MANTAN WITH BENEFIT
"Aku bukan lagi pelabuhanmu, Heksa. Yang menunggu cuma untuk di tinggalkan oleh kapalmu."
Aku nggak tahu sama apa yang kurasakan saat ini. Jujur, aku nggak pingin dia pergi lagi, tapi keadaanku saat ini nggak memungkinkan untuk bersamanya. Aku punya Alzian, suamiku.
"Jadi kamu nggak mau nunggu aku sekali lagi? Kapalku nggak akan berlayar, kalau kamu yang minta."
"Nggak, berlayarlah yang jauh! Singgahi setiap pelabuhan yang kamu lewati. Aku cuma pelabuhan tempat di mana kamu memulai perjalananmu. Dan pastinya, aku bukan tujuanmu."
Hening.
Tenggorokanku seperti tercekik saat buih mataku mengalir. Ibu jarinya menyapu pipiku dengan lembut.
"Dan sekarang kamu ngusir aku?"
"Hidupku udah cukup ribet gara-gara kamu, paham! Aku tuh cuma mau kamu dapatin wanita yang pantas. Hubungan kita, tuh, nggak bakal berjalan baik kalau kita terusin. Gimana kalau nanti kita ketahuan? Aku nggak mau pernikahanku hancur secepat ini, Heksa."
"Oke, aku bakal tunggu selama apa pun itu."
"Nggak. Aku nggak mau hancurin pernikahanku dan nggak bisa janjiin apa-apa ke kamu."
"Nggak apa-apa aku terima, kok. Asal aku tetap bisa ketemu sama kamu."
"Mending kita nggak usah ketemu lagi, deh. Kecuali kamu sudah menikah sama wanita lain!" bentakku.
Heksa mendekat, mengusap kedua bahuku. Dia kasih senyum pahit saat tahu air mataku mengalir lagi, "Maksud kamu apa, sih, Khal. Aku gak boleh dat—"
"Sampai nanti, Heksa. Di pesta pernikahanmu, aku pasti bakal nemuin kamu," potongku sambil memutar badan, "Kamu boleh pergi sekarang. Aku bisa masuk sendiri."
Sakit.
Tapi inilah satu-satunya cara yang menyelamatkan kita dari hubungan nggak jelas ini.