Semua Bab Gairah Cinta Kakakku: Bab 131 - Bab 140

"Rumah ini Kakak beli secara nyicil sama Opa, Dek. Sebenarnya... Opa pengennya ngasih, cuma Kakak yang nolak. Kakak juga sengaja milih rumah yang nggak terlalu gede, karena selain lebih murah... rumah terlalu besar juga mengkhawatirkan, apalagi kalau cuma kita berdua yang tinggal di sini," jawab Juna, menjelaskan dengan sabar sambil menggenggam tangan Silvi erat. Dia ingin Silvi tahu bahwa keputusan ini diambil dengan pertimbangan matang. "Mengkhawatirkan kenapa, Kak?" Dahi Silvi tampak berkerut, merasa bingung dengan jawaban Juna. Dia mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan suaminya. Perlahan, dia mengusap perutnya yang masih rata. "Bukankah sebentar lagi rumah ini akan ada anggota baru? Calon anak kita?" tanyanya dengan nada lembut, membayangkan kehadiran sang buah hati yang akan meramaikan rumah mereka. "Iya, sebentar lagi akan ada calon anak kita. Yang Kakak maksud mengkhawatirkan itu sekarang. Sekarang 'kan kamu dalam keadaan hamil, kalau rumah besar pasti bertingkat dan pa

"Silakan cek saja," ucap Opa Angga, nada suaranya datar dan tenang, seolah tak terusik sedikit pun. "Tapi... kebetulan CCTV di rumahku rusak sejak seminggu yang lalu.""Rusak??" Kedua polisi itu berujar bersamaan, nada suara mereka mencerminkan kekecewaan. Mereka saling memandang, seolah sedang berkomunikasi tanpa kata.Padahal, rekaman CCTV di rumah itu adalah satu-satunya bukti yang bisa mereka dapatkan untuk memastikan apakah laporan Melati bisa dipercaya atau tidak, mengingat CCTV di rumah Papi Tian pun mengalami kerusakan misterius."Apa Opa sengaja merusak CCTV?" tuduh Melati, tatapannya tajam menusuk Opa Angga."Pertanyaan macam apa itu? Kamu ini ada-ada saja, untuk apa Opa merusak CCTV," jawab Opa Angga, sambil terkekeh pelan, merasa lucu dengan tuduhan Melati yang menurutnya tak berdasar."Bisa saja Opa memang sengaja menutupinya, karena takut kedua anak Opa masuk penjara," balas Melati, suaranya meninggi."Mel, jaga bicaramu!" tegas Mami Nissa menyela, suaranya bergetar. Dia

"Apakah Mami sedang mengancam Papi?" tanya Papi Tian, suaranya kini melembut, mencoba meredam gejolak emosi yang berkecamuk dalam dirinya.Dadanya terasa sakit saat berkali-kali telinganya terngiang-ngiang kata cerai yang dilontarkan istrinya. Dia tidak menyangka bahwa rumah tangganya akan berada di ujung tanduk seperti ini.Mami Nissa menatap Papi Tian dengan tatapan dingin, "Terserah Papi anggap itu sebuah ancaman atau bukan. Tapi yang jelas... Mami hanya ingin keluarga kita kembali utuh seperti dulu," jawabnya tegas.Dia tidak peduli lagi bagaimana Papi Tian menafsirkan kata-katanya. Yang terpenting baginya adalah keutuhan keluarganya."Tapi, Papi—" Papi Tian mencoba membela diri, namun Mami Nissa segera memotongnya."Papi bisa pikirkan dulu baik-baik, nggak perlu terburu-buru," sergah Mami Nissa menyela. "Kita masih ada waktu sampai mediasi pertama kita dimulai. Dan Mami minta... tolong tutupi hal ini kepada Melati, Mami nggak mau dia ikut campur, karena ini bukan ranahnya." Dia t

Dengan berat hati, Silvi akhirnya mengalah pada bujukan Juna. Mereka memutuskan untuk makan ayam geprek di sebuah restoran.Aroma ayam yang gurih sebenarnya cukup menggugah selera, tapi bayangan kodok geprek tetap menari-nari di benaknya.Sambil menikmati suapan pertama ayam geprek, Silvi memasang headset dan memutar video wanita yang sedang asyik menyantap kodok geprek. Juna hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah istrinya.Namun, belum sempat Silvi benar-benar hanyut dalam fantasinya, dua sosok familiar menghampiri meja mereka. Mereka adalah Monica dan Rere, teman satu jurusan Silvi di kampus."Silvi, kamu makan di sini juga dengan Kakakmu?" tanya Monica dengan nada sedikit terkejut."Eh, Monic," sahut Silvi, segera melepaskan headset dari telinganya. Matanya beralih menatap kedua temannya. "Kalian makan ayam geprek juga di sini?""Iya, nih," jawab Rere, matanya melirik ke arah Juna dan Silvi bergantian. "Boleh gabung apa enggak nih, Vi? Kak Juna?""Ada yang mau kami tanyaka

"Tapi, Papi—""Kalau memang sekarang Papi belum bisa mengambil keputusan, ya sudah," sela Mami Nissa cepat, nada bicaranya meninggi, menunjukkan kekesalannya.Padahal dia mengatakan siap menunggu, tapi nyatanya tidak begitu."Mami pamit kalau begitu, ayok jalan Ahmad!" titahnya cepat sambil menepis tangan suaminya, tanpa menatapnya."Tu-tunggu, Mi!" Papi Tian tampak gelagapan, merasa panik. Dia tidak menyangka Mami Nissa akan bertindak sejauh ini. Ucapannya tadi tentang dia merindukan istrinya adalah benar, dan dia tidak ingin jika malam ini kembali tidur tanpa kehangatan Mami Nissa. Dia membayangkan ranjangnya yang kosong, rumahnya yang sunyi, dan hatinya yang hampa. "Ba-baiklah, Papi akan mengambil keputusan sekarang dengan mempertahankan rumah tangga kita."Mami Nissa tersenyum puas, senyum kemenangan yang membuat Papi Tian merasa kecewa. "Kalau begitu, Papi masuklah ke dalam untuk ajak Melati. Kita akan pergi ke rumah baru Juna dan Silvi, Mami mau Papi minta maaf pada mereka.""L