus memojokkanku. "InsyaAllah setelah lahiran, Lea mau ikut usaha restoran bersama istrinya Bang Ubay, Bu," jawabku."Hah? Usaha bareng saudara? Hari gini? Apa kamu ga mikir usaha apa yang bisa kamu kembangkan sendiri, tanpa berada di bawa
Read more
Bab 114
"Ga akan, Bu. Ibu lihat sendiri, Arsyad masih rajin main ke sini. Sekarang lebih rame ada Lea. Nanti tambah cucu yang akan membuat ibu tak akan kesepian lagi."Ibu mengusap air matanya yang basah. Seharusnya Ibu tak mengijinkan Mas Arsyad menikah, kalau tak ingin anaknya berubah. Gimana ga berubah, jika status saja sekarang sudah tak sama lagi. Sekarang ada istri yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Beda saat dulu masih sendiri.Sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam. Perkataan Ibu tadi seakan membuka pikiranku. Jika, seorang anak laki-laki, tetap akan menjadi anak Ibunya, walaupun sudah menikah."Dek, jangan ngelamun! Berdzikir saja kalau bete.""Aku tersenyum, lalu membuang pandang ke luar. Menikmati setiap inci jalan yang terlewati. Meski jarak Depok dan Jakarta tak begitu jauh. Tapi, tetap saja saling diam begini tidak seru. Namun, untuk memulai, aku tak mau.Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri di ranjang. Pinggangku terasa mau putus. Sedangkan pesan dari Ibu s
Read more
Bab 115
"Maafkan Lea, Ma," ujarku ketika pagi telah menyapa. Kemarin aku sempat membuat orang-orang di rumah ini panik. Stres karena memikirkan sikap mertua dan dilema jika mengadu pada suami. Aku meminum obat sakit kepala dan tidur dengan lelapnya."Tak apa, Nak. Kalau ada apa-apa cerita sama, Mama. Barangkali Mama bisa bantu."Aku menghela napas dalam-dalam. Mama sosok Ibu dan mertua yang di idam-idamkan. Aku tau betul bagaimana Mama sangat menyayangi Alina. Alina sudah seperti anaknya sendiri, tak ada bedanya denganku."Alina beruntung punya mertua seperti Mama," gumamku.Mama tersenyum. "Mama yang beruntung punya menantu seperti Alina. Mama bangga punya anak-anak yang akhirnya bisa membuat Mama dan Papa tersenyum. Ya, walau sampai saat ini Mama belum bisa mengikuti jejak kalian, Mama yakin suatu saat nanti Mama, mampu."Rasa haru menyeruak dalam dada. Berharap Mama bisa memakai hijab seperti yang aku dan Alina pakai. Memang kehadiran Alina memberikan pengaruh baik buat keluarga kami. Kini
Read more
Bab 116
Selama ini aku hanya menganggap ijazah itu hanya sebuah kertas tanpa makna. Capek kuliah tapi aku malas untuk bekerja. Secara keuanganku selalu di cukupkan oleh Papa. Tapi, setelah menikah semua kiriman sudah dihentikan. Aku benar-benar mengharapkan Mas Arsyad, dan itu sangat memalukan. Meski kemarin-kemarin aku tetap bertahan."Ya sudah, gw akan bimbing lu! Tapi, ijin dulu sama Arsyad. Nanti dia marah. Bagaimanapun lu wanita bersuami. Apa-apa harus ijin dengannya.""Makasih ya, Bang, Ma!" Aku hendak memeluk Bang Ubay. Tapi, dia menghindar."Eh, eh! Apaan peluk-peluk! Mandi sana! Bau juga! Nanti kemeja gw bau asi!"Aku terkekeh, dan makin semangat mengejar Bang Ubay."Lea! Udah! Habis lahiran kok pecicilan!" teriak Mama."Rasain!" seru Bang Ubay sambil tertawa puas.****Malam hari, aku memijit kaki Mas Arsyad. Alifa yang tengah tidur di kamar sebelah membuatku dan Mas Arsyad kini berasa pengantin baru lagi. Walau tak bisa malam pertamanya. Pembantu baru bernama Yati, itu sangat cekat
Read more
Bab 117
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Read more
Bab 118
Tak lama, Mas Arsyad pulang. Aku menyambut kedatangannya. "Mas tadi dapat pesan dari Ibu, jika Ibu mau mampir. Jadi, Mas buru-buru pulang,"bisiknya."Bukan karena ada mantan kamu, 'kan?""Ya, enggak lah. Buat apa!" sahutnya.Kami pun berjalan beriringan ke ruang tamu. Mas Arsyad menciumi tangan Ibunya. Lalu mengangguk ke arah Tasya yang masih menatap dengan tatapan penuh kerinduan."Apa kabar, Mas?" "Baik!" Jawab Mas Arsyad singkat.Mama yang menyadari jika perempuan itu menatap Mas Arsyad berkata "Mbak Tasya ini belum nikah, ya?"Dia gelagapan."Be-- belum, Tante.""Oh, pantes. Buru-buru nikah saja. Menikah itu bagian dari usaha untuk menghindari kemaksiatan yang tak sengaja maupun yang sengaja kita lakukan.""Maksud, Tante?" "Iya! maksud, Jeng apa?" Ibu ikut bertanya, dengan suara meninggi."Ya, misalnya, maksiat melihat suami orang dan membayangkan dia menjadi milik kita. Atau maksiat karena tiba-tiba mata tak sengaja menatap suami orang lain dengan cinta," sindir Mama. Perempu
Read more
Bab 119
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Read more
Bab 120
Perempuan itu meradang. Wajahnya memerah."Maaf, Tante. Saya pamit!" Tasya bangun dan berjalan cepat ke arah pintu."Ini maksudnya apa?"Ibu masih belum paham, atau memang sengaja pura-pura tak mengerti."Mbak Tasya, kalau nanti udah ga kuat jadi pramugari. Bisa menghubungi Lea lho, dia pasti punya penawaran pekerjaan yang terbaik untuk Mbak," teriak Alina. Tasya tak menjawab.Arsyad yang melihat adegan itu terpana. Pasti dia bingung dengan apa yang terjadi."Arsyad, Ibu pulang." Perempuan setengah baya itu memberikan Alifa pada Mas Arsyad lalu setengah berlari mengejar Tasya."Memang ada apa sih?" suamiku itu masih mode bingung."Arsyad, jawab pertanyaan Mama. Apa perempuan itu mantan kekasih kamu!" bentak Mama.Wajah Mas Arsyad pucat, dari wajahnya jelas sekali apa jawaban yang akan keluar dari bibirnya.Kini kami duduk di ruang tamu, suasana hening. Mama masih menunggu jawaban Mas Arsyad."Maaf, Ma. Sebenarnya dia benar mantan Arsyad. Tapi, Arsyad benar-benar sudah tak ada keingina
Read more
Bab 121
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status