Share

BAB 3. JANJI IBU

Author: QIEV
last update Last Updated: 2025-06-23 13:56:47

Ayah memintanya pulang hari itu. Suasana ruang makan rumah mereka begitu sunyi, seperti ruang tunggu sebelum eksekusi.

Qale duduk di hadapan pria itu—ayah yang tak pernah benar-benar jadi rumah. Ada rasa iba melihat lelaki di hadapannya ini. Rambut mulai memutih, kerutan kasar kian tampak. Namun, ayah tetap angkuh. Merasa paling berhak atas hidup Qale.

Dia meneguk pelan teh tawar yang sejak tadi tak disentuhnya. Hambar, seperti hidupnya.

“Ayah tahu kamu malu,” ucap ayahnya pelan tapi penuh tekanan. "Malu karena punya kakak cacat dan sekarang harus menikahi pria lumpuh," katanya sambil memainkan gelas di atas meja.

Ayahnya mengatakan bahwa dia juga sebenarnya tidak tahu persis siapa pria yang akan melamar Qale. Dia hanya menerima surat tulisan tangan istrinya yang mengatakan bahwa akan datang seorang pria lumpuh dan buta mata kiri yang akan menikahi putrinya, sebagai balas budi.

Entah dimana ibu Qale pernah bertemu keluarga ini. Yang jelas, beberapa bulan lalu, urusan mereka datang ke rumah dan menagih perjanjian mereka di masa lalu.

Qale masih diam menunduk, ayahnya pun bicara lagi. "Kakakmu cacat. Jika menikah dengan pria lumpuh, itu bukan pernikahan karena cinta … itu bentuk penyiksaan. Dia tak bisa memenuhi kewajiban sebagai istri.”

Qale mengangkat wajahnya. Matanya tajam tapi lelah. “Apa bedanya dengan pacarnya itu? Sama aja kek nikah dengan pria cacat lainnya, kan?"

"Beda. Mereka saling mencintai," tegas Hasan Sasmita. Tatapannya menajam seolah menantang Qale untuk debat.

Qale tertawa kecil, merasa lucu. "Lalu kalau aku, tidak saling mencintai itu gapapa, ya?" sindirnya dengan senyum tipis.

Sang ayah mendesis. “Yang itu … pilihan ibumu. Restu orang tua.”

Diam.

Kalimat itu seperti paku yang menghantam dada Qale.

“Kau ingin dianggap anak? Bantu kakakmu. Gantikan tempatnya. Tunjukkan bahwa kau bisa berbakti meski hanya dengan satu hal—menikah.”

“Menikah bukan tugas sosial, Yah,” Qale membalas, suaranya dingin. “Kalau aku menikah hanya untuk disuruh, maka aku bukan anak … aku budak.”

Hasan berdiri. Suaranya meninggi. “Buktikan kalau kamu bukan anak pembawa sial! Restu orang tua itu sama dengan restu Tuhan. Mau dilaknat karena durhaka, hah?”

Qale menggigit bibir bawahnya, menahan guncang. Tapi kali ini tak ada air mata.

Tangisnya sudah kering. Hatinya tak lagi mencari pengakuan. Dia hanya lelah.

Dia berdiri, menatap lurus ayahnya yang siap menerkam. “Urus saja pernikahan itu. Aku akan datang.” Lalu Qale pergi. Tanpa salam. Tanpa peluk. Tanpa hati.

Qale memukul dadanya pelan sambil jalan terburu, tubuh dan pikirannya lelah. Ingin istirahat di kamarnya tapi urung. Qale memilih pulang ke kos, memeluk lukanya sendiri, seperti biasanya.

***

Sore Hari, di Toko Croissant. Langit berwarna oranye saat Qale duduk di meja kasir. Toko "Anak Lipat" hampir tutup. Aroma croissant keju dan coklat masih tersisa menggantung di udara.

Qale sedang merapikan baki loyang ketika seseorang mendorong pintu toko. Lelaki muda. Di kursi roda. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah. Mata kanannya tajam. Mata kirinya … kosong. Entahlah, itu seperti bekas luka masa lalu.

“Hai,” ucapnya ringan. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Bukan manis, tapi penuh teka-teki.

