Share

BAB 5. PULANG

Author: QIEV
last update Last Updated: 2025-06-23 13:58:50

Qale membuka jaket, mengganti baju dan menghapus riasan. Kebaya pernikahan sudah dia kembalikan tadi. Dia langsung mengeluarkan banyak barang tak berguna, membuangnya. Gudang toko “Anak Lipat” sore itu tak lagi pengap seperti sebelumnya.

Setelah itu, ia menuju kos untuk mengambil sisa barang-barang. Dan pulang. Mushaf milik ibu yang tertinggal di rak buku kamarnya, ia peluk sebagai obat rindu.

“Ibu, sekarang aku bakal tinggal di toko,” gumamnya, meyakinkan diri. "Lebih murah."

Malam itu, saat Qale hendak kembali ke toko, Lea muncul di depan pintu kamarnya. Dia memanggil.

"Dek? Qale, kah?" ujarnya pelan, merasakan kehadiran seseorang di depannya.

Qale berhenti, menoleh ke samping. "He em, aku."

“Kenapa nggak dateng ke pestaku?” tanya Lea datar.

Qale mengernyit. Ah, dia ingat dan berkata, “Pesta?”

“Eh, lupa ngabarin, ya...” Lea mengangkat bahu pura-pura lupa. Dia berjalan pelan, meraba, mendekati Qale.

Qale hanya tersenyum kecil. “Selamat, ya, Kak.”

Saat hendak pergi, Lea menahan lengan Qale. “Kamu tau nggak, suamimu itu dulu suka deketin aku. Tapi ya, tahu-tahu lumpuh ... Dan nggak nyangka kamu mau nerima bekasanku," ucap Lea sambil menepuk bahu adiknya.

Qale menatap datar Lea. Tatapannya lelah, tapi kali ini tidak merunduk.

“Mungkin cuma kemasannya aja yang usang bukan bekas,” katanya pelan. “Tapi masih bisa didaur ulang. Nilai jualnya malah lebih tinggi. Tergantung kreatif atau nggaknya.”

Entah mengapa Qale berkata demikian, seakan membela suaminya. Seolah menjelaskan bahwa dia baik saja, dirinya kuat dan jangan kuatir.

Lea tercekat. Tak menduga adiknya bisa berkata sarkas kali ini.

“Daripada udah tahu barangnya jelek dari awal tapi tetap dipungut. Dipoles pun susah.” Qale melepas rangkulan Lea lalu melangkah pelan keluar rumah.

Qale tidak memperhatikan raut wajah Lea, ada seberkas sinis yang tampak.

***

Toko deretan ruko dekat pasar itu kembali sunyi. Qale menatap kaca pecah yang belum diganti. Ia tersenyum kecil, lalu melepas dengan hati-hati. Dipasanglah tirai tipis dari kos lalu diberi pita. Agar angin masuk, bersama harapan baru.

"Bismillah, mulai lagi." Senyumnya tersungging tipis, menghibur diri sendiri sebelum mematikan lampu dan tidur.

Subuh-subuh buta, ia ke pasar. Dengan malu-malu, Qale memohon pada langganan bahan baku tokonya. “Saya janji bayar sore ini. Tolong ya, Bu ... satu hari saja.”

Penjual tua yang mengenal Qale sebagai gadis gigih, menatapnya lama, lalu mengangguk. “Tapi nggak bisa banyak.”

Qale menunduk, mengangguk ragu sekaligus malu.

“Nih, ambil. Cukup buat nyambung hidup, kan?” ucapnya menyodorkan semua yang Qale butuhkan.

Tangannya gemetar saat menerima. Air mata tak jatuh, tapi hatinya meluruh dalam syukur. Qale tak henti mengucap salawat. Langkahnya tegap dan cepat, tak sabar untuk beraksi.

Siang itu, toko buka agak siang dengan tampilan sederhana. Kaca diganti tirai. Croissayang, Croissantrik, Croissandra kembali dijajakan di sisi trotoar.

Suara Qale modal utamanya. Dia tak henti menjelaskan isi dagangannya. Lokasi strategis, dekat terminal kecil dan pasar membuat pembeli berdatangan. Croissant nya ludes dalam dua jam.

Sore hari, senyum Qale cerah. Dia kembali ke pasar dengan semangat, melunasi utang tadi pagi. Masih ada sisa modal, jadi dia mengambil bahan tambahan karena esok harus bikin croissant lebih banyak.

