Nasib buruk itu bernama Agra, yang seolah menghantui sepanjang hidup Neira. Lelaki itu, memperkosanya bertepatan saat Neira harus kehilangan orang tua tunggalnya. Tak cukup sampai di situ. Dia hamil akibat ulah Agra, dan terpaksa harus mengakhiri kisah cintanya yang sudah terjalin selama enam tahun dengan kekasihnya. Nahasnya, Agra menolak untuk bertanggung jawab. Malang tak dapat disangkal, mujur tak dapat ditolak. Saat semua menjadi sulit satu harapan muncul, cinta masa kecilnya hadir kembali dalam hidup Neira. Akankah cinta masa kecil Neira mampu menerima keadaan Neira saat ini? Dan apakah nasib buruk bernama Agra akan berhenti menghantui hidupnya? Jawabannya hanya ada saat kamu membaca kisah ini. Jangan lupa siapkan tisu dan kopi.
View MoreLorong-lorong bercat putih tulang ini terasa sunyi bagi Neira, walau kenyataannya lalu-lalang orang sedari tadi berpapasan dengan dirinya. Berada di sini, rasanya lebih menakutkan dari tempat manapun yang pernah ia pijak. Kaki terasa berat untuk melangkah. Di kepalanya ada ribuan suara kata hati yang sedang berkecamuk, berdebat dengan diri sendiri, memaki diri sendiri. Hatinya berkata, 'Jangan datang ke tempat ini!' tapi otaknya tak mampu lagi berpikir tempat mana lagi yang harus ia tuju.
Tepat di depan pintu lift langkah kaki Neira berhenti. Ia tidak segera memasuki lift, tapi bergeming dengan tatapan kosong pada lantai lift itu. 'Benarkah ia harus kembali ke tempat ini?' Lagi dan lagi ia menanyakan pertanyaan ini pada dirinya sendiri. Dalam kebimbangan yang kian menjadi, langkahnya justru terayun menjauhi lift, ia memilih menaiki tangga menuju lantai enam tujuannya.
Seperti orang yang kehilangan kewarasannya, gadis ini menghitung satu persatu tangga yang ia pijak. Sesekali ia berdoa, bahwa sesuatu hal buruk yang ada di otaknya saat ini akan benar-benar terjadi.
Selangkah demi selangkah ia semakin ke atas. Tepat di anak tangga ke 353 ia berhenti. Kakinya sudah mulai gemetar, napasnya menderu dengan cepat. Ia kelelahan.
Perlahan Neira meraba perutnya. Lalu tersenyum getir. Ia sudah menaiki tangga sejauh ini, tapi hal buruk yang ia harapkan tidak juga terjadi. Takdir, kenapa harus sekejam ini pada dirinya?
Ia menatap ke bawah, pada sepasang sepatunya yang kusam. Sekian detik setelahnya, entah bagaimana? Tapi ledakan emosi itu tiba-tiba menyergap dirinya tanpa ampun. Marah, sedih, putus asa, semua perasaan bergumul penuh dalam hatinya. Gadis itu luruh terduduk di anak tangga. Tangis yang awalnya perlahan, lambat laun berubah menjadi raungan.
Neira histeris, ia meraung sekuat yang ia bisa. Tangis itu pecah seiring dadanya yang terasa sesak kali ini,____ sangat sesak_____ berapa kali pun ia memukul dadanya, tetap saja sesak itu tak kunjung mereda.
"Tuhan ... Kenapa harus aku?"
***
Denting berdetak pada menit ke empat puluh sembilan, menunjukan pukul tiga sore kurang sebelas menit lagi. Gadis itu telah sampai pada kamar apartemen yang ia tuju.
Namun, ia masih berdiam diri, tak kunjung menekan bel yang menempel pada pintu di hadapannya. Apalagi yang sebenarnya ia tunggu? Ia sudah berjuang melewati 465 anak tangga yang pasti amat sangat melelahkan, tentunya bukan hanya untuk menjadi patung di depan kamar apartemen orang, bukan?
Tapi kenyataannya memang demikian. Hingga satu jam lamanya, Neira hanya mematung di tempatnya. Sesekali kakinya bergerak gelisah, lalu tangannya yang berkeringat dingin itu sibuk memilin tali di pinggang mini dress-nya yang menjuntai.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya yang kering, penuh dengan keraguan. Tiga bulan lalu, saat ia memutuskan memasuki pintu di hadapannya ini, malapetaka yang ia dapatkan. Kali ini, akankah ia mendapatkan sebuah keberuntungan? Ia sendiri tidak yakin.
Neira meremas ujung roknya. Ia melangkah pergi meninggalkan pintu sialan itu. Tapi baru lima langkah, gadis itu memutuskan untuk kembali. Dengan tangan yang gemetar, dan jantung yang berdetak begitu kencang. Gadis itu memejamkan matanya rapat-rapat saat jemarinya mulai menyentuh tombol merah pada pintu.
"Ting ... Tung ...."
***
Kamar 015F.
Agra meletakkan gelas kacanya pada meja, isinya masih setengah. Lelaki itu menggeliat sejenak, meregangkan otot-ototnya yang kaku, sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya pada sofa panjang yang empuk.
