Lahat ng Kabanata ng Mafia's obsession: Kabanata 81 - Kabanata 90

Pagi itu, kabut tipis yang menyelimuti Athena sudah berganti dengan sinar matahari yang terang, tapi suasana di markas Nicolo justru terasa semakin gelap. Di ruang pertemuan, seluruh tim berkumpul. Di tengah meja, drive yang diberikan Salvatore menyala, menampilkan logo organisasi Eden Lux—lambang malaikat bersayap emas memeluk bola dunia.“Apa ini benar?” gumam Mira, matanya tertuju pada logo itu. “Organisasi amal? Mereka punya cabang di hampir semua benua. Rumah sakit, sekolah, bantuan pangan…”“Tepat karena itu mereka tak tersentuh,” jawab Aurora sambil menelusuri data di tablet. “Kegiatan filantropi mereka hanya permukaan. Di bawahnya, mereka menyembunyikan jaringan informasi dan dana—semacam pusat kontrol ekonomi yang tak terdeteksi.”Nicolo berdiri, memandangi layar. “Dan di tengah semua itu, ada markas pusat mereka… di Zurich, Swiss.”Leo mengangguk. “Kita tak bisa menyerbu langsung. Mereka punya perlindungan legal dan keamanan swasta tingkat tinggi. Bahkan beberapa pemerintaha

Langit Swedia diselimuti mendung tebal, seolah mencerminkan atmosfer misi yang sedang dijalankan. Sebuah helikopter siluman milik Ricardo berputar perlahan di atas wilayah utara Uppsala, tepat di atas kompleks riset Eden Lux yang tersembunyi di balik ladang angin dan danau beku.Di dalam helikopter, Nicolo berdiri memandangi lanskap kelabu dari balik kaca. Napasnya tertahan, bukan karena dingin, tapi karena beban misi yang akan dimulai. Di sampingnya, Aurora memeriksa ulang sistem EMP mini yang mereka modifikasi untuk melumpuhkan jaringan komunikasi di area kompleks.“Begitu kita masuk, kita punya waktu maksimal lima belas menit sebelum sistem cadangan Eden Lux aktif,” kata Aurora dengan nada tegas.Leo menyesuaikan sarung tangan tempurnya. “Jadi kita hancurkan semua sebelum itu. Masuk cepat, keluar lebih cepat.”Lorenzo memeriksa senjata yang diberikan Ricardo. “Senjata bagus. Tapi tetap saja, kita masuk ke sarang iblis. Jangan lengah.”Nicolo menoleh ke mereka bertiga. “Kita sudah t

Salju masih menempel di bahu Nicolo saat ia menatap pegunungan Alpen dari balik jendela jet yang tengah meluncur cepat menuju Zurich. Di sebelahnya, Viktor duduk dengan wajah pucat, selimut tebal menyelimuti tubuh ringkihnya. Meski tubuhnya lemah, sorot matanya kembali tajam—seperti seorang jenius yang pernah membangun fondasi dunia baru… dan kini berniat menghancurkannya.Aurora berdiri di dekat layar taktis, menunjukkan peta bawah tanah Zurich yang berhasil mereka retas melalui celah sistem Eden Lux. “Ini dia,” katanya pelan. “Markas bawah tanah Eden Lux tersembunyi di balik Museum Sains Zurich. Tiga lantai ke bawah, tersembunyi di bawah pameran teknologi masa depan.”Leo mendengus sambil memeriksa magazin senjatanya. “Sungguh ironis. Tempat untuk merayakan kemajuan manusia, justru menyimpan alat penindas terbesar dunia.”Lorenzo menambahkan, “Kita punya waktu enam jam. Ricardo sedang mengalihkan perhatian jaringan media dan menciptakan gangguan digital di sistem Eden Lux. Tapi sete

Tiga hari telah berlalu sejak dunia terlepas dari cengkeraman Leviathan. Namun euforia kebebasan perlahan berubah menjadi kebingungan. Tanpa sistem pengatur utama, negara-negara mulai merasakan konsekuensi nyata: suplai pangan tersendat, sistem pembayaran elektronik lumpuh, dan komunikasi global tak stabil.Namun bukan hanya kekacauan yang muncul—harapan juga tumbuh. Di berbagai belahan dunia, gerakan akar rumput bermunculan, komunitas saling bantu terbentuk. Tapi di balik itu semua, sebuah kekuatan baru bergerak dalam bayang-bayang.Di kutub utara, di dalam kompleks bawah tanah dengan tembok baja setebal dua meter, pria bertopeng logam yang sebelumnya memantau keruntuhan Lux kini berdiri di hadapan sekelompok ilmuwan berpakaian putih."Protokol Fenix telah aktif," katanya datar. "Leviathan adalah fase pertama. Kini, kita memulai ulang dunia dari titik nol."Seorang wanita ilmuwan, Sarah Veyne, mengangkat tangannya dengan ragu. “Tapi, Sir… Tanpa kontrol penuh, umat manusia bisa memili

Empat hari setelah runtuhnya simpul Fenix di Lisbon, dunia mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakseimbangan sistem. Lalu lintas informasi mengalami delay aneh, drone di beberapa wilayah mogok bekerja, dan jaringan kota pintar menampilkan anomali pada pola keputusan. Fenix, sistem pengendali global, tengah mengalami krisis identitas.Nicolo berdiri di pinggir helikopter yang hendak mendarat di wilayah perbatasan Turki dan Suriah. Di hadapannya terbentang padang gurun sunyi yang memelihara rahasia masa lalu. Bersamanya, Aurora, Viktor, Leo, dan Lorenzo—lima bayangan dalam perang melawan kecerdasan yang kehilangan batas.“Kita mendekati pusat simpul Alpha Timur Tengah,” ucap Viktor sambil memegang peta lusuh yang ditandai tangan. “Dulunya markas rahasia dari unit militer bayangan. Sekarang, pusat eksperimen Fenix paling stabil yang tersisa.”“Stabil… atau tersembunyi?” celetuk Lorenzo, mengangkat kacamata taktisnya. “Tempat ini tidak ada dalam peta modern.”Aurora menimpali, “Itu karena b