Bab 6
Bastian kembali ke meja makan usai menuntaskan urusannya. Baru duduk dan ingin menyendok nasi, tatap matanya malah tertuju pada ponsel. Jelas Bastian tahu, kalau letak ponselnya telah berubah dari yang terakhir kali diingatnya.
Tanpa kata, lebih dulu Bastian mengambil benda pipih itu. Wajahnya semakin datar saat melihat nama siapa yang tertera di riwayat panggilan tak terjawab. Ia mengangkat kepala, lantas pandangannya jatuh pada Aruna yang tengah menatapnya.
"Kamu yang pegang hp saya?" tanya Bastian membuat Aruna terkesiap.
"Nggak, Mas!"
"Jangan bohong!" Mendadak Bastian tidak bisa mengontrol suara. Ia sampai lupa ada Fathan yang memperhatikan dengan lekat. "Jangan pernah lancang, Aruna! Hp ini barang pribadi saya! Kamu harus tau batas privasi!"
"Mas—"
"Saya gak mau dengar apa-apa!" potong Bastian begitu arogan. "Ini peringatan pertama dan terakhir dari saya!"
Aruna sudah menyiapkan berbagai macam kalimat untuk membela diri. Namun, lagi-lagi Fathan bergerak lebih cepat. Anak lelaki itu meniru Bastian, yakni menatap lebih dulu lawan yang hendak diajak bicara.
"Bukan Mama yang pegang-pegang hp Papa, tapi aku!" Fathan mengaku, sampai Bastian batal mengangkat sendok.
"Jangan—"
"Papa bisa cek cctv!"
Satu hal yang dilakukan oleh Aruna saat ini adalah menelan ludah. Rasanya sulit sekali untuk percaya, jika anak berusia tujuh tahun bisa berkata seperti itu. Aruna ingin mencoba maklum. Sebab bagaimanapun juga, pastilah Fathan meniru sikap dan cara bicara ayahnya sendiri.
Sementara Bastian pun berdecak pelan, tetapi berusaha tak terlihat marah seperti tadi. Fathan adalah harta paling berharga yang akan selalu ia jaga. Jangan sampai ia membentak Fathan.
"Aku gak suka sama Tante Jahat, Pa! Dia gak boleh datang lagi ke sini! Aku gak mau ketemu sama Tante Jahat!" Fathan tidak lagi merengek, melainkan berkata cukup tegas untuk anak seusianya.
"Sayang," panggil Aruna hendak membujuk Fathan.
Belum sempat mengucapkan sesuatu, Fathan turun dari kursi makan dan berlari ke lantai dua. Pengasuh Fathan gegas menyusul. Suasana di meja makan pun semakin canggung.
Kali ini Bastian berdecak keras. Ia meneguk air putih sampai tandas tak tersisa. Pagi ini emosinya terasa diaduk, karena lagi-lagi Fathan selalu berpihak pada Aruna. Ingin sekali Bastian mengembalikan keadaan seperti dulu, yakni membuat Fathan selalu menurut padanya.
"Apa kamu gak bisa melarang Fathan supaya gak pegang hp saya?" tanya Bastian, berhasil menahan langkah Aruna yang hendak meninggalkan ruang makan.
"Maaf, Mas," gumam Aruna merasa bersalah. "Kalau aku boleh tau, siapa Sandra itu, Mas? Kenapa Fathan gak mau dia datang ke sini?"
Sendok di tangan Bastian telah dibanting sekuat tenaga, menciptakan bunyi yang sangat tak nyaman di telinga. Lekat sekali lelaki itu menatap istrinya sendiri. Aruna sadar, kalau ia telah membuat Bastian semakin murka.
"Jangan banyak tanya, Aruna!" ucap Bastian dengan nada kasar. "Kita memang menikah. Tapi kamu harus ingat, posisi kamu di rumah ini tidak lebih dari seorang pengasuh untuk Fathan! Usahakan kamu tidak berlebihan, karena saya bisa saja mengeluarkan kamu dari rumah ini, dan membuat hidup kamu kembali miskin seperti sebelumnya!"
Pada akhirnya, kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Bastian. Aruna seperti orang bodoh yang hanya bisa menatap, tanpa pernah mengeluarkan sepatah kata pun untuk membela diri.
***
Tepat jam sebelas siang, Lusiana datang ke rumah putranya. Ia punya maksud, yakni ingin menghibur Aruna yang pasti merasa sedih karena kejadian kemarin di klinik.
"Sebetulnya, aku sangat mampu bikin hidup si Herma itu hancur berantakan! Tapi aku gak boleh gegabah. Aku harus lihat dulu gimana kondisi menantuku. Kalau sampai Aruna gak mau keluar rumah karena malu, aku gak sudi menahan diri!"
