Semua Bab Ketika Istri Mati Rasa : Bab 31 - Bab 40
149 Bab
POV Radit
Dengungan para tamu undangan mulai terdengar. Kasak-kusuk mereka membicarakan Desti. Tak ada suara yang membelanya. Semua terdengar menghujatnya."Oalah dia hanya istri kedua? Tapi kok malah marah-marah pada istri pertama, ya? Dasar nggak tahu malu. Aku menyesal datang ke sini. Kalau bukan karena suamiku kenal baik dengan pak Radit ogah aku datang. Aku juga tidak menyangka Pak Radit lelaki yang suka mendua." Suara seorang ibu yang duduk di kursi baris kedua. "Ya Tuhan … ternyata pemilik grosiran itu pelakor. Menjijikkan." Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang ibu muda sedang yang duduk di sebelah kiri ibu yang tadi berbicara."Padahal, cantik istri tuanya dan juga terlihat sayang mertua. Kok bisa diselingkuhi seperti ini? Mas Radit itu membuang berlian belum tentu mendapatkan gantinya dengan batu permata. Bisa jadi hanya batu kali yang tidak berkualitas." Suara perempuan yang lain saling menimpali. "Dengar ucapan ibu-ibu barusan? Yang dibela siapa? Aku kan? Itu baru beberapa ora
Baca selengkapnya
POV Radit 2
Jantungku seakan berloncatan dari tempatnya, saat mata ini menatap Alina dan keluarga besarnya memilih tempat duduk di depan pelaminan pas. Dengan santainya mereka duduk sambil mengunyah makan. Ya Allah … sesantai itu mereka? Justru aku yang tidak santai sama sekali. Mata ini terus menatap satu persatu dari mereka yang mengiringi Alina. Ada Bapak dan Bunda. Bang Sukri dan keluarga kecilnya. Bang Zaki, istri dan anak tunggalnya. Wulan, orang kepercayaan Alina di rumah makan. Lalu lelaki itu siapa? Ini pertama kalinya aku menatapnya. Kenapa dia juga mengenakan baju seragam? Jangan-jangan calonnya Alina. Ah, tidak. Tidak mungkin Alina secepat itu. Dia bukan wanita gampangan. Segera, aku enyahkan pikiran negatif yang merasuk dalam otak ini.Senyum ini berkembang saat melihat Wildan yang sedang makan dengan lahap. Anak bukan pemilih makanan. Selama itu diperbolehkan oleh ibunya, apa saja ia makan. Tidak manja meskipun, ibunya memiliki banyak uang. Sayangnya, dia harus melihat aku duduk d
Baca selengkapnya
Apa Isi Kado itu?
Lelaki berseragam baju panitia itu datang dengan napas tersengal-sengal. Habis lari dia."Selesaikan dulu urusanmu, Mas. Maaf kami harus segera pulang. Ini mobil orang. Sudah ditunggu yang punya." Dengan gerakan cepat Alina membuka pintu mobil. "Tunggu, Lin. Beri kesempatan aku untuk bicara." Permintaanku tak diindahkannya. Dia masuk ke dalamnya tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara padaku."Sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Tunggu surat panggilan dari pengadilan." Kepala Alina nyembul di jendela mobil yang dibuka setengah. Aku membeku di tempat. Ucapan Alina bagai air es yang menyiram seluruh tubuhku. Apa artinya aku kehilangan kesempatan untuk rujuk dengannya? Lagi- lagi aku kalah strategi oleh perempuan itu. Ah, si al! Aku me ne ndang ban mobil milik orang yang sedang terparkir di dekatku. Mobil Alina bergerak maju menjauh dari tempatku berdiri. Tempat yang kami jadikan parkiran adalah lapangan. Sehingga lebih leluasa untuk memutar kendaraan. Si al. Aku kehilan
Baca selengkapnya
Permintaan Desti?
