แชร์

MASALALU DAVID

ผู้เขียน: Ayuwine
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-15 06:52:00

Pukul enam pagi biasanya menghadirkan kehangatan dan kedamaian. Tapi pagi ini berbeda—sunyi ruangan berubah menjadi arena diam yang siap meledak, dihuni oleh dua perempuan beda usia, dibalut ketegangan yang pekat.

Tasya tertegun. Wajahnya pucat, seolah masa lalunya dicongkel paksa oleh seseorang yang bahkan tak ia kenal.

Sementara itu, Nadia berdiri tegak, menatap tajam ke arah Hana. Tangannya terkepal kuat. Atmosfer ruangan mendadak panas, seolah menunggu letupan berikutnya.

"Jawab, Hana! Dari mana kamu tahu semua ini?"

Bentak David sekali lagi. Namun, bukannya takut, Hana justru tersenyum licik—seolah menyimpan celah yang bisa membuat lawannya terdiam kaku.

"David, berhenti membentak Hana!" sela Susi, ibu David sekaligus mertua Nadia. Suaranya menggema, tajam dan tak terbantahkan.

"Kamu lupa siapa yang selalu ada di sisimu saat istrimu meninggal? Siapa yang menjadi teman setiamu ketika bahkan aku, ibumu, tak mampu menenangkanmu waktu itu?"

Kalimat Susi menohok, mengung
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Sekarang Giliranku   END....

    Ia menunduk sejenak, menarik napas panjang. "Aku... sempat ingin menanyakan. Tapi kupikir... mungkin kamu yang nggak mau membahasnya," jawab Aldo akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan. Tasya tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Aku paham. Aku pun dulu menghindar, tapi bukan berarti aku lupa. Kak Nadia satu-satunya keluarga yang pernah melindungiku... meski kami sempat menjauh." Tasya berbicara pelan, namun suaranya jernih dan mantap. Kata demi kata mengalir, seperti aliran sungai yang akhirnya menemukan jalan keluar setelah lama tertahan oleh batu-batu luka dan penyesalan. Ia menceritakan semuanya tanpa disaring, tanpa dihias. Tentang dirinya yang dulu masih dipenuhi amarah dan iri. Tentang Nadia, kakaknya yang selalu melindungi namun akhirnya justru ia jauhi. Tentang perceraian, pengkhianatan, pelarian, dan keputusan besar untuk meninggalkan Indonesia. Aldo mendengarkan dengan saksama. Tak ada satu pun jeda yang ia potong. Matanya sesekali membesar, lalu k

  • Sekarang Giliranku   TERNYATA DUINIA SEMUNGIL INI YA..

    Sementara itu, jauh di belahan dunia lain… Taysa hidup dalam damai. Ia tak tahu bahwa saat ini, kakaknya sedang bertengkar hebat dengan perempuan yang merebut suaminya. Ia tak tahu bahwa Nadia membela dirinya mati-matian, bahkan sampai melupakan dirinya sendiri demi membela sang adik. Kalau Taysa tahu... Mungkin ia akan pulang. Ia akan memeluk kakaknya erat-erat, menangis di dadanya, dan berkata: “Terima kasih karena tidak pernah benar-benar meninggalkanku.” Tapi untuk saat ini, Taysa menikmati kedamaiannya di negeri asing yang kini ia sebut rumah Amerika. Beruntung, Arumi, putri sulungnya, begitu mudah beradaptasi. Di sekolah barunya, Arumi cepat akrab dengan teman-temannya. Ia fasih berbahasa Inggris dan sangat mandiri untuk seusianya. Sementara bayi mungilnya dititipkan pada seorang pengasuh tepercaya di rumah, Taysa sibuk menjalankan restoran kecil masakan khas Indonesia yang baru saja ia buka. Dan ternyata… sambutan orang-orang luar biasa. Restorannya rama