Qale mengernyit. “Maaf, Kak. Toko udah mau tutup.”

“Aku tahu. Tapi aku nggak datang untuk beli croissant.” Pria itu tersenyum miring. Tangannya mengetuk-ngetuk lengan kursi rodanya. “Aku mau pesan … waktu.”

Qale mengerutkan alis. “Maaf?”

Pria itu menatapnya lurus. Tanpa kedip.

“Waktu. Untuk bicara. Tentang ibumu … dan rencana kami yang belum selesai.”

Qale terdiam. Napasnya tercekat.

Ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang membuat waktu seperti berhenti.

"Aku ... Bagian masa lalumu," katanya tenang.

Qale membeku. “Apa?”

“Janji mendiang ibumu.”

Tangan Qale langsung meraih sendok kayu besar dari meja. “Bilang ibu lagi, gue tabok! Sokad, lu.” (sok dekat)

Lelaki itu malah tertawa. “Kamu masih kek bocil SD pas nyariin crayon si embo. Marah dulu, tanya belakangan.”

Qale berhenti. Jantungnya berdebar.

“Dari mana kamu tahu—?”

“Banyak hal?” potong lelaki itu sambil memutar kursinya ke dekat meja. “Aku tahu kamu suka gambar waktu kecil, tahu tempat kamu biasa ngumpet di rumah lama. Bahkan tahu kamu benci kuaci tapi pura-pura suka karena Lea suka.”

Qale mencengkeram tepian meja. “Siapa kamu?” Ada sedikit rasa takut padanya. Dia benci kuaci karena suka nyelip di gigi gingsulnya.

"Kamu lupa, kan?" sambungnya lagi.

Qale terdiam. Mengedip pelan, suaranya mendadak tersangkut di tenggorokan.

“Aku bisa bantu kamu cari tahu ada kejadian apa dengan ibumu.” Dia menatap Qale dengan tenang. "Tapi ... coba senyum dulu sampai gingsulnya keliatan," godanya sambil tersenyum.

Hening.

“Kalau aku nggak butuh bantuan?” Tatap Qale datar. Boro-boro mau senyum, dia penasaran akut.

“Kalau begitu,” dia mengambil satu croissant di baki, menggigitnya pelan, “anggap ini silaturahmi kecil.”

“Enak. Tapi pahit. Sepertimu,” katanya sambil mengedip sebelah mata—mata yang masih bisa melihat.

“Keluar.” Suara Qale rendah, tapi bergetar.

Lelaki itu menyesap kopi dari gelas yang ada di meja display. Dia seolah tahu segalanya. Termasuk letak sendok, loyang, bahkan minuman Qale yang belum dibereskan.

“Dan itu-" Dia menunjuk ke arah mata Qale. "Aku serius soal matamu,” katanya sambil bergerak mundur dengan kursinya. “Kerjasama denganku, aku bisa sembuhkan matamu yang menyipit itu. Bukan sulap. Bukan bohong. Ibumu percaya padaku.”

Qale ingin menjerit. Tapi suara itu terlalu datar untuk dianggap ancaman. Terlalu tenang untuk dianggap gila. Dan terlalu menggiurkan untuk diabaikan. Dia tahu keinginannya, tentang mata Qale.

Saat lelaki itu mencapai pintu, ia menoleh.

“Kamu pikir semua ini kebetulan? Aku datang bukan karena ayahmu. Aku datang karena kamu ... memanggilku.”

Qale berdiri terpaku. Menatap lurus padanya.

“Kamu kira cuma kamu yang ingin tahu siapa yang mencelakai ibumu?”

Pintu berbunyi ringan saat ia keluar. Qale hanya menatap lantai. Dia meraba mata kanannya yang sipit sebelah.

Kadang, Qale minder merasa dirinya tidak sempurna. Saat kecil, dirinya diejek kalau matanya begitu sebab suka ngintip orang, tukang kepo, sampai di-bully Hitachi ~hitam tapi cina.

Tapi, dia membayangkan Lea, dunianya gelap sementara dia masih bisa melihat. Dari situ, semangatnya tumbuh lagi, ketidaksempurnaan itu dia tutupi dengan poni yang menjuntai sampai mata.

Tak lama, ia sadar—ada sesuatu di bawah cangkir kopinya, yang diserobot pria tadi.

Sebuah kartu, bertulisan tangan. Matanya seketika mengembun membaca kalimat :

[Namanya Qalesya Namari Hasna.]

"Ibu." Dia berbisik mengusap kertas kecil usang tadi.

"Ibu nggak mungkin janjiin aku ke orang asing. Nggak mungkin, kaaaann!"

Qale menatap lagi arah darimana pria itu datang. Dalam hatinya berkata, "... tapi kenapa aku ngerasa wajah itu nggak asing, ya?"

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 14.

    Qale menatap boneka itu. Tenggorokannya tercekat. Wajah boneka itu telah memudar, bajunya kusut dan lapuk, benang-benangnya terburai. Tapi bentuk tubuhnya—bulat di kepala, kaki pendek, dan tangan kaku—sama persis seperti dalam foto lama bersama ibunya.Satu matanya bolong. Cuma tersisa lubang bening.Dia mengangkat boneka itu perlahan dari dalam buffet. Jantungnya berdebar pelan—menekan, dalam dan dalam.“Aku ingat kamu…” bisiknya. Napas Qale pendek-pendek, menyelip di antara pangkal tenggorokan.Lalu, di bawah tempat boneka itu tergeletak tadi—selembar kertas, menggulung lembut di pinggirannya. Qale menyentuh permukaannya dengan jari gemetar. Sempat menahan napas saat membukanya perlahan.Lukisan itu menggambarkan kolam alami di tengah tanah lapang, pohon besar di sudut kanan, dan jejeran kandang kayu tua yang menghitam di sisi kiri, tempat sapi ayahnya dimandikan.Tatapannya melembut. “Aku ingat tempat ini,” suara Qale sangat lirih.Belum sempat mengatur napas, terdengar suara dari

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 13.

    Qale dipaksa masuk ke kamar oleh ART Wafa karena sudah jelang tengah malam.“Kalau Non masih bingung, coba ajak Den Wafa bicara pelan-pelan … tapi jangan bilang ini dari saya ya,” bisiknya, matanya bergerak gelisah ke arah kamar majikannya.Qale hanya mengangguk, meski rasa penasarannya masih tinggi.Esok pagi, aroma tanah dan dedaunan basah menyelinap masuk melalui celah jendela kamar. Membuat Qale menggeliat dan membuka mata. Bibirnya mengulas senyum tipis, rasanya nyaman sekali tidur di kamar ini. Dia masih bergelung ketika wangi yang dikenalnya tercium dari balik pintu.Qale gegas bangkit, membersihkan diri lalu keluar kamar. Ruangan terasa teduh meski jendela terbuka lebar. Sepi, membuatnya terasa damai.Qale melangkah ke pintu belakang yang terbuka dan menemukan Wafa sudah duduk di teras, ditemani teh hangat dan sepiring nasi putih lengkap dengan telur ceplok, tempe mendoan dan sambal kecap.Di sudut halaman, sopir Wafa tampak memanen kelengkeng dan sawo dari pohon. Suasana pag

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 12.

    Qale diseret Hasan Sasmita sampai masuk ke kamar."Ayah! Lepasin akuuuuuu!" teriak Qale, menggedor pintu kamarnya berulang kali malam itu.Dia tidak diizinkan keluar kamar sejak malam itu. Bahkan ponselnya disita. Pintu biliknya terkunci dari luar. Hanya ART lain yang sesekali mengantarkan makanan, tapi tanpa sepatah kata.Sejak kemarin Qale hanya diam. Malam ini, dia menangis, lalu diam lagi. Kepalanya nyeri, pikirannya riuh. Di luar, tak ada tanda-tanda keberadaan Lea atau sang ayah. Dia betul-betul ditinggalkan.Sementara di toko. Karyawannya bingung sebab Qale tidak muncul nyaris dua hari. Bahan baku toko menipis dan dia tak punya kuasa untuk restock meskipun ada uang penjualan.Tak lama, Wafa mendatangi toko setelah beberapa hari terakhir melihat Qale. Dia heran, etalase kosong, hanya ada karyawan baru di sana yang tampak kebingungan."Malam, Kak," sapanya ketika Wafa masuk."Qale mana?" tanya Wafa langsung.Dia ragu-ragu. Tapi mendengar nama Qale disebut, gadis itu yakin bahwa p

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 11.

    Satu jam setelah rekaman itu, Qale masih duduk diam di ruang terapi. Tangisnya telah reda, tapi tubuhnya terasa kosong. Bibirnya kering, matanya sembap. Seolah semua suara dan rasa sudah tumpah, menyisakan sunyi di dada.Konselor menyodorkan selembar kertas kosong dan sekotak pensil warna. "Coba gambar suasana hatimu," katanya pelan.Qale menatap kertas itu lama. Tangannya bergerak pelan, menggambar garis-garis tak tentu arah. Mirip bayangan. Mirip benang kusut. Dan di sudut kanan, tanpa sadar, dia menulis sesuatu — namanya.Dia berhenti. Jantungnya berdegup pelan tapi tajam."Kenapa aku mesti lupa, Dok?" Suaranya lirih. Tatapannya kosong, seperti menembus kabut.Konselor tidak langsung menjawab. Dia hanya membuka slide tablet di pangkuannya — menampilkan dokumentasi konseling lama. Ada foto-foto, coretan, bahkan catatan tulisan tangan Qale kecil. Semua terasa asing sekaligus familiar."Apa ... ibu yang nyuruh?" Qale bertanya lagi, kali ini nada suaranya meninggi. "Siapa yang minta ka

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 10.

    Mbak Mun—si ART, nyaris kabur. Tapi pergelangan tangannya dicekal Qale. Sorot matanya ketakutan, tubuh senja itu sedikit gemetar. "Mau kemana, Mbak!" Suaranya pelan tapi sinis. "Non Qale nggak nakal, kok. Nggak ngerti apa-apa. Buat saya, Non Qale nggak salah..." suaranya tercekat, takut oleh tatapan tajam Qale. "Saya cuma—" "Qale! Ngapain kamu di situ?!" Suara Hasan Sasmita meletup. Ia muncul dari balik pintu dapur setelah menutup teleponnya. Tatapannya menyapu mereka berdua dengan curiga. Mbak Mun makin terlonjak. Keringat dinginnya muncul. Hasan maju cepat, menyelip di antara mereka. "Lepasin. Dia mau bersihin kamar Lea. Kakakmu nanti sakit kalau banyak debu, dia mau nikah, Qale," sergah sang ayah, menepuk lengan putrinya beberapa kali. Dengan terpaksa, Qale melepaskan cekalannya. "Bereskan kamar Lea," perintah Hasan dingin, membuat Mbak Mun menunduk ketakutan. Dia pun gegas pergi. Qale menarik napas berat. Ikut melangkah masuk begtu saja, dia malas ribut dengan ayahnya.

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 9.

    Pagi itu, Qale duduk di dapur toko sendirian, hanya ditemani suara kipas angin yang menderu pelan. Uap kopi naik dari cangkir mungil di hadapannya, tapi dibiarkan dingin begitu saja. Matanya kosong menatap sisa croissant kemarin yang belum dikreasi ulang. Semalam, Wafa sempat menatapnya lekat dan bertanya, [“Apa yang kamu lakukan kalau ingatanmu kembali utuh?”] Dan Qale tak langsung menjawab ... karena takut. Takut kalau dia menemukan kenyataan bahwa semua luka, justru karena dirinya sendiri. ["Kalau aku ... sumber semuanya? Kalau aku pernah nyakitin orang yang paling aku sayang ... lalu lupa ini sebagai hukumannya?"] Pikirannya masih berkelana. Di depan toko, langit sudah mulai cerah, tapi dadanya tetap mendung. Dia mengepalkan adonan terlalu keras—croissantnya gagal mengembang. Bentuknya keriput, seperti hatinya pagi ini.” Karyawan barunya datang sambil membawa loyang kosong. “Kak, ini batch pertama habis....” Dia berhenti melihat bentuk croissant Qale, yang baru kel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status