Bab 2
Matahari telah muncul di ufuk timur, membuat Aruna dilanda gelisah. Semalaman tadi ia tak bisa tenang. Aruna sadar diri, jika lelaki kaya seperti Bastian yang kerap bersinggungan dengan perempuan cantik dan berpenampilan menarik, jelas tak akan sudi menyentuh perempuan kampung sekaligus pekerja paruh waktu di banyak tempat seperti Aruna.
"Kami berbeda," gumamnya mengulang kalimat serupa. "Aku gak boleh menyesal sama pernikahan ini. Apa pun yang dilakukan sama Mas Bastian, harus aku terima. Toh, aku yang mau nikah sama dia."
Aruna mengangguk. Lantas ia beranjak dari tempat tidur dan membuka lemari. Aruna hendak mengambil pakaian, kemudian mandi pagi. Ketika ia keluar kamar, matanya tertuju pada Bastian dan Heru yang tengah bicara di kursi tua ruang tengah.
"Sejak kapan Mas Bastian pulang?" tanya Aruna dalam hati.
Segera ia meleburkan wajah bingungnya dan melanjutkan langkah ke kamar mandi. Akan Aruna coba untuk bersikap biasa saja. Seolah ia dan Bastian berada di kamar pengantin kemarin malam.
"Eh, pengantin baru udah bangun! Gimana sama suami kamu?" tanya Yanti, adik Heru. Perempuan itu menghadang Aruna di dapur.
Hanya bisa melukiskan senyum, itulah yang dilakukan Aruna. Langkah kakinya yang tergesa ke dalam kamar mandi mengundang cekikikan para perempuan yang tengah sibuk membereskan dapur.
"Apalah mereka itu!" gerutu Aruna sambil menggelengkan kepala.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya terasa segar disiram air dingin. Aruna kembali ke kamar. Di sana ia berhias diri dengan semestinya, lantas bergabung dengan suami dan ayahnya di ruang tengah.
"Run, Nak Bastian punya niat mau merenovasi rumah ini," ujar Heru penuh senyum, kedua matanya berbinar terharu.
Terkejut? Sudah pasti! Namun, Aruna memilih diam. Kepalanya menoleh ke samping kiri. Bastian hanya mengukir senyum, lantas berkata, "saya rasa rumah ini memang harus diperbaiki, Yah. Bukan apa-apa, sekarang Ayah sedang menjalani pengobatan, pastinya Ayah butuh tempat yang nyaman saat pulang dari rumah sakit."
Barulah Aruna menelan ludah usai terperangah. Rasanya tak percaya Bastian bisa berkata sepanjang itu. Biasanya, lelaki itu sangat irit bicara. Mulutnya kerap terkatup.
"Mas serius?" tanya Aruna ingin memastikan.
"Serius, Run. Nanti saya panggilkan kontraktor yang kebetulan kerja di kota ini," jawab Bastian lugas. "Pertama-tama, rumahnya pasti akan dihancurkan dulu, jadi Ayah harus mencari kontrakan di dekat sini. Biar nanti saya yang urus semuanya," tambahnya sangat meyakinkan.
Kepala Aruna menggeleng pelan, bukan untuk menolak semua kebaikan dari suaminya. Melainkan ia masih tak percaya.
"Mas, kenapa kamu baik sama Ayah?" Akhirnya pertanyaan itu terlontarkan
"Pertama, karena Ayah Heru ini adalah mertua saya. Kedua, Fathan sayang sekali sama Ayah Heru. Apa kamu lupa, selama ada di sini, Ayah Heru memperlakukan Fathan dengan baik?"
Soal itu ... jelas Aruna tak akan pernah lupa. Ia kembali menggelengkan kepala. Sejak Fathan datang dua hari lalu bersama rombongan yang dibawa Bastian, Heru memang memperlakukannya dengan baik dan penuh kasih sayang. Bastian bisa melihat putra semata wayangnya begitu nyaman bicara dengan Heru dan menceritakan banyak hal, padahal mereka baru berkenalan.
Sayangnya, Fathan harus kembali ke Jakarta kemarin sore bersama Lusiana dan keluarga yang lain.
"Sekarang kamu siap-siap," titah Bastian.
"Siap-siap ke mana, Mas?"
"Kita akan ke Jakarta hari ini. Saya punya banyak kerjaan di sana, dan gak mungkin kita berdua berjauhan. Saya sudah izin sama Ayah."
Pandangan Aruna beralih pada Heru, dan lelaki paruh baya itu menganggukkan kepala. "Sudah seharusnya kamu ikut kemanapun suami kamu pergi. Ayah ikhlas, Run."
Hati Aruna begitu berat. Ia pikir, dirinya dan Bastian akan tinggal di kampung selama satu minggu setelah acara resepsi kemarin. Namun, Aruna sungguh lupa jika suaminya adalah seorang pengusaha yang sangat sibuk.
Terpaksa sekali ia menganggukkan kepala. Masuk ke dalam kamar, Aruna mengemas beberapa helai pakaian yang paling bagus. Nanti di Jakarta, Aruna akan membeli pakaian mahal, karena ia mendapatkan banyak uang dari Bastian.