"Bang, apa-apaan ini?" Dengan kasar Desti mengeluarkan semua isi peti kayu yang dibungkus dengan kertas kado dan dihiasi pita. Aku terperangah menatap isinya yang berserakan di lantai akibat ulah Desti. Tidak ada yang istimewa atau pun spesial. Semua hanya baju-baju dan barang-barang milikku yang ada di rumah Alina. Kenapa Alina harus mengusir aku dengan cara seperti ini? Apa itu artinya rumah itu telah ia kuasai? Padahal, di sana aku masih memiliki hak. Hak atas harta bersama.Aku lunglai seketika. Seluruh persendian ini rasanya tidak bertulang. Kursi tamu menjadi pilihan untuk menjatuhkan bobot tubuh ini."Ini artinya dia sudah mengusir, Abang! Sudah menginjak-injak harga diri Abang! Aku tidak menyangka Alina se ke jam ini! Kamu harus melakukan sesuatu, Bang! Harus segera!" Desti bersungut-sungut, matanya menyalang ke arah onggokan baju yang berserak di lantai. Aku bergeming. Tatapanku lurus ke depan. Pikiran ini mengawang. "Bang! Jangan diam aja dong! Lakukan sesuatu untuk Alin
Baca selengkapnya
Yakin Akan Tetap Berjalan?
Usai pulang dari kondangan kami masih kembali ke rumah Bang Randu. Bahkan rencananya dua hari kedepan. Hitung-hitung liburan untuk anak-anak. Kebetulan bertepatan dengan anak-anak yang baru selesai menjalani ujian semester genap. Sehingga tidak mengganggu sekolah mereka.Ada beberapa hal yang akan kami kerjakan di sini. Salah satunya kami akan berkunjung ke rumah Ririn usai menilik kebun karet yang dulu aku miliki. Kami sudah janjian untuk mengunjungi rumahnya yang masih tiga puluh kilo lagi dari sini."Lin, tadi Mbak sempat khawatir sama kamu, lho. Takut-takut Desti mengamuk dan hilang kendali kemudian mencakar dan menjambak kerudungmu," ungkap Mbak Puji usai makan malam. Aku tersenyum menanggapi ucapan istrinya Bang Sukri. Kami, para orang tua masih berbincang di meja makan. Anak-anak telah diamankan oleh Wulan di depan. Dari suaranya yang riuh, bisa dipastikan mereka sedang bermain di ruang tengah milik Bang Randu."Keren kamu tadi, De. Kalau Mbak jadi kamu sudah tidak tahu lagi.
Baca selengkapnya
Telepon dari Mbak Niswa
******Jam sepuluh pagi kami berangkat ke kebun karet yang berjarak sepuluh kilometer dari rumah Bang Randu. Kami hanya berangkat dengan mengendarai motor.Bang Randu memang duda tajir. Lima motor adalah salah satu bukti lelaki yang belum memiliki anak itu adalah golongan kelas menengah ke atas selain dua mobil. Satu mobil pribadi yang kemarin digunakan ke kondangan. Dan ini mobil kijang kapsul yang sudah cukup umur yang kami tumpangi. Mobil yang digunakan khusus untuk ke kebun-kebunnya. Katanya, kendaraan roda dua itu pun sengaja dibeli untuk fasilitas para karyawannya. Setiap pagi mereka akan mengambil dan sorenya dikembalikan lagi ke rumah yang punya. Hari ini pun kami melihat sendiri mereka mengambil motor-motor itu. Tentu, motor bekas yang dibelikan Bang Randu untuk mereka.Mobil melaju meninggalkan rumah besar milik Bang Randu. Di belakang kami ada tiga orang yang mengikuti. Mereka tentang ga Bang Randu yang akan ditugaskan untuk menyadap karet.Bapak tanpa Bunda kali ini. Bel
Baca selengkapnya
Perjodohan untuk Alina
"Bapak tidak pernah main karet jadi tidak tahu sama sekali." Bapak menjawab tanpa menoleh ke arahku yang ada di bangku tengah. Aku tepuk jidat saat menyadari telah bertanya pada orang yang tidak tepat. Sama halnya dengan aku, cinta pertamaku itu memang tidak tahu tentang dunia karet. Beliau tidak pernah memiliki kebun karet bagaimana bisa tahu tentang hal itu. Pun dengan dua abang tiriku itu. Mereka baru mau bermain karet. Selama ini mata pencaharian Bang Zaki maupun Bang Sukri adalah pedagang. Bukan petani. Mereka pun tidak tahu akan hal ini."Bisa. Ada dua cara menyadap dua hektar seorang diri. Pertama dikerjakan langsung dua hektar di setiap paginya. Bagi yang sudah terbiasa mah tidak capek. Tapi, bagi pemula cukup menguras tenaga. cara kerjanya pun tidak santai. Dari satu batang ke batang yang lain harus berlari. Bagi yang sudah biasa mulai dari jam lima subuh jam sepuluh siang sudah selesai. Untuk pemula dari jam lima subuh beres jam dua belas siang." Aku menyimak penjelasan Ban
