Ares meremas foto di tangannya, kertasnya nyaris robek. Suara napasnya berat, setiap hela terdengar seperti deru binatang buas yang terjebak di kandang. “Dermaga 17… tengah malam,” ia berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. Maureen melangkah mendekat, wajahnya pucat. “Ares, kau tidak bisa gegabah. Kalau kau datang sendiri, itu tidak mungkin. Mereka hanya memanfaatkan kelemahanmu.” “Diam, Ryn.” Ares menoleh cepat, sorot matanya liar. “Aku tidak butuh khotbahmu. Anak itu… Sovia, dia satu-satunya alasan aku untuk mendapatkan perhatian Zivanna kembali. Kalau terjadi sesuatu padanya, aku juga yang akan akan hancur. Aku tidak bisa membiarkan semua mimpi dan rencanaku berantakan.” Maureen mengepalkan tangannya, ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Perempuan itu melihat sesuatu di mata Ares—campuran antara cinta, rasa bersalah, dan kegilaan. “Kalau begitu, aku akan ikut denganmu,” ucap Maureen akhirnya. Ares tertawa sinis, namun tawanya lebih mirip erangan putus asa. “Kau? Ryn, k
Terakhir Diperbarui : 2025-09-09 Baca selengkapnya