Tiga hari ia tidak tidur, bergelut dengan laporan akhir tahun dan juga sidak bulanan di beberapa kantor cabang. Sebagai pemimpin tertinggi di perusahaan Advertising milik ayahnya,_____Bagaskara Printing and Advertising. Co_____tidak serta merta membuat Agra bisa bersantai. Dan lusa, dia sudah harus terbang ke berbagai wilayah untuk pengecekan langsung cabang di luar kota dan luar pulau.
Baru saja ia hendak terlelap, tapi bunyi bel membuatnya harus terjaga kembali. Agra berdecak, ia meradang dan mengacak rambutnya penuh frustasi. Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut, ia terpaksa bangun.
"Ya?" satu kata yang keluar dari mulut Agra setelah melihat sosok gadis yang membuyarkan jadwal tidurnya.
Agra menaikkan alisnya melihat sosok di hadapannya saat ini. Rambut sebahu yang berantakan sama seperti dirinya, mata bengkak pun tak berbeda jauh dari mata Agra. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu, tapi dia sedikit tersenyum dan tertawa kecil seolah menertawakan dirinya sendiri. Berbeda dengan Neira, yang justru diam seribu bahasa melihat Agra. Dan itu membuat Agra bingung.
"Ada keperluan apa ya, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?"
Tanya lelaki itu kembali, tapi respon yang di dapat Agra tidaklah berbeda. Gadis itu tetap diam seribu bahasa dan menatapnya dingin.
Agra memijit pelipisnya. Kepalanya sudah pening, matanya pun tak kalah perih karena menahan ngantuk. Kenapa pula saat ini dia harus disuguhi gadis aneh seperti ini? Ok, jarum kesabarannya sedikit lagi mendekati titik 'ON'.
"Sekedar informasi. Saya belum tidur tiga hari. Anda mengganggu jadwal tidur saya. Dan saya, bukanlah orang yang sabar. Anda bisa mengerti, Mbak?"
Agra memajukan wajahnya, menatap gadis itu penuh dengan selidik. Tapi gadis manis itu bergeming, menatap dirinya tanpa berkedip.
"Ok!" Agra mengangkat kedua tanganya____menyerah. "Silahkan jadi satpam di depan kamar saya." Putus Agra akhirnya. Ia menutup pintu apartemen.
Namun, baru beberapa langkah ia meninggalkan pintu, bel itu berbunyi kembali terus menerus bagai teror.
Agra mendesah. Menjambak rambut ikalnya penuh frustasi.
"What the fu*k!"
____________________________________FUNFACT : Adakah yang suka dengan aroma spidol? Minyak tanah atau bensin? Bau kompor bersumbu yang baru mati? Ok, kita satu frekuensi :)
Pelukan hangat lima manusia itu hadir seolah perpisahan mereka begitu lama. Setelah berbasa-basi mengucapkan selamat kepada Ethan atas wisudanya, Agra memilih untuk mendorong kursi roda ayahnya dan berjalan di sisi ibunya. Seakan dirinya memberikan ruang bagi Neira dan Ethan untuk meluapkan kerinduan. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf atas tindakan cerobohnya tadi di dalam mobil. Dari sudut matanya, Agra bisa melihat jelas bagaimana dua manusia itu saling mendekap erat, atas nama kerinduan. Mendesah pasrah, Agra rela tak rela meninggalkan mereka Ethan dan Neira. Walau sejenak dapat hatinya terbersit sebuah tanya. Apakah mungkin secepat itu cinta hadir antara Ethan dan Neira? Wajah-wajah bahagia tampak jelas di sana. Ethan yang berbinar di sepanjang bercerita dengan Neira. Pun wanita itu yang selalu terlihat bersemu sejak dari bandara hingga kini mereka sudah akan tiba di rumah. Ayah dan ibu tak jauh berbeda, sesekali tergelak menimpali cerita Ethan dan Neira. Hanya Agra yang just
Langit cerah hari ini, secerah wajah Neira yang sudah tidak sabar bertemu dengan Ethan. Kini dirinya sedang berada di dapur, menyiapkan beberapa hidangan sarapan untuk diletakkan di atas piring. Entah kenapa, hatinya berbunga saat semalam Ethan mengabarkan hari ini mereka akan pulang. Mungkin karena rindu pada ibu dan bapak, atau mungkin juga dirinya merasa kembali terlindungi saat Ethan sudah berada di dekatnya. "Hari ini bapak sama ibu pulang ya, Mas?" tanya Mak Oni ketika menata sarapan di meja makan. Ada Agra di sana, duduk sendirian sedang membaca koran menanti sarapan siap. "Iya, nanti sore. Mak kok tau? Mami ngabarin?" Agra menurunkan korannya. "Bukan, Neira tadi kasih tau. Katanya semalam Mas Ethan ngabarin mau pulang.""Oh, Neira. Mak mau ikut saya jemput ke bandara?" Agra tersenyum melihat Mak Oni yang kegirangan atas penawarannya. "Duh, pengen banget Mas, tapi kerjaan Mak Oni masih banyak. Beresin kamar ibu, Mas Ethan, duh masih numpuk pokoknya. Nanti oleh-olehnya aja y
