“Tuan Besar! Astaga!” Aji, asisten Daniswara. Baru keluar dari ruang kerja, hendak menghampiri Tuannya. Namun yang ia dapatkan sesuatu yang mengejutkan baginya.
Aji segera memanggil ambulan, membawa tuannya menuju ke rumah sakit keluarga mereka.
Suara langkah kaki bergema di lorong rumah sakit. Bau obat-obatan menyengat, bercampur dengan aroma antiseptik dan ketegangan yang nyaris bisa disentuh. Di depan ruang IGD khusus yang tertutup rapat, suasana mencekam.
Para perawat berlalu-lalang dengan cepat, membawa peralatan medis, sementara di balik kaca buram, tim dokter tampak sibuk menyelamatkan nyawa seorang pria lanjut usia yang baru saja mengalami serangan jantung mendadak.
Neina duduk di bangku tunggu, tangan gemetar memegang sebotol air mineral yang sudah tidak dingin lagi. Matanya nanar menatap ke depan, tapi pikirannya entah melayang ke mana.
Di sebelahnya, Aji Prakoso, asisten pribadi pria yang berada di ruang IGD. Dengan jas hitam rapi dan wajah penuh kekhawatiran, berdiri mondar-mandir. Dengan ponsel yang terus digenggamnya, khawatir ada panggilan penting masuk dan ia bisa segera menerimanya. Pandangannya terus terpaku pada pintu ruang IGD.
Neina bingung dengan situasi yang terjadi pagi ini. Pikirannya kalut, bahkan ia tak terpikir untuk meminta izin kerja. Niat hati menyampaikan keputusan yang telah diambilnya. Justru malah berakhir dalam situasi yang begitu mengkhawatirkan.
“Berapa lama lagi mereka akan keluar?” gumam Neina, suaranya hampir tak terdengar.
Aji menoleh, nafasnya berat. “Dokter bilang mereka masih mencoba menstabilkan kondisi Tuan Besar. Jantungnya berhenti berdetak beberapa menit sebelum berhasil dinyalakan kembali. Berarti Tuan Besar dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, Neina.”
Neina menggigit bibir bawahnya. Ia menyesal. Apa semua ini dirinyalah yang menjadi penyebab dari kondisi pria tua di dalam sana saat ini? Karena kehadirannya yang mungkin dianggap tidak pantas akan keputusan yang ia pertahankan, tapi karena tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu. Dan menunggu—dalam ketidakpastian—selalu menyiksa.
Neina berharap agar kondisi Pak Daniswara baik-baik saja, ia tidak dikejar oleh rasa bersalah nantinya.
Suara langkah kaki tergesa mendekat. Dari arah lorong, seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam yang tampak mencolok di tengah ruang rumah sakit muncul dengan napas tersengal. Kecemasan tersirat jelas pada kedua matanya. Berlari segera mendekat pada Aji yang datang menyambut kehadirannya.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Keandra tak percaya.
“Saya juga tidak tahu, Tuan Muda. Kejadiannya begitu tiba-tiba,” ungkap Aji jujur sesuai yang terjadi pada tuannya.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Keandra lagi penuh rasa penasaran.
“Dokter masih berusaha menangani di dalam.”
Keandra mengusap kasar rambutnya yang sedikit acak, seolah ia berlari dari tempat parkir menuju ruang IGD. Matanya menyapu ruangan hingga akhirnya berhenti pada sosok Neina.
Keandra Dipta Sakti. Cucu satu-satunya Daniswara, sekaligus pria yang kini berdiri mematung menatap Neina seperti menatap teka-teki yang tak ingin ia pecahkan. Untuk apa wanita yang seharusnya ada di kantornya itu berada di sini?
“Kenapa dia ada di sini?” tanyanya pada Aji tanpa menyembunyikan nada curiga.
Aji yang sedari tadi memegang ponsel langsung mematikan layar dan menyelipkannya ke dalam saku jas. “Neina kebetulan ada di dekat lokasi saat kejadian. Dia yang bantu menghubungi ambulans, Tuan muda.” Aji tidak mungkin mengatakan jika Neina berada di rumah kakeknya saat kejadian.
“Bantu?” Keandra menyipit. Pandangannya berpindah ke Neina, tajam seperti pisau siap menghujam.
“Jadi kebetulan saja? Seperti yang terjadi di kantor? Seperti yang terjadi di rumah waktu itu?”
Neina berdiri. “Saya kebetulan lewat, sebab ada keperluan di sekitar lokasi. Saya tahu, pasti anda akan berpikir macam-macam pada saya. Tidak apa, jika begitu saya akan pergi,” jawab Neina atas tuduhan yang dilakukan oleh Keandra untuknya itu.
“Tidak, jangan pergi,” potong Aji cepat. “Tuan Keandra, kita sedang tidak punya waktu untuk curiga tanpa alasan. Kakekmu sedang di ambang hidup dan mati.”
Suara itu menampar Kaendra dengan dingin. Sorot matanya tak terima dengan kabar yang Aji beri padanya, sebelum kembali melirik ke arah pintu ruang IGD. “Seberapa buruk keadaannya?”
Aji menarik napas panjang, lalu mengeluarkan secarik kertas dari saku dalam jasnya. “Dokter akan menjelaskan, tapi aku rasa kamu perlu tahu sesuatu terlebih dulu.”
“Apa itu?”
Sebelum Aji sempat menjawab, pintu IGD terbuka. Seorang dokter berjas putih keluar, melepas masker bedahnya. Wajahnya lelah, matanya merah seperti menahan kantuk dan stres sekaligus.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Keandra cepat ingin tahu keadaan kakeknya.
Dokter mengangguk lemah. “Kami sudah melakukan semua prosedur. Kami berhasil menyalakan kembali detak jantungnya, tapi... fungsi jantungnya hanya tersisa lima persen. Kami menggunakan alat bantu untuk mempertahankan sirkulasi darah, tapi... saya harus jujur. Peluang beliau untuk bertahan sangat kecil.”
Ruangan tiba-tiba hening. Bahkan suara jarum jam di dinding pun terdengar nyaring. Neina membekap mulutnya, menahan isak penuh rasa bersalah. Ini semua karena dirinya. Sementara Keandra terdiam, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.
“Berapa lama waktu yang tersisa?” tanya Keandra akhirnya.
Dokter menunduk. “Tak bisa diprediksi. Bisa satu jam, bisa beberapa hari. Tapi—kami sarankan bersiap untuk kemungkinan terburuk.”
Ketika dokter itu kembali masuk ke ruang IGD, Aji menghela napas dan menatap Kaendra dengan sorot berbeda. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan satu bundel map berwarna coklat, rapi dan diikat tali. Ia menyerahkannya pada Keandra dengan tangan gemetar.
“Apa ini?” tanya Keandra, masih setengah limbung.
“Surat wasiat.”
Keandra mengerutkan kening. “Wasiat? Untuk apa sekarang?”
“Ini surat wasiat yang dibuat oleh tuan besar beberapa tahun lalu. Beliau mempersiapkan semua ini, berjaga-jaga jika sesuatu buruk terjadi padanya.”
Aji menatap Neina sejenak sebelum kembali menatap Keandra.
“Beliau ingin anda menikah dengan Neina.”
Keheningan kembali menyelimuti ruang tunggu. Kali ini lebih pekat, lebih tebal dari sebelumnya.
Keandra memandang Aji seolah pria itu baru saja mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal. “Omong kosong apa itu?”
“Tuan Besar sangat memperhatikan masa depan perusahaan dan keluarga. Dalam salah satu percakapannya terakhir denganku, beliau menyampaikan keinginannya agar kamu menikah dengan Neina. Bukan hanya karena beliau menyayangi gadis ini... tapi karena beliau percaya, hanya Naina yang bisa menyeimbangkan emosimu. Beliau juga ingin segera memiliki cicit untuk keberlangsungan keluarga yang tidak dimiliki.”
Keandra menggeleng cepat. “Ini gila. Kau tahu ini gila, Aji.”
Keandra membuka surat itu dengan tatapan dingin. Setiap kata yang ia baca terasa seperti palu yang menghantam dadanya satu per satu.
Neina sendiri tampak bingung dengan situasi yang semakin rumit. Bahkan untuk membela diri, ia kini terjepit.
Keandra menatap tajam ke arah Neina. Semakin menghujam penuh kebencian akan sosok wanita yang tak pernah sudi untuknya hanya sekedar menatap.
“Dari awal kamu memang punya niat menyusup ke keluarga ini, ya kan? Jadi sekretaris tanpa pengalaman, tiba-tiba akrab dengan Kakekku, dan sekarang—surat wasiat?” Kaendra menunjuk pada surat wasiat.
“Tuan muda, tenangkan dirimu,” Aji berusaha menengahi. “Ini bukan saatnya menuduh. Ini tentang menghormati keinginan terakhir beliau.”