Perempuan paruh baya itu mengangguk. Janji yang ia sebutkan, akan selalu dilaksanakan tepat waktu. Masuklah Lusiana ke dalam lift menuju lantai dua. Sebelumnya ia sudah diberi tahu oleh para pekerja, jika Aruna ada di kamar utama dan tak keluar lagi usai sarapan bersama anak dan suaminya.
"Aruna? Ini Mami, Nak," panggilnya seraya mengetuk pintu kamar.
Di dalam sana, Aruna langsung terduduk. Sejak tadi ia berbaring di atas tempat tidur, menatap jendela kamar yang terbuka. Aruna sedang menetralkan sakit hatinya atas perkataan Bastian tadi pagi.
"Kamu tidur ya, Run?" tanya Lusiana lebih pelan daripada sebelumnya.
Bergegas Aruna membuka pintu. Satu hal yang ia lakukan adalah menyuguhkan senyum hangat. Kendati begitu, Lusiana yang sangat cerdas bisa menerka ada sesuatu dari ekspresi menantunya.
"Kamu masih sedih soal yang kemarin, ya?" Lusiana berbalik, memilih duduk di sofa balkon.
"Nggak, Ma. Aku baik-baik aja, kok."
Ya, perkataan serupa hinaan dari teman-teman sosialita Lusiana, jelas tak ada apa-apanya, jika dibandingkan dengan kalimat tajam yang dikatakan Bastian. Sudah pasti rasa sakitnya timbul berkali-kali lipat karena itu.
"Terus kenapa muka kamu murung begitu?" Lusiana tak lelah bertanya.
Aruna pun menunduk. Sepertinya, ia memang harus lebih terbuka pada Lusiana. Bukannya apa, Aruna butuh masukan agar bisa bersikap lebih baik di depan Bastian.
Tertuturlah kejadian tadi pagi, sehingga Lusiana langsung bereaksi di luar dugaan. Perempuan paruh baya itu berdiri setelah merogoh ponsel di dalam tas, kemudian menempelkan alat komunikasi itu di telinga kirinya.
"Bastian!" serunya dengan satu tangan berkacak pinggang. "Jangan pernah sekalipun kamu bikin Aruna gak nyaman tinggal di rumah kalian! Kalau sampai itu terjadi, Mami gak akan pernah tinggal diam!"
Aruna kontan berdiri, berniat menenangkan Lusiana agar tak memaki Bastian. Namun, Lusiana kadung marah. Ia jelas tak terima, jika menantu semata wayangnya ini mendapatkan perlakuan buruk dari Bastian, padahal Aruna sudah sangat berjasa mengembalikan keceriaan Fathan!
********
Bab 110 Ancaman Untuk Sandra"Papa tidak bisa menyentuh Bastian! Dia dijaga banyak orang!"Juanda kembali marah setelah mendengar perkataan Burhan di seberang sana. "Lakukan cara apapun, Pa! Jangan biarkan Bastian menang, karena kita harus mendapatkan Fathan! Ingat, Pa, sampai detik ini menantu Papa tidak bisa melahirkan anak laki-laki! Cuma aku yang bisa memberikan Papa penerus keluarga!"Setelah berucap sembarangan pada ayahnya sendiri, Juanda langsung mematikan sambungan telepon. Ia begitu emosi, lantaran tak ada seorang pun yang bisa diandalkan.Semuanya menyerah saat berurusan dengan Bastian."Apa yang mereka takutkan dari seorang Bastian Widjaya? Laki-laki tak sekuat kelihatannya! Bastian sangat lemah, apalagi jika orang-orang terdekatnya berhasil diusik!"Juanda memukul-mukul setir kemudi. Sekarang ia bingung harus merencanakan apa, lantaran kepalanya terasa penuh.Lantas beberapa saat kemudian, Juanda teringat pada Sandra. Perempuan itu mengatakan akan mendapatkan informasi te
Bab 109 Permintaan ArunaBastian tak memaksakan kehendak. Setelah Aruna mengatakan tidak, maka ia pun keluar dari kamar. Hanya saja, sekarang Bastian merasa bingung harus mengatakan apa pada Lusiana."Bas, Mami bingung harus menenangkan Fathan dengan cara apalagi. Tiap hari dia selalu menanyakan Aruna. Dia sangat rindu sama ibunya, Bas. Tolong beri tahu Aruna soal Fathan. Mami gak tega melihat Fathan terus murung tiap harinya karena gak bisa ketemu sama Aruna."Untuk menyampaikan hal tersebut, siang tadi Lusiana menemuinya di kantor. Bastian pun mengatakan kalau ia akan bicara pada Aruna. Karena bagaimanapun, kebahagiaan Fathan adalah nomor satu.Sebenarnya, sejak Fathan tinggal di rumah Lusiana, Bastian sudah mengkhawatirkan hal seperti ini, mengingat istri dan anaknya sangat dekat. Fathan pastilah merasa bingung, karena mendadak ia tak bisa menemui Aruna.Jangankan bertemu secara langsung, bicara melalui telepon saja tidak pernah bisa."Apa aku harus memohon pada Aruna, atau mengata
