All Chapters of Mafia's obsession: Chapter 61 - Chapter 70

Fajar menyingsing di Strasbourg, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa pekan terakhir, kota itu terasa sedikit lebih tenang. Meski puing reruntuhan masih menghitamkan sebagian jalanan, dan aroma mesiu belum sepenuhnya menghilang dari udara, kemenangan Leo atas Dimitri menggema bagai kabar kebangkitan di antara jaringan bayangan Eropa.Di markas sementara Il Lupo, yang kini didirikan di sebuah gedung tua bekas museum, Leo duduk di depan meja bundar bersama Lorenzo, Nicolo, dan Aurora. Di tengah meja, berkas-berkas intelijen tersebar bersama peta digital yang menampilkan titik-titik merah—markas kecil mafia Rusia yang tersebar di seantero benua.“Kita tidak bisa buang waktu,” kata Leo, suaranya tenang tapi tegas. “Penangkapan Dimitri adalah pukulan keras bagi mereka, tapi bukan akhir dari semuanya. Kalau kita berhenti sekarang, mereka akan bangkit lagi—dan kali ini lebih kejam.”Nicolo meletakkan pistol yang tengah dibersihkannya. “Aku sudah tangkap tiga utusan mereka yang mencoba me

Palermo, Italia Selatan.Angin siang membawa aroma zaitun dan asap tembakau dari gang-gang tua. Di sebuah bangunan bergaya neoklasik, berdiri wanita dengan rambut hitam pekat dan tatapan setajam belati. Giulia de Luca, mantan tangan kanan Don Raphael, kini menjalankan operasi kriminal bawah tanah yang tampak seperti jaringan bisnis anggur.Seseorang mengetuk pintu kantornya dengan ritme cepat."Masuk," ucap Giulia tanpa menoleh.Yang datang adalah pria tinggi bertubuh tegap dengan jas kelabu. “Ada pesan dari Leo.”Giulia menghela napas, memutar gelas wine di tangannya. “Leo akhirnya datang padaku, ya?”“Dia bilang kau satu-satunya yang bisa mengimbangi pergerakan Vadim dari dalam.”Giulia tersenyum sinis. “Tentu saja. Karena akulah yang dulu hampir membunuh Vadim… dengan tangan kosong.”Pria itu diam, menunggu perintah.“Siapkan jetku. Kita akan terbang ke Strasbourg malam ini. Tapi sebelum itu…” Giulia membuka laci, mengeluarkan foto tua.Foto dirinya bersama Don Raphael, Leo, dan...

Samudra Atlantik, 140 mil laut dari pantai Lisbon.Gelombang menggulung di bawah langit kelabu saat kapal kargo Baltika VII terus melaju ke arah barat. Di dek atas, Nicolo berdiri menatap laut yang tak bertepi. Angin kencang menyapu rambutnya dan membuat jas tipis yang ia kenakan berkibar. Ia tampak tenang, tapi dalam pikirannya, waktu terus berdetak.Leo dan timnya hanya punya satu kesempatan: merebut kendali kapal sebelum mencapai zona aman di Karibia, tempat para mafia Kolombia menunggu kiriman senjata dan amunisi yang akan memicu gelombang perang baru.Nicolo memeriksa jam di pergelangan tangan—alat modifikasi yang juga berfungsi sebagai pemicu cadangan. Sinyal dari sistem navigasi kini telah terkunci oleh tim Leo. Tinggal satu perintah saja, dan semua mesin utama akan dimatikan secara paksa.Namun, justru pada momen itu, masalah muncul."Kapten!" teriak salah satu anak buah Mikhail. "Sistem navigasi... tiba-tiba merespons koordinat a

Kabut tebal menyelimuti kota Moskow, membungkus bangunan-bangunan tua dengan kesunyian yang mencekam. Di kejauhan, suara sirene polisi samar-samar terdengar, namun kota tetap seolah menahan napas. Di sebuah bunker bawah tanah dekat Sungai Moskva, Vadim Ivanov duduk diam di depan meja panjang. Tangannya menggenggam sebuah korek tua berlogo dua kepala elang—lambang dinasti lamanya.Pintunya terbuka. Seorang pria tua masuk dengan langkah hati-hati.“Semua jalur di Balkan runtuh. Mereka menyerang dari dalam,” kata pria itu. “Dan... Giulia masih hidup.”Vadim memejamkan mata. "Leo... Nicolo... mereka tak berhenti."Ia berdiri, menatap dinding peta Eropa Timur yang penuh lubang dan coretan merah. Jalur-jalur senjata, pengiriman, hingga rute pelarian telah dipangkas habis.“Kumpulkan sisa pasukan kita. Aktifkan Ruang Merah. Kita bersiap untuk perang terakhir.”---Markas Leo – mobil konvoi menuju perbatasan Rusia.

Kabut menggantung tebal di atas Teluk Manila. Di tengahnya, sebuah kapal kargo tua berlabuh diam. Tak ada bendera. Tak ada nama. Hanya bau garam dan besi tua yang menempel di dinding lambung. Di dalam kapal, seorang pria berdiri di depan layar hologram berwarna merah gelap. Matanya tajam seperti pisau, dan wajahnya terlindung oleh bayangan topi fedora hitam. Di belakangnya, wanita muda dengan rambut pendek platinum memegang tablet berisi data yang terus diperbarui. “Operasi Ivanov telah runtuh. Il Lupo membubarkan diri. Tapi pergerakan bayangan tetap hidup,” ujar wanita itu. Pria tersebut tersenyum tipis. “Dan saat bayangan percaya bahwa mereka adalah pelindung... di situlah cahaya menjadi rapuh.” Ia menoleh ke layar, menunjukkan peta dunia dengan titik-titik merah menyebar cepat. “Vespera bangkit. Kita isi kekosongan. Kita bukan penguasa. Kita perancang dunia baru.” --- Satu minggu kemudian – Italia Utara, rumah perlindungan Leo Leo sedang melatih beberapa anggota baru dalam t