"Apa rencanamu setelah ini, Sa?"
Pertanyaan Putri, kembali menyadarkan aku, bahwa kini ada hal yang lebih penting untuk kupikirkan, yakni masa depan.Masa depan yang lebih panjang yang akan kujalani bersama kedua anakku. Tak mau lagi terpuruk oleh perpisahan ini, anak-anak membutuhkan aku."Aku sedang mencari tempat tinggal, kalau ada info tolong kabari ya. Kan nggak mungkin anak-anak tinggal di sini terus-menerus. Di sini terlalu ramai, kadang mereka tidur terlalu malam karena asyik melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas di sana."Aku menunjuk jalanan yang masih ramai, sedangkan waktu sudah pukul sepuluh malam. Putri mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, aku mengerti. Nanti kukabari secepatnya."Ia genggam tanganku, menguatkan sekali lagi. Lalu kami saling melempar senyum dan mengangguk bersamaan.Hari baru telah menyambutku dengan status baru. Janda. Status yang menjadi momok bagi sebagian wanita.StatMatahari belumlah tinggi. Aku baru saja selesai membantu kedua anakku berganti baju sepulang sekolah. Pintu kamar terdengar diketuk dari luar. Wajah panik Hilda menyembul begitu kubuka lebar daun pintu."Mbak Lisa, ada yang nyari di bawah," ucap Hilda begitu tatapan mata kami beradu.Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat apa ada janji dengan seseorang hari ini. Hilda nampak gelisah."Sebaiknya Mbak Lisa temui sekarang, ya, soalnya kemarin juga ke sini ngamuk-ngamuk, saya takut, Mbak."Hatiku bertanya, siapa yang mencariku hingga mengamuk di tokoku. Tak banyak kerabat yang mengetahui kalau aku pemilik toko ini. Selain Putri dan ibu serta adikku, tentunya. Pesaing bisnis juga kurasa tak akan melakukan hal sebo doh itu. Hanya membuang energi saja mengamuk di tempat orang lain mencari nafkah. Masih banyak hal yang bisa dikerjakan yang lebih bermanfaat dari sekedar meluapkan emosi di tempat umum."Baiklah, say
"Apa katamu? Mengembalikan anakku?"Mama melebarkan mata. Oh Tuhan, apa beliau lupa kalau aku dan Mas Ari kini sudah mantan?"Iya, Ma. Mama masih ingat bukan, kalau palu hakim sudah diketuk. Lisa dan Mas Ari sudah resmi bercerai, Ma," ujarku menegaskan."Itu benar, Mama tentu masih ingat, dan tak akan lupa dengan perempuan di depan Mama yang sudah menginjak harga diri anak Mama."Mama berhenti sejenak, menjeda kalimat sambil mengatur napas."Yang mau Mama tanyakan, bagaimana kamu bisa tinggal di ruko itu? Ada hubungan apa kamu dengan pemiliknya?" tanya Mama penuh penekanan di setiap kata yang beliau ucapkan.Aku sendiri terkesiap dengan pertanyaan Mama. Untuk apa beliau mencari tahu hubunganku dengan pemilik ruko?"Mama sayang … mungkin ini saat yang tepat untuk Lisa memberi tahu Mama, bahwa Lisa pemilik ruko itu."Aku berusaha menjawab dengan tenang, meski dadaku bergemuruh karena terusik dengan kehadiran manta
Lalu lintas di jalan raya semakin ramai, seiring beranjak naiknya matahari jelang siang ini.Langkah panjangku bergerak meninggalkan kafe. Ingin segera kembali ke kamar, lalu menghabiskan hari bersama kedua anakku. Tak kuhiraukan Mama yang masih duduk di tempat dengan sorot mata yang sulit diartikan.Aku lelah, ya Rabb … ."Lisa!"Aku yang baru akan masuk ke toko, menghentikan langkah seketika. Terlihat Mama tergopoh-gopoh mengejar langkah kakiku."Lisa, tunggu!"Aku berdiri mematung di depan toko, menunggu Mama yang tinggal beberapa langkah lagi sampai. "Ya, Ma? Ada yang bisa Lisa bantu?" tanyaku begitu Mama sampai dengan napas terengah. Keningku mengernyit melihat kehadiran wanita yang telah melahirkan suamiku. Mama memaksakan senyum, terlihat sekali dari gerak bibirnya."Ini … benar toko kamu, kan?"Agak ragu Mama bertanya, yang membuat aku mengernyitkan kening."Benar,