Hari-hari berikutnya Qale sibuk. Sampai satu malam, saat Qale duduk menghitung laba sambil mengelap baki loyang ... pria itu datang.

"Aku suami nelangsa, nunggu istri pulang tapi malah harus dijemput."

Qale terlonjak. Dia lupa, entah sudah berapa hari. Tapi, dia enggan mengaku. "Ojolnya bingung ... Aku nggak tau arah pulang!”

“Dasar wanita,” gumam pria itu sambil tertawa. “Salah pun nggak mau ngaku.”

Mereka duduk berseberangan. Qale canggung ketika suaminya menatap sambil tersenyum. "Udah gede sih cantik, ya." Godanya tertawa.

Qale melempar serbet ke arah pria itu, kesal. Dia menolak dipuji.

“Cantik dari kolong oven. Gigi gingsul, mata sipit satu, mana ada bagusnya.”

“Justru yang nggak keliatan bagus itu biasanya rasanya nikmat,” balas pria itu. “Dan matamu yang sipit itu ... kode Tuhan buat jaga pandangan. Cuma buat suaminya, kelak.”

Qale diam. Hatinya menegang. Selama ini, tidak ada yang berkomentar setenang ini tentang kekurangannya.

“Seperti kata ibumu ... Cantik itu nggak harus sempurna. Seperti Qalesya.”

Sebuah kalimat kecil yang terdengar seperti pelukan. Tapi mengiris rindu dalam. ["Ibu."]

Pria itu memutuskan menginap di toko malam ini. Dengan alasan ojol tidak ada yang mau mengantarnya pulang sebab lokasi rumahnya jauh.

“Ngapain tinggal di sini? Toko sempit!” protes Qale.

“Biar kamu nggak takut tidur sendirian.”

Perdebatan pun terjadi. Tapi akhirnya Qale mengalah karena sudah larut malam.

Pria itu memejamkan matanya sambil tersenyum tipis. “Sya ... kita udah sah, tapi pasti kamu nggak tau ya, nama suamimu siapa?” tanya pria itu sambil selonjor.

Qale melotot. Benar, dia tak sempat membaca siapa nama suaminya saat menandatangani dokumen. Dengan lesu dia menjawab, “...enggak.”

Suaminya tersenyum miring, lalu menyodorkan tangannya ke arah Qale.

“Qale,” katanya memperkenalkan diri.

“Suamimu,” jawab pria itu sambil tertawa. "Nggak sekalian salim, Bu?"

Qale sebal, mode serius tapi malah diajak becanda. Dia memukul kakinya. Pria itu meringis, bukan sakit, tapi tersentuh. Ibu Qale dulu suka begitu saat dirinya malas latihan berdiri.

Qale buru-buru minta maaf, mengusap bekas pukulannya lalu memijat perlahan. "Sakit, ya?" tanyanya lembut. Ada nada kuatir sebab teringat dirinya yang selalu sendirian.

Suaminya menggeleng. “Jangan jatuh cinta, ya...” ucapnya tiba-tiba.

Tatapan mereka bertemu. Dan diam mengambil alih semua.

Malam itu Qale tidur dalam keadaan duduk, karena sempit. Sesekali gelisah, seperti mimpi terjatuh, tubuhnya ikut kejut.

Pria itu lalu mengusap kepalanya perlahan. “Tidur pun kamu gelisah. Tidak merasa aman.”

Besoknya, dia memanggil tukang. Memasang kaca baru di toko. Sebelum pergi, pria itu menyerahkan sebuah amplop.

“Ini maharmu. Pakai saja buat modal. Mau ikut pulang atau tidak ... terserah. Tapi hakmu sebagai istri tetap aku penuhi. Kewajibanmu ... biar aku simpan dulu.”

Qale mengangguk, tak tahu harus jawab apa. Antara senang dan bersalah padanya.

Sebelum berbalik, pria itu berkata, “Kalau kamu rindu rumah, tinggal bilang.”

Dua minggu berlalu. Usaha Qale perlahan bangkit lagi. Utang pun satu per satu lunas. Karyawan baru direkrutnya karena toko mulai ramai.

Suatu malam, Qale duduk di belakang etalase, menghitung uang. Tiba-tiba dia berhenti. Memejam dan bibirnya berucap pelan, tanpa sadar, “Kangen rumah.”

Qale terdiam. Baru menyadari sesuatu, sudah lama tidak melihat pria itu. "Sejak kapan, ya?"

Dua jam kemudian, pria itu datang. “Mau ikut jalan?”

Qale yang sudah siap mengunci toko, langsung mengangguk, terlalu kaget untuk bicara.

Mereka naik mobil kecil ke arah pinggiran kota. Tampak sebuah rumah sederhana. Model lama, halaman kecil dengan pagar kayu dan kursi bambu reyot di depan.

Qale membeku. “Rasanya ... aku pernah lihat rumah ini...” gumamnya.

“Ini,” kata pria itu, “boleh kamu sebut ... rumah.”

Kadang, rumah bukan tempat kita tinggal, tapi orang yang berani tinggal bersama ... saat diri tak punya apa-apa selain luka.

Qale mengangguk, menoleh ke pria disampingnya, matanya berkaca-kaca. "Aku pulang."

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 14.

    Qale menatap boneka itu. Tenggorokannya tercekat. Wajah boneka itu telah memudar, bajunya kusut dan lapuk, benang-benangnya terburai. Tapi bentuk tubuhnya—bulat di kepala, kaki pendek, dan tangan kaku—sama persis seperti dalam foto lama bersama ibunya.Satu matanya bolong. Cuma tersisa lubang bening.Dia mengangkat boneka itu perlahan dari dalam buffet. Jantungnya berdebar pelan—menekan, dalam dan dalam.“Aku ingat kamu…” bisiknya. Napas Qale pendek-pendek, menyelip di antara pangkal tenggorokan.Lalu, di bawah tempat boneka itu tergeletak tadi—selembar kertas, menggulung lembut di pinggirannya. Qale menyentuh permukaannya dengan jari gemetar. Sempat menahan napas saat membukanya perlahan.Lukisan itu menggambarkan kolam alami di tengah tanah lapang, pohon besar di sudut kanan, dan jejeran kandang kayu tua yang menghitam di sisi kiri, tempat sapi ayahnya dimandikan.Tatapannya melembut. “Aku ingat tempat ini,” suara Qale sangat lirih.Belum sempat mengatur napas, terdengar suara dari

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 13.

    Qale dipaksa masuk ke kamar oleh ART Wafa karena sudah jelang tengah malam.“Kalau Non masih bingung, coba ajak Den Wafa bicara pelan-pelan … tapi jangan bilang ini dari saya ya,” bisiknya, matanya bergerak gelisah ke arah kamar majikannya.Qale hanya mengangguk, meski rasa penasarannya masih tinggi.Esok pagi, aroma tanah dan dedaunan basah menyelinap masuk melalui celah jendela kamar. Membuat Qale menggeliat dan membuka mata. Bibirnya mengulas senyum tipis, rasanya nyaman sekali tidur di kamar ini. Dia masih bergelung ketika wangi yang dikenalnya tercium dari balik pintu.Qale gegas bangkit, membersihkan diri lalu keluar kamar. Ruangan terasa teduh meski jendela terbuka lebar. Sepi, membuatnya terasa damai.Qale melangkah ke pintu belakang yang terbuka dan menemukan Wafa sudah duduk di teras, ditemani teh hangat dan sepiring nasi putih lengkap dengan telur ceplok, tempe mendoan dan sambal kecap.Di sudut halaman, sopir Wafa tampak memanen kelengkeng dan sawo dari pohon. Suasana pag

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 12.

    Qale diseret Hasan Sasmita sampai masuk ke kamar."Ayah! Lepasin akuuuuuu!" teriak Qale, menggedor pintu kamarnya berulang kali malam itu.Dia tidak diizinkan keluar kamar sejak malam itu. Bahkan ponselnya disita. Pintu biliknya terkunci dari luar. Hanya ART lain yang sesekali mengantarkan makanan, tapi tanpa sepatah kata.Sejak kemarin Qale hanya diam. Malam ini, dia menangis, lalu diam lagi. Kepalanya nyeri, pikirannya riuh. Di luar, tak ada tanda-tanda keberadaan Lea atau sang ayah. Dia betul-betul ditinggalkan.Sementara di toko. Karyawannya bingung sebab Qale tidak muncul nyaris dua hari. Bahan baku toko menipis dan dia tak punya kuasa untuk restock meskipun ada uang penjualan.Tak lama, Wafa mendatangi toko setelah beberapa hari terakhir melihat Qale. Dia heran, etalase kosong, hanya ada karyawan baru di sana yang tampak kebingungan."Malam, Kak," sapanya ketika Wafa masuk."Qale mana?" tanya Wafa langsung.Dia ragu-ragu. Tapi mendengar nama Qale disebut, gadis itu yakin bahwa p

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 11.