Agra susah payah menggendong Neira memasuki rumah. Wanita itu tertidur pulas saat perjalanan pulang. Dengan berat badan Neira yang berbadan dua, dan kondisi cidera Agra yang sebenarnya belum sepenuhnya pulih, lelaki itu benar-benar mengorbankan banyak tenaga. Jarak kamar Neira yang jauh di rumah bagian belakang dan harus melewati dapur, membuat Agra enggan mengantar wanita itu ke sana. Mau tak mau ia merebahkan wanita itu di kamar miliknya. Toh, wanita itu sudah pernah tidur di kamarnya, harusnya tak masalah dan tak akan marah saat nanti ia terbangun. Berpeluh keringat dan napas ngos-ngosan. Agra menghirup oksigen banyak-banyak setelah beban di lengannya itu hilang. Sumpah demi apa pun, lengannya benar-benar kebas sekarang. Setelah mengatur suhu AC, Agra menyelimuti Neira. Entah kenapa, wajah pulas Neira yang begitu polos membuat sudut bibir Agra tertarik ke atas dengan sendirinya. Menutup pintu perlahan, Agra meninggalkan Neira. Ia butuh minum! Namun, yang tidak Agra tahu, setelah
Gambar layar bergerak beraturan, menunjukan sesosok bayi cantik di sana. Bahkan sebuah senyum tersungging di bibir mungilnya. Baru kali ini Agra melihat langsung USG 4 dimensi kandungan Neira. Tak dapat dipungkiri, hatinya terenyuh. Bahkan saat suara detak jantung si kecil itu mulai terdengar di audio ruang periksa, jantung Agra berdetak berkali lipat kencangnya. Pelupuk matanya sempat panas dan berkaca, saat senyum si kecil mengembang jelas. Hidung, bibir, dagu, terlihat sama persis dengan milik Agra. "Wah, ini cetakan bapaknya ya. Ibunya tidak kebagian," canda dokter kandungan yang masih dengan telatennya menelusuri perut Neira dengan alat USG. Neira tersenyum kikuk, begitupun dengan Agra. Bagaimanapun mereka bukan sepasang suami istri yang sedang dengan gembira menanti si calon buah hati. Jadi jangan harap akan ada reaksi hangat dan suka cita yang berlebihan, apalagi mesra, saat melihat si kecil ada di sana. "Sehat kan, Dok?" tanya Agra, memecah kekakuan di antara mereka. "Seha
Pagi menyingsing. Mentari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Namun, sejak selesai subuh tadi Agra sudah bergegas pergi ke pasar tradisional yang tak jauh dari rumah. Berbekal naik sepeda kayuh yang biasa Mak Oni pakai, Agra menikmati paginya dengan penuh suka cita. Rasanya sudah lama sekali dirinya tidak menikmati aktivitas semacam ini. Sendal jepit, celana pendek selutut, kaos putih polos presbody, tak lupa topi hitam kesayangannya dulu waktu masih berkuliah, menjadi outfit ternyaman yang ia kenakan. Agra tidak terlihat kikuk sama sekali. Beberapa pedagang justru masih mengenali Agra yang dulu acap kali ikut berbelanja bersama Ratih. Tak lupa, ia mampir ke tempat bubur kacang hijau langganannya sewaktu dulu. "Mang, sehat?" sapanya ketika baru memarkirkan sepeda di dekat gerobak bubur yang biasa mangkal di depan pasar itu. "Weh, Mas Agra. Lama tidak kelihatan." "Iya, Mang. Bubur satu ya, Mang." Agra berbegas mengambil kursi untuknya duduk. Menghirup udara pagi dalam-dalam,
"Kamu baik-baik aja di rumah?" Suara di seberang sana tampak sedikit lesu. "Hemm ...." Neira menjawabnya dengan bergumam. Matanya lelah dan ia sedikit lagi sudah akan terlelap. "Jangan capek-capek ya. Tidak ada Mak Oni di rumah, bukan berarti kamu harus kerjain semua hal sendiri." "Iya. Engga diforsir kok, Kak." "Agra tidak bikin ulah, kan? Larasati pernah datang?" ... Ada jeda, entah mengapa Neira justru terdiam saat Ethan bertanya tentang Agra. Ulah? Neira sedikit ambigu mencerna kata itu. "Kok diam? Kalian tidak terlibat pertengkaran lagi, kan?"______"Nei?" "Ah, iya. Apa, Kak? Maaf, Nei ketiduran." Neira tergagap. Alasan klise yang sedikit geli untuk di dengarkan, bahkan oleh dirinya sendiri. "Udah mau tidur ya? Padahal aku masih kangen mau ngobrol." "Kangen?" Pertanyaan yang entah Neira lontarkan untuk dirinya sendiri atau untuk Ethan. Dan seolah Ethan sadar, bahwa ia telah kelepasan bicara. "Eh, engga. Maksud Kakak, masih mau ngobrol sama kamu tanya keadaan. Waktunya US
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments