Begitu enteng mulut Kenzo berucap. Seolah telah lupa jika dirinya dulu yang telah membuat Desti menjadi janda dengan memaksa Tomi untuk menikahi Kanza, adiknya. Dan kini, pria itu memintanya menjadi istri.
“Mengapa aku harus menjadi istrimu?”
Kenzo tersenyum menyiringai, menertawakan Desti yang baginya sedang jual mahal. “Tanyakan pada dirimu, adakah alasan yang logis kamu menolak lamaranku ini?”
Ada banyak alasan, tapi tidak bisa Desti ungkapkan. Dari sikap kejam Kenzo, hingga perbedaan status sosial di antara mereka yang berbeda, bagai langit dan bumi.
“Pilihan ada di tanganmu, jika kau menolak… maka kau bisa kembali ke kontrakanmu yang bobrok itu, dan berdoa agar anakmu bisa bertahan, karena aku akan menghentikan semua biaya pengobatannya."
Tanpa sadar, Desti meneteskan air mata kala menyadari kelemahannya, kemiskinan yang menjerat hidupnya.
“Aku menawarkan kesepakatan. Kau butuh uang untuk anakmu, aku butuh istri untuk...." Kenzo menjeda kalimatnya, tidak mungkin dia berkata jujur alasan sebenarnya dia menikahi janda beranak satu itu. "Ya… aku lelaki normal."
Hati Desti mencelos. Dia memandang Bayu dengan bibir bergetar. Demi putranya, haruskah dia mengubur harga dirinya dalam-dalam?
Belum sempat Desti menjawab, Bayu menggeliat kecil di ranjang perawatan. Rengek pelan keluar dari bibir mungilnya, seperti seruan lemah dari dunia yang belum ramah. Desti segera mengulurkan tangan, meraih tubuh kecil itu dengan hati-hati. Nalurinya bekerja cepat, seperti perempuan yang sudah lama terbiasa menghadapi segalanya sendiri.
Dengan lengan kiri memegang Bayu, dan tangan kanan membuka sedikit bagian atas kaosnya, Desti menyusui Bayu. Terbiasa hidup sendiri, dia lupa jika di hadapannya ada Kenzo.
Kenzo memalingkan wajah. Tapi matanya tetap tertuju ke arah mereka. Bukan interaksi antara ibu dan anak yang begitu menyentuh, tapi pada bagian tubuh Desti yang sedang memberikan kehidupan untuk anaknya.
Tangan mungil Bayu yang berada di atasnya, tak mampu menutup sempurna keindahan yang mengusik jiwa laki-laki Kenzo. Justru seperti mengajak Kenzo untuk bermain bersama di sana.
Suasana mendadak menjadi aneh. Pelan tapi pasti ada yang menggeliat dalam diri Kenzo. Hingga dia menyadari telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat.
Dia melangkah pelan, mendekat, lalu menyentuh pipi Bayu dengan ujung jarinya.
“Cepat sembuh, jagoan,” gumamnya pelan.
Desti terperanjat, baru sadar. Ia buru-buru menarik kain selimut dan menutupi dadanya. Rona malu naik ke wajahnya, tapi ia tidak berkata apa-apa. Tidak tahu harus berkata apa dalam situasi seperti ini.
Kenzo berdehem, mencoba mengembalikan suasana. Suaranya kembali datar, dan dingin penuh ancaman. “Aku beri waktu semalam. Besok pagi, kau sudah harus memberi jawaban.”
Desti menunduk. Kenzo tidak menunggu balasan. Ia melangkah pergi seperti biasa, dengan langkah pasti dan wajah yang tak bisa ditebak. Seperti halnya pada Tomi saat itu, sekarang Kenzo juga hanya memberinya waktu satu malam pada Desti berpikir.
Desti mengelus kepala Bayu, yang kini tertidur kembali. Bayi itu tampak damai, seolah tidak tahu bahwa hidupnya tergantung pada satu keputusan ibunya. Apa pun pilihan Desti nanti, harga diri bukan lagi barang mewah yang bisa ia jaga mati-matian. Yang tersisa hanya anak yang harus diselamatkan, dan laki-laki asing yang menawarkan keselamatan dengan harga yang tak bisa ditawar.
***
Hari masih pagi, tapi di ruang perawatan Bayu, tidak ada ketenangan. Tubuh mungil itu kembali menggeliat dengan napas pendek-pendek. Desti panik. Dahi Bayu terasa panas membakar, jauh lebih tinggi dari biasanya. Napasnya cepat, pendek, dan terdengar seperti ada suara berisik dari dalam dadanya.
Tak lama kemudian, seorang dokter muda masuk tergesa. Ia memeriksa Bayu dengan teliti, mendengarkan suara napasnya dengan stetoskop, lalu menyalakan tablet kecil untuk melihat hasil lab terakhir.
“Bu Desti,” ujar sang dokter dengan nada serius tapi tetap lembut, “demam Bayu disebabkan oleh infeksi di saluran pernapasannya. Lebih tepatnya di bagian paru-paru. Ini disebut pneumonia, infeksi yang membuat paru-parunya dipenuhi cairan, jadi oksigennya sulit masuk.”
Desti menggigit bibir. Tubuhnya menegang. “Bahayakah, Dok?”
“Bisa sangat berbahaya jika tidak segera ditangani. Bayu masih kecil, sistem imun tubuhnya belum kuat. Jika terlambat sedikit saja, bisa menyebabkan sesak berat dan komplikasi. Kami perlu segera memberikan antibiotik melalui infus, dan kemungkinan harus menggunakan alat bantu napas jika kondisinya terus menurun.”
Desti merasa seluruh tubuhnya seperti jatuh ke dalam jurang. Napasnya tersengal, matanya berkaca-kaca.
“Biayanya, Dok?” tanya Desti pelan, nyaris tak terdengar. Besar atau kecil biayanya, yang dia tahu, saat ini dia tidak memegang uang.
Sebelum dokter menjawab, langkah sepatu terdengar dari arah pintu. Kenzo sudah berdiri di ambang pintu, tangannya menyilang di depan dada. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya, hanya pandangan yang tertuju pada Desti dan tubuh mungil Bayu yang terbaring lemah. Pandangan yang sulit diterjemahkan, seolah menunggu Desti mengambil keputusan, bukan hanya tentang nasib Bayu tetapi juga lamarannya tadi malam.
Desti menatap sang dokter, memohon dengan suara nyaris tak terdengar. “Tolong, Dok… tolong berikan obatnya sekarang. Tolong selamatkan anak saya.”
Dokter menghela napas panjang. “Saya ingin memberikan yang terbaik, Bu. Tapi pihak rumah sakit butuh jaminan. Orang yang tadi malam menyetujui jadi penanggung jawab medis Bayu… pagi ini menarik diri. Kami tidak bisa lanjutkan prosedur tanpa kepastian siapa yang akan menanggung biaya pengobatannya.”
Desti terdiam. Ucapan itu seperti tamparan yang membuatnya limbung. Desti menatap Kenzo yang masih berdiri tegak, membatu, seolah bukan bagian dari kenyataan getir yang sedang ia hadapi.
Kenzo memalingkan wajah, seolah pemandangan di balik jendela rumah sakit lebih penting daripada ratapan seorang ibu yang memohon keselamatan anaknya.
Menyingkirkan harga diri, Desti melangkah mendekati Kenzo. “Pak Kenzo, tolong… selamatkan Bayu… Dia satu-satunya yang aku punya. Aku… aku mohon…”
Kenzo akhirnya menoleh, matanya tajam, tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. “Kau tahu harga yang harus kau bayar,” ucap Kenzo datar.
Desti terdiam. Kata-kata itu bagai belati yang menyayat sisa harga dirinya. Tapi tak ada ruang lagi untuk mempertahankan martabat ketika anakmu sedang sekarat. Air mata meleleh perlahan dari sudut matanya. Ia mengangguk pelan, seolah baru saja menandatangani perjanjian yang tidak tertulis, namun mengikat jiwa.
“Aku bersedia.” Lirih Desti berucap, terdengar seperti bisikan. “Apa pun syaratnya… asalkan anakku selamat.”
Kenzo melangkah mendekat, menatap Desti dari atas ke bawah, seperti menilai barang dagangan yang akhirnya ditawar dengan harga pas. Lalu dia menyunggingkan senyum tipis, senyum yang lebih mirip kemenangan daripada simpati.
“Ibu yang hebat,” gumam Kenzo lalu menoleh pada dokter. “Lanjutkan semua perawatan. Saya yang tanggung semuanya.”
Dokter mengangguk cepat, dalam hitungan menit, ruangan yang tadinya penuh ketegangan berubah menjadi hiruk-pikuk upaya penyelamatan.
Sementara itu, Desti hanya berdiri di sisi ranjang Bayu, tangannya memegang erat tangan mungil Bayu. Ia tahu, sejak hari ini hidupnya tidak akan sama lagi. Tapi di balik semua luka, ia berjanji, ia akan bertahan, demi Bayu. Harga diri bisa hancur, tapi kasih seorang ibu tidak akan pernah runtuh.
"Baik, kita mulai dari hal sederhana," ucap Anita sambil memperbaiki posisi duduk Desti. "Cara duduk yang anggun, bagaimana memegang cangkir teh dengan benar, bagaimana berjalan dengan postur yang percaya diri. Ini bukan soal menjadi orang lain, tapi bagaimana kamu tampil dengan percaya diri di mana pun kamu berada."Anita mengajarkan Desti cara duduk tegak, cara mengatur posisi kaki, bahkan cara tersenyum yang tepat di hadapan orang banyak. Desti beberapa kali salah, bahkan canggung memegang cangkir teh."Aduh, Bu, saya nggak bisa. Saya takut nanti jadi bahan tertawaan orang."Anita menatap Desti dengan mata hangat. "Tahu nggak, Desti? Kepercayaan diri itu bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang bagaimana kamu tetap berdiri dengan anggun meski kamu salah."Desti terdiam. Kata-kata itu perlahan menembus dinding rasa mindernya.Anita melanjutkan, "Kamu punya modal besar. Kepribadian kamu yang baik, dan … tentunya dukungan dari suami. Yang kamu butuhkan sekarang cuma belajar untu
Kenzo menghela napas panjang. Perlahan, dia menarik tubuh Desti ke dalam pelukannya. Desti menatap wajah Kenzo yang begitu dekat, menunggu jawaban. Berharap sesuai harapan.Sorot mata Kenzo menatap tajam namun lembut kepada Desti, memberikan kehangatan sekaligus tekanan yang membuat dadanya terasa sesak."Aku tidak akan mengizinkan kamu bekerja sekarang," bisik Kenzo, suaranya terdengar tegas tapi tetap lembut.Ada kecewa di mata Desti. Dia ingin membantah tapi hatinya sudah lelah dan tidak siap berdebat dengan Kenzo.Desti segera mengubah posisinya untuk segera bersiap tidur. Amarah yang coba dia tahan membuatnya enggan untuk menatap suaminya, hingga dia memiringkan tubuh membelakangi Kenzo."Bayu masih terlalu kecil. Dia butuh kamu sepenuhnya di masa tumbuh kembang."Desti menghembuskan napas panjang, mencoba menelan segala rasa kecewanya. Dia tahu Kenzo tidak sepenuhnya salah, tapi perasaan tidak berdaya itu tetap menghantuinya."Tapi… aku melakukan ini semua untuk masa depan Bayu.
Sore itu, langit tampak kelabu seakan mencerminkan hati Desti yang diliputi kegundahan. Di kamar yang hangat dan nyaman, Desti duduk di sisi tempat tidur sambil menatap Bayu yang sudah terlelap dalam tidurnya. Nafas bayi kecil itu naik turun dengan damai, sesekali mengerucutkan bibir mungilnya seolah masih menyusu dalam mimpi.Hati Desti terasa perih, bukan karena apa yang kurang, tapi karena kekhawatiran yang perlahan mencengkeram."Bagaimana jika suatu hari Kenzo bosan? Bagaimana jika dia menyesal telah menikahi janda sepertiku?" pikir Desti, menggigit bibirnya sendiri.Meski kini hidupnya serba berkecukupan, bayang-bayang masa lalu saat dia harus mengais harapan dengan Bayu di pelukannya, masih membekas kuat.Desti tidak ingin kembali ke titik itu. Dia sadar, sepenuhnya bergantung pada Kenzo bukanlah pilihan yang bijak. Dia ingin bisa berdiri sendiri, memiliki simpanan, dan tetap punya harga diri.Ketika malam menjelang, suara mobil Kenzo terdengar di halaman. Desti buru-buru merap
Di ruang kerjanya yang sunyi, Kenzo duduk termenung di kursi kulit hitam favoritnya. Tangannya menyusuri permukaan meja kerja, menyentuh bingkai foto pernikahannya dengan Desti yang biasanya menenangkan, namun kini tak sanggup menyingkirkan kabut pikiran yang menyesaki benaknya.Dennis berdiri tak jauh darinya, diam seribu bahasa, menunggu aba-aba dari atasannya. Di hadapan mereka terhampar dokumen hasil audit yang baru diterima pagi tadi, disertai lampiran-lampiran transfer dana dan tanda tangan Kanza.“Rasanya tidak mungkin,” ucap Kenzo lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kanza memang manja… tapi dia bukan penipu.”Dennis mengangguk kecil, ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri bersuara, “Saya juga merasakannya, Bos. Ada yang tidak beres. Tapi Pak Wahyu dan timnya sudah memverifikasi semua bukti dengan teliti. Beliau bukan tipe auditor yang gampang salah, apalagi selama ini reputasinya bersih.”Kenzo memijat pelipisnya, frustrasi. “Tapi Kanza terlalu ceroboh
Pagi itu langit tampak mendung, tapi langkah Kenzo memasuki ruang rapat utama Arsyad Group begitu tegap dan penuh percaya diri. Di belakangnya, Dennis membawa map tebal berisi salinan laporan investigasi lengkap.Para direksi sudah duduk di tempat masing-masing. Rayhan duduk di ujung kanan meja oval besar, wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah tahu bahwa dia tidak akan tersentuh.Kenzo duduk di kursinya sebagai Direktur Utama, lalu memberi anggukan pada pihak auditor eksternal, seorang pria paruh baya bernama Pak Wahyu dari firma audit kenamaan.“Silakan dimulai, Pak Wahyu,” ujar Kenzo.Pak Wahyu berdiri dengan tenang, membuka presentasinya lewat layar besar di hadapan para direksi. Slide demi slide mulai tampil, memaparkan hasil audit investigatif selama satu bulan terakhir.“Pertama,” ucap Pak Wahyu, “kami menelusuri dugaan penyimpangan dana pada beberapa proyek investasi Arsymond Luxury dan Arsynova Tech. Hasil audit menunjukkan indikasi kuat adanya penggelembungan anggaran d
Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik menyentuh jendela kamar, menghadirkan suara lembut yang menyatu dengan cahaya redup lampu tidur. Desti dan Kenzo terbaring berdampingan di atas ranjang. Bayu sudah terlelap di boxnya, sementara Desti menyender di dada Kenzo, jari-jarinya bermain pelan di dada bidang suaminya.“Maaf…” ucap Desti pelan.Kenzo membuka mata, menoleh sedikit, menatap wajah istrinya yang nampak bersalah.“Untuk apa?” tanya Kenzo suaranya berat tapi tenang.“Untuk kepergian Kanza… Bagaimanapun, dia adikmu. Aku merasa… aku penyebabnya.”Kenzo menghela napas dalam. Tangannya terulur dan membelai rambut Desti dengan lembut.“Itu bukan salahmu. Sudah saatnya Kanza belajar mandiri dan bersikap dewasa. Dia sudah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada di tangan suaminya, bukan aku.”Desti diam. Hatinya sedikit lega, tapi masih ada yang mengganjal.Namun ada yang mengagetkannya, saat dengan gerakan tiba-tiba Kenzo memutar tubuhnya sedikit, agar bisa menatap wajah Desti denga