    Satu jam setelah rekaman itu, Qale masih duduk diam di ruang terapi. Tangisnya telah reda, tapi tubuhnya terasa kosong. Bibirnya kering, matanya sembap. Seolah semua suara dan rasa sudah tumpah, menyisakan sunyi di dada.Konselor menyodorkan selembar kertas kosong dan sekotak pensil warna. "Coba gambar suasana hatimu," katanya pelan.Qale menatap kertas itu lama. Tangannya bergerak pelan, menggambar garis-garis tak tentu arah. Mirip bayangan. Mirip benang kusut. Dan di sudut kanan, tanpa sadar, dia menulis sesuatu — namanya.Dia berhenti. Jantungnya berdegup pelan tapi tajam."Kenapa aku mesti lupa, Dok?" Suaranya lirih. Tatapannya kosong, seperti menembus kabut.Konselor tidak langsung menjawab. Dia hanya membuka slide tablet di pangkuannya — menampilkan dokumentasi konseling lama. Ada foto-foto, coretan, bahkan catatan tulisan tangan Qale kecil. Semua terasa asing sekaligus familiar."Apa ... ibu yang nyuruh?" Qale bertanya lagi, kali ini nada suaranya meninggi. "Siapa yang minta ka

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 10.

    Mbak Mun—si ART, nyaris kabur. Tapi pergelangan tangannya dicekal Qale. Sorot matanya ketakutan, tubuh senja itu sedikit gemetar. "Mau kemana, Mbak!" Suaranya pelan tapi sinis. "Non Qale nggak nakal, kok. Nggak ngerti apa-apa. Buat saya, Non Qale nggak salah..." suaranya tercekat, takut oleh tatapan tajam Qale. "Saya cuma—" "Qale! Ngapain kamu di situ?!" Suara Hasan Sasmita meletup. Ia muncul dari balik pintu dapur setelah menutup teleponnya. Tatapannya menyapu mereka berdua dengan curiga. Mbak Mun makin terlonjak. Keringat dinginnya muncul. Hasan maju cepat, menyelip di antara mereka. "Lepasin. Dia mau bersihin kamar Lea. Kakakmu nanti sakit kalau banyak debu, dia mau nikah, Qale," sergah sang ayah, menepuk lengan putrinya beberapa kali. Dengan terpaksa, Qale melepaskan cekalannya. "Bereskan kamar Lea," perintah Hasan dingin, membuat Mbak Mun menunduk ketakutan. Dia pun gegas pergi. Qale menarik napas berat. Ikut melangkah masuk begtu saja, dia malas ribut dengan ayahnya.

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 9.

    Pagi itu, Qale duduk di dapur toko sendirian, hanya ditemani suara kipas angin yang menderu pelan. Uap kopi naik dari cangkir mungil di hadapannya, tapi dibiarkan dingin begitu saja. Matanya kosong menatap sisa croissant kemarin yang belum dikreasi ulang. Semalam, Wafa sempat menatapnya lekat dan bertanya, [“Apa yang kamu lakukan kalau ingatanmu kembali utuh?”] Dan Qale tak langsung menjawab ... karena takut. Takut kalau dia menemukan kenyataan bahwa semua luka, justru karena dirinya sendiri. ["Kalau aku ... sumber semuanya? Kalau aku pernah nyakitin orang yang paling aku sayang ... lalu lupa ini sebagai hukumannya?"] Pikirannya masih berkelana. Di depan toko, langit sudah mulai cerah, tapi dadanya tetap mendung. Dia mengepalkan adonan terlalu keras—croissantnya gagal mengembang. Bentuknya keriput, seperti hatinya pagi ini.” Karyawan barunya datang sambil membawa loyang kosong. “Kak, ini batch pertama habis....” Dia berhenti melihat bentuk croissant Qale, yang baru kel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status