"Aku harus berjauhan lagi sama Ayah. Tapi gak apa-apa, karena sekarang aku gak perlu mikirin biaya pengobatan Ayah. Aku juga gak perlu khawatir sama kebutuhan Ayah di sini. Semuanya udah ditanggung Mas Bastian."
Dua jam kemudian, Aruna dan Bastian telah siap meninggalkan rumah. Tentu ada perpisahan mengharu-biru antara ayah dan anak yang sekarang tengah berpelukan.
"Ayah gak apa-apa, Run. Ada Bi Yanti di sini, kamu gak usah khawatir."
Aruna memang mengangguk, tetapi tangannya tak mengurai pelukan itu. Dalam hati, ia sungguh percaya kalau Yanti akan merawat Heru dengan baik seperti biasa. Namun, di bagian hati yang lebih dalam lagi, Aruna tetapi merasa keberatan meninggalkan tanah kelahirannya dalam waktu yang sangat singkat.
"Nanti kamu bisa telpon Ayah, Run," ucap Bastian memegang bahu sang istri. "Saya sudah kasih Ayah ponsel," imbuhnya.
Hati Aruna sedikit lega. Ia mengurai pelukan dan masuk ke dalam mobil yang akan dikendarai oleh Bastian seorang diri usai berpamitan dengan semua orang. Barulah Aruna ingat, kalau tengah malam kemarin Bastian meninggalkan rumahnya.
"Pake sabuk pengamannya," ujar Bastian.
Pertanyaan yang hendak keluar dari mulut Aruna langsung sirna, karena saat ini Bastian sengaja mengulurkan sebelah tangannya untuk menarik sabuk pengaman di kursi yang tengah diduduki oleh Aruna.
Jantung perempuan itu berdebar. Sepanjang perjalanan yang melelahkan, Bastian tampak hangat dan ramah. Lagi, ia memang lebih banyak diam, tetapi tak ada suara ketus saat menimpali ucapan Aruna.
Hanya saja, saat mereka sampai di Jakarta setelah menempuh perjalanan selama enam jam lamanya, Bastian kembali pergi tanpa berpamitan. Aruna ditinggalkan begitu saja di sebuah rumah besar.
"Mama!" teriakan dari Fathan membuyarkan lamunan, serta menyingkirkan banyak sekali pertanyaan. Ia berbalik, memeluk Fathan sangat erat.
Sikap Bastian memang masih abu-abu dan kerap membuat Aruna merasa tak nyaman. Namun, setidaknya ia memiliki Fathan. Di rumah besar nan mewah yang akan dirinya tempati mulai saat ini, Aruna yakin tak akan merasa kesepian.
*****
Bab 110 Ancaman Untuk Sandra"Papa tidak bisa menyentuh Bastian! Dia dijaga banyak orang!"Juanda kembali marah setelah mendengar perkataan Burhan di seberang sana. "Lakukan cara apapun, Pa! Jangan biarkan Bastian menang, karena kita harus mendapatkan Fathan! Ingat, Pa, sampai detik ini menantu Papa tidak bisa melahirkan anak laki-laki! Cuma aku yang bisa memberikan Papa penerus keluarga!"Setelah berucap sembarangan pada ayahnya sendiri, Juanda langsung mematikan sambungan telepon. Ia begitu emosi, lantaran tak ada seorang pun yang bisa diandalkan.Semuanya menyerah saat berurusan dengan Bastian."Apa yang mereka takutkan dari seorang Bastian Widjaya? Laki-laki tak sekuat kelihatannya! Bastian sangat lemah, apalagi jika orang-orang terdekatnya berhasil diusik!"Juanda memukul-mukul setir kemudi. Sekarang ia bingung harus merencanakan apa, lantaran kepalanya terasa penuh.Lantas beberapa saat kemudian, Juanda teringat pada Sandra. Perempuan itu mengatakan akan mendapatkan informasi te
Bab 109 Permintaan ArunaBastian tak memaksakan kehendak. Setelah Aruna mengatakan tidak, maka ia pun keluar dari kamar. Hanya saja, sekarang Bastian merasa bingung harus mengatakan apa pada Lusiana."Bas, Mami bingung harus menenangkan Fathan dengan cara apalagi. Tiap hari dia selalu menanyakan Aruna. Dia sangat rindu sama ibunya, Bas. Tolong beri tahu Aruna soal Fathan. Mami gak tega melihat Fathan terus murung tiap harinya karena gak bisa ketemu sama Aruna."Untuk menyampaikan hal tersebut, siang tadi Lusiana menemuinya di kantor. Bastian pun mengatakan kalau ia akan bicara pada Aruna. Karena bagaimanapun, kebahagiaan Fathan adalah nomor satu.Sebenarnya, sejak Fathan tinggal di rumah Lusiana, Bastian sudah mengkhawatirkan hal seperti ini, mengingat istri dan anaknya sangat dekat. Fathan pastilah merasa bingung, karena mendadak ia tak bisa menemui Aruna.Jangankan bertemu secara langsung, bicara melalui telepon saja tidak pernah bisa."Apa aku harus memohon pada Aruna, atau mengata
