“Sekarang Paman sudah bisa turunkan aku, aku sudah tidak apa-apa,” pinta Sasha. Jade masih menggendongnya. Mereka berada di dalam lift. “Tidak. Aku tidak akan menurunkanmu. Sekarang kamu sudah terbebas dari Val,” goda Jade. Ia kemudian berbisik di telinga Sasha. “Sekarang, kamu adalah milikku.”Napas Sasha terasa berhenti sesaat. Jantungnya berdegup kencang.Jade tertawa terbahak-bahak. Lalu ia menurunkan Sasha dengan hati-hati. “Aku bisa dengar suara jantungmu lho!”Sasha menunduk malu. “Kenapa Paman suka sekali mengerjaiku?”“Karena itu kamu!” Jade mengedipkan sebelah matanya. Begitu lift terbuka, Jade keluar lebih dulu. Sasha cemberut. Ia kemudian mengekor di belakang Jade. Sasha terkejut melihat ada dua pria besar di depan pintu kamar Jade. Pintu kamar 1222 kini dijaga ketat oleh tim keamanan. Jade tidak mau Val menerobos masuk dan menyakiti Sasha lagi. Sasha merasa terharu. Baru kali ini ia benar-benar merasa dilindungi. “Terima kasih,” ucap Sasha setelah menutup pintu. Ja
“Kenapa Paman belum pulang ya? Udah jam setengah dua!”Sasha mondar-mandir di depan pintu. Ia sangat khawatir Val akan berbuat macam-macam pada Jade. Sebuah pesan masuk ke ponsel khusus Sasha. Jade: Turunlah ke lobby!Sasha tertegun membaca pesan dari Jade. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. ‘Apa Paman akan melepaskanku kembali bersama Val?’ pikir Sasha. ‘Tapi, bagaimana kalau Val malah ngamuk dan berbuat macam-macam padaku?’Sasha tidak bisa berpikir jernih. Kemudian, ponsel Sasha berdering. Jade menelepon. “Sha, kamu masih di atas?” tanya Jade dari seberang telepon. “Masih, Paman. Aku bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat bertemu dengan Val,” jawab Sasha. Jade memelankan suaranya hingga seperti berbisik. “Ikuti kata hatimu. Aku akan selalu dukung kamu.”Sasha menghela napas panjang. “Baik, Paman. Aku kesana sekarang.”Sasha menutup teleponnya dan segera menuju lobby. Di lobby, Jade sedang duduk dengan tenang. Sedangkan Val berdiri di hadapannya. Sasha
“Selamat pagi, Nona, sarapan sudah siap.”Terdengar suara Jade, begitu lembut di telinga Sasha.Sasha membuka matanya perlahan. Sinar mentari masuk dengan malu-malu melalui tirai jendela. Terlihat Jade sedang berdiri di hadapannya dengan sebuah nampan berisi sarapan untuk Sasha. Tersenyum manis padanya. “Selamat pagi, Paman,” sapa Sasha. Jade menyimpan nampan di meja samping ranjang. “Kamu mau mandi dulu atau sarapan dulu?”Sasha langsung melihat pakaiannya masih sama seperti kemarin. Lalu dia menciumi badannya. Hidung Sasha mengernyit.“Aku mau mandi dulu deh,” ucap Sasha sambil menyengir. Jade tertawa dan mengangguk. “Kalau kamu cari tas, aku simpan di dalam lemari paling kiri. Kalau begitu sampai ketemu di meja makan ya.”“Terima kasih, Paman,” sahut Sasha. Sasha segera mengambil pakaian dan perlengkapan mandi di dalam tasnya. Lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, Sasha menuju meja makan. Di sana, Jade sudah menunggunya. “Maaf ya, semalam aku tidak menggantikan
“Dengarkan aku,” ucap Jade lembut. Sorot mata Jade begitu tenang. Begitu juga dengan suaranya, penuh kelembutan dan kehangatan. Sasha menyimpan sendoknya dan menenggak minumannya. Lalu, Sasha siap mendengarkan Jade dengan seksama.“Awalnya akulah yang akan menemuimu di rumah sakit saat ayahmu koma. Aku tahu keadaan keluargamu dari Nona Fel,” tutur Jade menjelaskan. “Nona Fel bilang bahwa kamu mendapat peringatan harus mengulang semester 6 karena kamu terpaksa bolos demi menjaga ayahmu.”Sasha ingat betul kejadian itu. Saat pertama kali Geoffrey koma, tidak ada siapapun yang bisa menggantikan Sasha untuk menjaga Geoffrey. Sasha tahu, ia akan kehilangan beasiswanya jika sampai mengulang. Tapi ia tidak bisa meninggalkan Geoffrey sendiri.Sasha takut ketika Geoffrey siuman, Sasha tidak di sampingnya. Atau lebih parah lagi, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jade kembali melanjutkan ceritanya. “Aku berpikir, biarlah jika beasiswamu dicabut. Sebagai gantinya, aku akan menawarka
“Aku mohon jangan lakukan itu.”Sasha memegang kedua tangan Jade. Dengan wajah memelas. Bahkan hampir menangis.“Aku tahu aku tidak lebih baik dari Val yang jelas-jelas selingkuh dengan Paula. Tapi aku tidak siap jika Val tahu yang sebenarnya tentang kita,” tutur Sasha. Tangannya yang kecil tampak mungil sekali dibanding tangan Jade.Jade melemah. Ia tidak mau melihat Sasha, gadis yang selalu ia tunggu semenjak Sasha masih kuliah, menangis karenanya.“Baiklah, aku tidak akan mengungkit lagi tentang malam pertama. Tapi boleh kan aku bertanya?” tanya Jade lembut. Sasha melepaskan pegangannya. “Paman mau tanya apa?”Jade membetulkan posisi duduknya. “Kenapa kamu tidak tinggalkan saja Val? Apa kamu masih mencintainya?”Sasha menunduk. Ia sendiri pun bingung apakah perasaannya kepada Val masih disebut cinta atau malah ia hanya takut tidak bisa membayar semua hutangnya. “Aku tidak tahu, Paman,” jawab Sasha sambil menggelengkan kepala. Mata Sasha menatap lurus ke depan. “Mungkin lebih tep
Ding! Bel tanda bus tiba di halte berbunyi. Beberapa penumpang turun di halte tersebut. Suasana bus mulai lengang. Hanya tinggal beberapa orang lagi yang masih duduk. Termasuk Sasha. Sasha baru saja terbangun dari tidurnya. Ia celingukan melihat jalan sekitar, memastikan apakah halte terakhir sudah dekat atau masih jauh. “Lima menitan lagi,” kata Sasha sambil ia melepaskan earbuds-nya dan memasukkannya ke dalam kotak.Kemudian, ia bersiap untuk turun setelah bus berhenti. Setelah turun, Sasha berjalan sekitar 500 meter ke arah barat. Melewati pertokoan dan gang kecil. Serta menaiki tangga, karena pemakaman berada di atas bukit Daffodils–begitulah warga lokal menyebutnya. Disebut bukit Daffodils karena di sana, sebelum memasuki area pemakaman, terdapat taman daffodil dengan berbagai warna yang indah. Sayangnya, Sasha datang saat musim gugur. Taman Daffodils baru berupa benih, agar bunga dapat bermekaran di musim semi. Cuaca hari itu sedang berangin. Sasha mengambil syal dari da