  • Sekarang Giliranku   KERIBUTAN DI CAFE

    “Udin dan Taysa… sudah bercerai,” ujar Dina akhirnya, suaranya bergetar. “Kami baru menikah kemarin. Setelah… setelah seminggu lalu Taysa mengusir Udin dan pergi entah ke mana…” Setiap katanya terdengar terbata, seperti menyusun kepingan kebenaran yang berserakan. Tapi nada suaranya tak sepenuhnya meyakinkan. Nadia menyipitkan mata. Ia merasakan ada yang janggal. Matanya menelusuri wajah Dina seperti mencari celah kebohongan yang mungkin tersembunyi. Sebelum sempat ia bicara lagi, suara David memotong udara. “Jangan berbohong. saya bisa saja memasukkan kalian ke penjara.” Seketika semua kepala menoleh ke arahnya termasuk Nadia. Suaranya datar. Pelan. Tapi ada sesuatu yang begitu dingin dalam nada itu. Serius. Mengancam. Wajah David kini berubah. Tidak lagi tenang seperti sebelumnya. Kali ini... datar. Kaku. Sorot matanya tajam, nyaris tak berkedip. Wajah yang biasanya hangat, kini seperti topeng tanpa emosi membeku, menakutkan. Nadia bahkan terdiam. Ia mengenal sisi ini.

  • Sekarang Giliranku   AMERIKA

    Pagi di Amerika saat musim salju terasa seperti dunia yang baru saja terlahir kembali hening, bersih, dan membeku dalam waktu. Cahaya matahari masih malu-malu menembus langit kelabu, menciptakan semburat oranye pucat di balik awan dingin. Pepohonan berdiri kaku, ranting-rantingnya menggigil, dibalut es tipis seperti renda kristal alami. Jalanan sunyi, hanya suara gemerisik lembut salju yang jatuh dari atap atau suara jejak kaki pertama di trotoar yang mengganggu keheningan suci itu. Asap putih mengepul dari cerobong-cerobong rumah, naik perlahan dan lenyap di udara beku. Dari jendela-jendela rumah, lampu-lampu kuning masih menyala hangat, memantul lembut di kaca yang dilapisi embun beku. Aroma kayu terbakar dan kopi hangat menyelinap ke luar melalui celah pintu yang sebentar terbuka saat seseorang menyapa pagi. Taysa menghembuskan napas lega. Sudah seminggu sejak ia pindah ke Amerika, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Damai. Tak ada lagi rasa taku

  • Sekarang Giliranku   MASA LALU YANG TAK PERNAH BERAKHIR

    "Mas, itu sudah sepuluh tahun yang lalu! Kenapa kamu masih mempermasalahkannya?!" seruku sambil menatap tajam ke arahnya. Aku benar-benar tak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa mengucapkan itu semua? Apa tak ada alasan lain yang lebih manusiawi? Udin menggeleng pelan. Tatapannya menembus mataku, dalam... tapi dingin. Tak ada lagi sisa cinta. Tak ada kagum. Tak ada pengagungan seperti dulu. Aku mundur perlahan. Jujur saja, ini sangat menyakitkan. "Aku lelah, Tasya... Aku lelah," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun menancap tajam. "Bertahun-tahun aku berjuang memperbaiki nama baikmu. Sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi diriku sendiri. Aku terlalu sibuk memikirkan kamu... perasaanmu... dan pandangan orang-orang terhadapmu." Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang. Seperti sedang membebaskan sesak yang ia simpan bertahun-tahun. Aku hanya diam. Menunggu... Kalimat berikutnya apa? Apalagi yang akan dia katakan? "Ini mungkin... balasan untukmu, Ta

  • Sekarang Giliranku   MASALALU MENJADI BOOMERANG

    "Mas... kau sungguh akan meninggalkanku?" Tasya bertanya dengan suara bergetar, tak menyangka bahwa Udin benar-benar mengucapkan kata-kata itu. Udin mengangguk pelan. Matanya mulai basah, namun ia menahan tangisnya. Sebenarnya, ia tidak ingin pergi tapi hatinya terlalu lelah dengan kehidupan yang harus selalu tampak sempurna. Ia rindu menjadi dirinya sendiri. "Aku lelah, Tasya..." Ucapnya lirih, napasnya tercekat. Tasya menunduk. Air matanya jatuh tanpa henti. "Mas... kita sudah tak lagi di kampung. Kita di sini berjuang bersama," katanya sambil mencoba menahan kepergian suaminya. Udin menggeleng lemah. Ia tahu itu. Tapi hatinya sudah terlalu dalam tertambat pada orang lain... pada Dina. "Lihat anak kita, Mas," lanjut Tasya. Suaranya bergetar, tak mampu lagi berpura-pura kuat. Tubuhnya gemetar saat membayangkan wajah kedua putri mereka. Ia telah berjuang mati-matian mempertahankan rumah tangga ini demi anak-anak. Tapi Udin... justru berselingkuh di belakangnya. "Ak

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status