Bab 108 Diary Berlian"Dari baunya, warna kertasnya yang sebagian sudah menguning, buku ini bukan buku baru," gumam Aruna, setelah membuka asal beberapa lembar dari buku harian milik Berlian.Aruna memang sangat berhati-hati, karena ia berpikir kemungkinan besar Bastian akan menipunya, mengingat kamar ini berada di rumah lelaki itu."Aku putuskan, kalau ini memang buku harian milik mendiang Berlian." Aruna bergumam lagi. Sembari mengangguk setelah mendapatkan keyakinan, akhirnya ia membuka halaman pertama.[Kata orang, awal memasuki dunia perkuliahan adalah masa-masa terindah untuk jatuh cinta. Dan sejak pertama kali masuk kuliah, aku sudah jatuh cinta dengan seorang kakak tingkat. Kemarin malam saat acara wisuda cinta pertamaku ini, aku memberanikan diri memberikan dia buket bunga. Senang sekali, karena dia menerima dan menanyakan namaku!]Tanpa sadar, Aruna ikut tersenyum membaca isi hati Berlian yang tertuang dalam sebuah catatan. Membuka halaman kedua, Aruna pun ikut merasakan bet
Bab 107 Pembalasan BastianHari ini Juanda merasa sangat bahagia. Semuanya sesuai dengan rencana yang telah disusun. Kedua orang tuanya akhirnya mengizinkan ia menikahi Aruna, agar kelak bisa mengambil alih Fathan. Selain itu, Burhan juga bermurah hati memberikan fasilitas lain, seperti bodyguard yang mulai besok akan berjaga di villa, juga tentunya nominal uang yang tak sedikit.Sekarang, Juanda tengah melakukan perjalanan menuju villa. Ia akan mengajak Aruna makan malam di luar, tentunya di lokasi yang jauh sekali dari kediaman Bastian.Akan tetapi, saat mobilnya sudah dekat dengan area villa, Juanda keheranan karena ada banyak orang berbondong-bondong ke arah tempat tinggalnya."Kenapa mereka naik ke bukit? Ada apa ini?" tanya Juanda mulai merasa was-was.Saat itu juga, ia menambah laju kendaraan. Saat semakin dekat, barulah Juanda melihat kepulan asap yang berasal dari dalam villa. Kontan saja lelaki itu keluar dari mobil dengan langkah begitu cepat."Kenapa rumahku bisa terbakar?
Bab 106 Rencana LicikJuanda telah tiba di kediaman keluarga Raharja. Dengan langkah ringan, ia masuk begitu saja, tak memedulikan tatapan para asisten rumah tangga yang terkejut akan keberadaannya.Sudah lama sekali Juanda tak pulang, karena selama ini ia selalu bersembunyi di beberapa tempat untuk menghindari dendam kesumat keluarga Widjaya. Lantas sekarang, Juanda punya alasan mengapa tiba-tiba saja ia pulang ke rumah.Pertama, Juanda ingin mengambil dokumen-dokumen penting miliknya. Kedua, ia harus meminta uang pada Burhan. Lalu yang ketiga, Juanda akan membeberkan rahasia besar yang selama ini disembunyikan rapat-rapat oleh keluarga Widjaya."Seenaknya kamu pulang ke rumah tanpa pernah memberi kabar keluarga kamu sendiri!" Burhan menghampiri Juanda yang tengah sibuk di kamarnya.Asalnya Burhan tengah berada di kantor, tapi orang-orang di rumah kompak memberi kabar serupa, bahwa Juanda ada di rumah. Maka dari itu ia memutuskan untuk pulang. Sementara sang istri akan menyusul setel
Bab 105 Lusiana Dan Aruna Bersitegang"Kamu pikir aku akan percaya, Mas?" tanya Aruna dengan tawa. "Setelah menyaksikan sendiri betapa kasar perlakuan kamu, aku memutuskan untuk tetap percaya pada Juanda!" putusnya berdiri tegak."Tidurlah di kamar ini, dan cari tahu semuanya sendiri. Jawaban yang sebenarnya ada di sini," ucap Bastian ikut berdiri."Aku mau keluar dari rumah ini, Mas! Aku gak mau jadi istri dari seorang pembunuh seperti kamu!""Apa maksud kamu?!" Lusiana yang baru saja tiba dan mendengar semua perkataan Aruna, langsung masuk ke dalam kamar dengan wajah penuh amarah."Siapa pembunuh yang kamu maksud?!" tanyanya tetap membentak."Anak Mami adalah pembunuh!" jawab Aruna menunjuk Bastian. "Jangan sembunyikan apa pun lagi, karena aku sudah tau semuanya! Sekarang, lebih baik kalian semua lepaskan aku dari sini!"Lusiana sungguh tak menyangka, Aruna berani mengatakan kalimat di luar nalar seperti itu. Amarahnya melesat naik, ia siap membantah dan kembali memarahi sang menant