Keandra mendekat, membentak dengan suara tertahan. “Hormat? Jangan ajari aku soal menghormati. Aku menghormati kakekku, tapi aku juga punya hidup sendiri. Aku tidak bisa menikah hanya karena selembar surat wasiat konyol!”
Neina menahan napas. “Aku juga menolaknya,” sergah Neina tak ingin menjadi pihak yang selalu disalahkan.
Keandra memejamkan mata, berusaha meredam gejolak amarah yang meledak di dadanya. “Aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak kupercaya. Bahkan jika itu permintaan terakhir beliau.”
Aji melangkah maju, berdiri di antara mereka. “Aku tahu ini sulit. Tapi kalau anda bisa lihat bagaimana Pak Daniswara menyiapkan semua ini... bagaimana beliau melatih emosinya setiap kali membahas namamu dan Neina dalam satu kalimat... kamu akan tahu ini bukan sekadar permintaan. Ini harapan terakhirnya. Dia tahu waktunya sudah dekat. Beliau pasti memiliki maksud tersendiri, mengapa Neina orang yang dipilihnya.”
Keandra memalingkan wajah. Wajahnya kini dikeraskan oleh pertarungan batin yang belum selesai. Dinding yang selama ini ia bangun terhadap semua orang di sekitarnya mulai retak.
“Berapa lama aku punya waktu untuk memutuskan?” suaranya pelan.
Aji menatapnya lama sebelum menjawab, “Sampai beliau berhenti bernapas.”
Keandra menatap surat di tangannya. Tulisan tangan kakeknya menari-nari di depan matanya, seolah mengejek keras kepalanya. Bagaimana bisa ia melakukannya, jika dirinya telah memiliki seorang istri yang sangat ia cinta?
Sementara di ruang IGD, jantung seorang pria tua berdetak dengan sisa kekuatan terakhir—menunggu keputusan yang bisa mengubah segalanya.
Neina menunduk hormat. Ia pun berusaha tersenyum ramah pada Olivia. “Saya permisi, Bu Olivia.”Ia segera masuk ke mobil yang sudah menunggu sejak tadi. Ia segera masuk, dan pintu ditutup perlahan, seolah takut menimbulkan bunyi keras yang memecah pagi. Supir langsung yang mengantarkannya langsung memutar ke bangku kemudi, tentu setelah memberi hormat pada Olivia yang menatap tak suka ke arahnya Ia langsung menyalakan mesin. Dari balik jendela gelap, Neina melihat Olivia masih berdiri di tempat, menatapnya bagai duri yang menusuk mata.Begitu mobil bergerak meninggalkan halaman rumah, Neina merosot di jok, meletakkan map di pangkuannya. Telapak tangannya dingin meski AC mobil baru saja dinyalakan.Debaran jantungnya berpacu dengan begitu kuat. Seolah baru saja menghadapi dosen bimbingan killer yang tak boleh salah sedikitpun. Ponselnya bergetar di tas. Satu pesan baru masuk. Ia langsung membuka dan melihat, khawatir pesan penting yang dikirim. Felix, “Neina. Apa kamu pagi ini
Neina berdiri sendirian di dapur, merapikan cangkir kopi Keandra dan Olivia yang masih hangat setengah penuh. Sesekali ia mengintip jam dinding, menimbang berapa menit lagi waktu dirinya untuk segera bersiap ke kantor. Tiba-tiba, Bibi Raras datang menghampiri, “Biar Bibi saja yang mencuci piring. Kamu bersiap berangkat kerja, Nona,” ujar Bibi Raras sopan pada Neina. Ia tak ingin gadis itu telat bekerja dan akan kembali mendapat marah dari Keandra. Bukan marah yang dikhawatirkan. Lebih tepatnya, ia khawatir Keandra akan semakin memberikan banyak pekerjaan. “Tapi, Bu–”“Tidak ada tapi-tapian. Anda sudah bekerja terlalu keras, Nona. Kerja anda juga sangat baik. Tidak ada alasan lagi untuk anda menolak bantuan saya sekarang. Tuan Muda tak akan marah. Beliau masih sibuk bersiap di kamar bersama Nona Olivia,” tegas Bibi Raras.Sejak semalam, ia kesal. Sebab Neina bersikeras menolak bantuan tenaga yang diberikannya. Alasannya, “nanti Bu Raras yang kena marah oleh Pak Keandra. Neina tida
Neina menahan senyum getir. “Saya hanya berusaha bekerja sebaik mungkin, Bu. Dan sebab itulah saya bisa berada di sini dan di perusahaan Pak Keandra.”Ya. Berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi antara Keandra dan dirinya-lah yang mampu Neina lakukan. Tak mungkin berkata sesunggunguhnya. Sebab akan membuat Keandra murka. Jika itu ia lakukan. Olivia mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. Wajahnya yang nyaris tanpa pori itu hanya sejauh embusan napas. “Tapi kau sadar kan? Keandra tidak benar-benar… menyukai keberadaanmu di sini.”Kalimat yang menusuk. Neina terdiam sejenak. Mencari kata yang tepat untuk diungkapkan. Dari setiap kata yang Olivia sampaikan, terlihat jelas jika ia tahu situasi yang terjadi antara dirinya dan Keandra.Tapi …. untuk pernikahan mereka. Neina tidak mengetahui kebenarannya. Neina menahan napas, dadanya menegang. Bibirnya tertarik ke sudut, membentuk senyum tipis yang pahit.“Itu benar, Bu. Pak Keandra tidak suka saya terlalu lama di sini. Tapi … ada
Olivia menoleh lagi pada Neina, pandangannya bagai pisau tumpul yang menusuk lambat. “Keandra tahu persis aku suka croissant. Dia selalu bilang, ‘Jangan biarkan Olivia makan roti yang keras, lidahnya terlalu mahal,’” katanya sambil tertawa kecil. Tawa yang manis tapi ada guratan sinis di sudut bibirnya.Neina membalas dengan senyum tipis, "Pak Keandra memang selalu memperhatikan Ibu. Itu yang saya dengar dari Bibi Raras, Bu."Neina berusaha bersikap senormal dan sesopan mungkin agar tidak membuat kesalahan pada orang yang paling bisa membuat Keandra murka. Olivia mendekat sedikit, bahunya nyaris menempel. Ia berbisik pelan, seolah rahasia di antara mereka. “Kau tahu, Neina? Meskipun kami jarang tinggal serumah, Keandra tak pernah lupa hal kecil tentangku. Kopi, roti, bahkan suhu AC di kamar kami.”Olivia terkekeh kecil saat berbicara soal Keandra yang selalu memperhatikannya itu. Neina hanya mengangguk, berusaha tetap menatap nampan. “Saya percaya itu, Bu.”Olivia terkekeh lagi,
Pagi-pagi sekali, di rumah megah keluarga Daniswara selalu punya ritme sunyi yang khas. Sinar matahari pagi perlahan merambat masuk dari celah tirai linen putih, menyebarkan kehangatan di dapur luas berdominasi marmer abu-abu. Hampir pukul satu dini hari, Neina baru bisa merebahkan diri setelah berbagai macam drama yang diminta oleh Keandra dan Olivia. Dan semalaman itulah, ia harus melayani dengan baik apa pun yang diinginkan oleh sepasang suami istri yang baru kembali dari Paris itu. Aroma kopi robusta yang kuat bercampur manisnya wangi croissant mentega, menciptakan harmoni yang bikin perut keroncongan. Neina tidak bisa mengeluh, demi menjalankan perintah yang diminta oleh Keandra untuknya semalam itu. Jujur saja, kedua matanya masih mengantuk. Terbiasa kerja keras dan telat beristirahat, tidaklah terlalu menjadi beban baginya. Di dekat kompor, Neina cekatan sekali. Tangannya lincah memotong baguette, menata keju brie di atas talenan kayu, lalu merapikan selai aprikot di mangku
Keandra tak menjawab apa yang Neina katakan padanya barusan. Membiarkan Neina, dengan menatap tajam ke arah wanita yang sedang berdiri di antara mereka menikmati hidangan makan malam sepasang suami istri yang indah. Menurut mereka. Neina mengabaikan tatapan tak bersahabat dari Keandra yang mengintimidasinya itu. Tetap berdiri tenang, bersiap menunggu perintah yang kapan saja memintanya untuk dilayani. Ia dengan langkah kecil dan hati-hati sebab tak ingin buat kesalahan, bergerak menuju lemari penyimpanan. Jemarinya yang ramping meraih sebotol wine merah tua, lalu kembali mendekat ke meja.“Izinkan saya menuangkan wine, Pak, Bu,” suara Neina terdengar pelan, nyaris berbisik, memecah keheningan yang sedikit mencekam.Keandra, sang kepala keluarga, mendorong gelas kristalnya sedikit ke depan. Matanya yang tajam menatap Neina tanpa ekspresi. “Isi penuh,” perintahnya singkat.“Baik, Pak.” Neina menunduk, berusaha menyembunyikan getaran halus di tangannya. Anggur merah itu mengalir perl