Aku berharap kami akan menjadi mitra bisnis yang bisa bekerja sama untuk ke depannya.***Di sinilah sekarang, sebuah kafe dekat toko pakaian milikku, bersama kedua anakku. Tempat yang sama yang kudatangi sebelumnya bersama ibu mertua. Kedua anakku asyik menyesap jus buah naga kesukaan mereka.Menunggu sepuluh menit, seseorang dengan kemeja batik mendekat ke arah kami. Ya, aku telah memberikan nomer meja tempatku duduk sebelum ia datang. "Selamat siang ibu Lisa. Hai anak-anak yang manis," ucapnya menyapa kami.Pak Ilham nampak mengernyitkan saat melihat dua anak yang duduk bersamaku."Mereka anak-anak saya, Pak. Maaf ya, saya harus membawa mereka serta," jelasku sebelum beliau bertanya. Tak lupa aku menangkupkan kedua tengan sebagai permintaan maaf."Oh, tidak apa-apa Bu Lisa. Jadi begini, maaf langsung saja ya. Jadi saya sedang membuat sebuah toko kue. Nah, saya mencari pemasok yang bisa mengisi toko saya. T
Sore menjelang, ponselku berbunyi saat kedua anakku menonton kartun kesayangan sambil menikmati cemilan.Putri memanggil. Aku bergegas menerima panggilannya."Sa, aku otw, kamu siap-siap ya, nanti kujemput. Masih di toko, kan?"Celoteh Putri memberondong indera pendengaran begitu tombol hijau kuklik."Masih Put, ya udah hati-hati.""Bye Sa, salam buat anak-anak, ya.""Oke Putri."Klik. Panggilan terputus. Aku berusaha memaklumi, mungkin Putri sedang terburu-buru, hingga tak mengucap salam."Siapa, Bu? Tante Putri?" tanya anak sulungku begitu aku meletakkan ponsel di atas nakas."Iya sayang. Kita siap-siap yuk, habis ini kita jalan sama Tante Putri," ajakku kemudian. Keduanya mengangguk, kemudian memilih pakaian yang mereka suka dari dalam lemari. Kebetulan mereka berdua sudah selesai mandi."Kita mau ke mana, Bu?""Mau jalan-jalan. Kakak sama adik, mau lihat rusa, nggak?"
"Hem ... Sepertinya kamu salah orang kalau mau minta nasehat, bukankah kamu sendiri tahu kalau aku sudah gagal, Put.""Enggak Sa, buat aku kamu tuh enggak gagal, justru kamu hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Mungkin jodoh kamu bukan dia, iya kan? Kamu jangan sedih ya?"Digenggamnya lenganku. Wajahnya mulai terlihat khawatir. Kugelengkan kepala, menyangkal ucapannya. Aku memang tak lagi bersedih atas perpisahan yang terjadi."Enggaklah, sudah biasa aku Put. Aku kuat begini ya karena anak-anak. Aku harap, pernikahan kamu nanti langgeng sampai maut memisahkan.""Aamiin ... .""Udah sore nih, kita cari makanan yuk, laper nih."Kebetulan juga kangkung yang dipegang kedua anakku sudah habis, kini mereka bergerak mendekati aku dan Putri yang duduk manis di pinggir kandang besar berisi puluhan rusa."Ibu, haus Bu, beli itu boleh, nggak?"ucap anak bungsuku sambil menunjuk penjual es krim putar yang sedang melayani pembe
Aku baru turun dari taxi saat mendengar namaku dipanggil. Sontak aku menoleh dan mencari sumber suara. Ada Mas Ari serta Mama di sana, di depan toko. Mau apa lagi mereka?"Ayah … !" seru kedua anakku, kemudian menghambur ke pelukan ayahnya.Mama bergerak mendekati aku, kemudian membisikkan sesuatu.Aku tak peduli dengan apa yang beliau ucapkan, karena hanya memicu gemuruh di dada ini."Anak-anak, kita masuk dulu, yuk," ajakku pada keduanya.Bukan aku tak menghargai kedatangan Mama serta Mas Ari. Namun aku tak mau anak-anak melihat keributan antara dua orang tuanya. Mereka juga terlihat lelah sejak dalam perjalanan tadi."Biarkan kami melepas kangen dulu, Dek, kan sudah lama kami nggak ketemu.""Ayah, kami capek, adik sudah ngantuk, lihat," si Kakak menunjuk adiknya yang sedang menguap.Mas Ari nampak kecewa. Tanpa aku berkata, ia telah mendengar sendiri dari lisan Arsy."Hem … padahal ayah kangen, lho sama k
Hari masih gelap saat ponselku bergetar. Kedua anakku masih anteng di kasur. Aku sendiri baru selesai merapikan mukena setelah menjalankan sholat Subuh.Memeriksa ponsel, ada puluhan pesan dari Mas Ari. Entah mengapa ia mengirim pesan sebanyak ini. Baru teringat kalau sejak semalam aku belum memeriksa ponsel. Setelah makan bersama anak-anak serta dua orang karyawan, aku langsung naik ke tempat tidur mengelus kepala buah hatiku. Tanpa disadari aku ikut terlelap. Sedangkan pekerjaan masih ada, yaitu mengurus toko online.Di antara puluhan pesan dari Mas Ari, ada satu pesan yang terselip di sana. Justru pesan itu menuntun jemariku untuk memeriksa lebih dulu. Dari Pak Ilham."Selamat malam, Bu Lisa. Mohon maaf, sekedar mengingatkan, kalau pembukaan toko saya, dilakukan lima hari lagi. Untuk pesanan, saya mau nambah ya, Bu. Pizza boks besar, Pizza mini lima ribuan, pizza mini. Kesemuanya masing-masing dua ratus piece."Pesan itu ku