Bab 108 Diary Berlian"Dari baunya, warna kertasnya yang sebagian sudah menguning, buku ini bukan buku baru," gumam Aruna, setelah membuka asal beberapa lembar dari buku harian milik Berlian.Aruna memang sangat berhati-hati, karena ia berpikir kemungkinan besar Bastian akan menipunya, mengingat kamar ini berada di rumah lelaki itu."Aku putuskan, kalau ini memang buku harian milik mendiang Berlian." Aruna bergumam lagi. Sembari mengangguk setelah mendapatkan keyakinan, akhirnya ia membuka halaman pertama.[Kata orang, awal memasuki dunia perkuliahan adalah masa-masa terindah untuk jatuh cinta. Dan sejak pertama kali masuk kuliah, aku sudah jatuh cinta dengan seorang kakak tingkat. Kemarin malam saat acara wisuda cinta pertamaku ini, aku memberanikan diri memberikan dia buket bunga. Senang sekali, karena dia menerima dan menanyakan namaku!]Tanpa sadar, Aruna ikut tersenyum membaca isi hati Berlian yang tertuang dalam sebuah catatan. Membuka halaman kedua, Aruna pun ikut merasakan bet
Bab 107 Pembalasan BastianHari ini Juanda merasa sangat bahagia. Semuanya sesuai dengan rencana yang telah disusun. Kedua orang tuanya akhirnya mengizinkan ia menikahi Aruna, agar kelak bisa mengambil alih Fathan. Selain itu, Burhan juga bermurah hati memberikan fasilitas lain, seperti bodyguard yang mulai besok akan berjaga di villa, juga tentunya nominal uang yang tak sedikit.Sekarang, Juanda tengah melakukan perjalanan menuju villa. Ia akan mengajak Aruna makan malam di luar, tentunya di lokasi yang jauh sekali dari kediaman Bastian.Akan tetapi, saat mobilnya sudah dekat dengan area villa, Juanda keheranan karena ada banyak orang berbondong-bondong ke arah tempat tinggalnya."Kenapa mereka naik ke bukit? Ada apa ini?" tanya Juanda mulai merasa was-was.Saat itu juga, ia menambah laju kendaraan. Saat semakin dekat, barulah Juanda melihat kepulan asap yang berasal dari dalam villa. Kontan saja lelaki itu keluar dari mobil dengan langkah begitu cepat."Kenapa rumahku bisa terbakar?
Bab 106 Rencana LicikJuanda telah tiba di kediaman keluarga Raharja. Dengan langkah ringan, ia masuk begitu saja, tak memedulikan tatapan para asisten rumah tangga yang terkejut akan keberadaannya.Sudah lama sekali Juanda tak pulang, karena selama ini ia selalu bersembunyi di beberapa tempat untuk menghindari dendam kesumat keluarga Widjaya. Lantas sekarang, Juanda punya alasan mengapa tiba-tiba saja ia pulang ke rumah.Pertama, Juanda ingin mengambil dokumen-dokumen penting miliknya. Kedua, ia harus meminta uang pada Burhan. Lalu yang ketiga, Juanda akan membeberkan rahasia besar yang selama ini disembunyikan rapat-rapat oleh keluarga Widjaya."Seenaknya kamu pulang ke rumah tanpa pernah memberi kabar keluarga kamu sendiri!" Burhan menghampiri Juanda yang tengah sibuk di kamarnya.Asalnya Burhan tengah berada di kantor, tapi orang-orang di rumah kompak memberi kabar serupa, bahwa Juanda ada di rumah. Maka dari itu ia memutuskan untuk pulang. Sementara sang istri akan menyusul setel
Bab 105 Lusiana Dan Aruna Bersitegang"Kamu pikir aku akan percaya, Mas?" tanya Aruna dengan tawa. "Setelah menyaksikan sendiri betapa kasar perlakuan kamu, aku memutuskan untuk tetap percaya pada Juanda!" putusnya berdiri tegak."Tidurlah di kamar ini, dan cari tahu semuanya sendiri. Jawaban yang sebenarnya ada di sini," ucap Bastian ikut berdiri."Aku mau keluar dari rumah ini, Mas! Aku gak mau jadi istri dari seorang pembunuh seperti kamu!""Apa maksud kamu?!" Lusiana yang baru saja tiba dan mendengar semua perkataan Aruna, langsung masuk ke dalam kamar dengan wajah penuh amarah."Siapa pembunuh yang kamu maksud?!" tanyanya tetap membentak."Anak Mami adalah pembunuh!" jawab Aruna menunjuk Bastian. "Jangan sembunyikan apa pun lagi, karena aku sudah tau semuanya! Sekarang, lebih baik kalian semua lepaskan aku dari sini!"Lusiana sungguh tak menyangka, Aruna berani mengatakan kalimat di luar nalar seperti itu. Amarahnya melesat naik, ia siap membantah dan kembali memarahi sang menant