Baca selengkapnya
Buku Catatan Desti
"Ibu tinggal di daerah sini?" Aku berbasa-basi sembari tersenyum kecil."Sebenarnya, di desa sebelah Mbak. Biasanya kami belanja di toko Ralia. Tapi, semenjak tahu dia pelakor kok jadi malas belanja di sana." Nggak profesional. Belanja-belanja aja toh, yang direbut juga bukan suaminya. Dasar emak-emak aneh. "Kan bukan suami ibu yang direbut. Kenapa jadi tidak mau belanja di sana?" Pertanyaan Mbak puji mewakili isi hatiku."Mbaknya nggak tahu sih. Dulu setiap kami belanja selalu dicurhati tentang kebaikan suaminya. Eh, bukan curhat tepatnya pamer sampai saya jengah. Tapi, ketika ditanya kenapa masih menikah siri? Dia bilang mertuanya belum merestui. Selama ini saya percaya aja. Kejadian kemarin membongkar semua kebohongannya. Saya paling muak sama orang yang suka bohong, Mbak. Makanya mending cari yang jauh. Ogah belanja lagi sama dia." Aku hanya bisa menghela napas tanpa bisa menjawab apa-apa."Sebentar lagi tokonya pasti bangkrut itu, Mbak. Karena warung-warung yang biasa belanja d
Baca selengkapnya
Ada Masalah Apa di Kebun?
Desti rela menggadaikan rumahnya meski ditentang oleh keluarganya demi lelaki yang dicintainya. Mas Radit. Meskipun saat itu mas Radit belum membuka hati untuk Desti. Tapi, di dalam tulisannya perempuan itu sangat yakin bisa menaklukkan hati lelaki pujaannya setelah bisa menyelesaikan hutang yang melilit mas Radit. Hutang hingga ratusan juta.Mas Radit memiliki hutang? Hingga ratusan juta? Untuk apa? Kenapa dia tidak pernah cerita padaku? Kenapa malah memilih wanita lain untuk menyelesaikan masalah sebesar itu? Sebenarnya pengkhianatan ini memang berasal dari mas Radit. Kenapa dia membuka celah pada perempuan lain? Padahal, saat itu aku mampu untuk melunasi hutang-hutangnya itu. Ah, dasar lelaki murahan. Tapi, ada rasa syukur saat menyadari hikmah di balik semua ini. Aku bersyukur kala itu mas Radit itu tidak bercerita padaku. Jika waktu itu dia jujur padaku tentang masalahnya, sudah pasti aku akan menjual kebun karet lima hektar itu untuk membayar hutang-hutangnya. Hingga aku tak m
Baca selengkapnya
Kenyataan Pahit
POV Radit"Bang, aku tidak mau tahu. Kamu harus segera mencarikan uang untuk DP mobil. Jangan sampai kita habis hajatan tidak terlihat membeli sesuatu yang baru." Desti sudah merepet pagi-pagi. Kami baru saja selesai sarapan.Aku meneguk segelas air putih hingga tandas. Otakku bekerja dengan keras. Dari mana dapat uang sebesar puluhan juta dalam waktu dekat? Uang hasil hajatan hanya cukup untuk membayar sewa-sewa serta daging sapi yang lumayan banyak. Tamunya memang banyak yang datang, tapi uang kondangannya tak seberapa."Bang, cepat gerak dong. Jangan hanya melamun dan menunggu keajaiban." Desti bangkit dari tempat duduknya. Piring kotor ia tumpuk, dibawanya ke wastafel."Pagi ini Abang mau ke rumah Kang Paimin. Setelahnya Abang akan ke rumah Pak Nardi mau kasbon." Aku berdiri dari duduk. Berjalan ke arah kulkas. Mengambil kunci motor yang disimpan di atasnya. "Pulang harus membawa hasil!" Aku hanya mengangguk menanggapi ucapan Desti. Aku maklum dengan segala perubahannya. Dia jadi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status