Hari-hari di Moonlight Art Studio terasa berbeda sejak kehadiran Sasha. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh kerja sama, perlahan berubah menjadi sedikit kaku setiap Sasha ada di sekitar Aileen.
Sasha seolah selalu punya cara untuk muncul di saat-saat Aileen berbicara dengan Nanda, bahkan dalam hal-hal sepele. Tatapannya, kata-katanya, sering terasa seperti sindiran yang dibungkus senyum manis. Hari ini lah pameran digelar. Semua staf terlihat sibuk, mengerjakan bagian masing-masing dengan penuh fokus. Halaman depan gedung yang luas disulap menjadi kawasan pameran terbuka yang memukau. Dekorasi bertema seni modern dan klasik berpadu harmonis. Lampu-lampu gantung, kain putih berenda, serta rangkaian bunga segar mempercantik area pameran. Lebih dari seratus lukisan terpajang rapi, mulai dari aliran realis, abstrak, hingga kontemporer. Beberapa karya bahkan adalah hasil tangan Aileen sendiri. Nanda sudah stand by, mengatur jalannya persiapan, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Pagi ini Aileen datang lebih awal untuk menyiapkan dokumen penting, termasuk data tamu dan katalog karya. Namun, belum lama duduk, Sasha sudah menghampirinya, membawa setumpuk berkas. “Aileen, ini ada dokumen inventaris karya yang harus dicek ulang. Sebenarnya ini tugas tim admin, tapi kamu kan detail orangnya, jadi aku titip ya?” Nadanya terdengar ramah di telinga orang lain, tapi bagi Aileen ini jelas upaya Sasha untuk menyusahkan. Aileen menahan diri, tetap menjawab sopan. “Baik, nanti aku cek setelah selesai mendata pameran.” Sasha tersenyum tipis, menggeleng. “Ah enggak usah, biar aku aja yang urus data pamerannya. Kan aku asistennya Nanda. Kamu fokus ini aja, ya.” Tanpa menunggu jawaban, Sasha merebut dokumen yang dipegang Aileen lalu pergi, meninggalkan aroma parfum menyengat. Aileen hanya menghela napas. Ia tahu ini tak semestinya terjadi. Tapi ia memilih fokus. Dengan cepat, jari-jarinya menari di atas keyboard, menyelesaikan pengecekan inventaris. Dalam lima belas menit, ia beres. Ia berdiri, merapikan berkas, dan menuju pintu. Namun saat gagang pintu diputar, pintu itu tak bergeming. “Hah? Kok… enggak bisa dibuka?” bisik Aileen. Ia mencoba lagi, sedikit panik. Pintu itu terkunci dari luar. Matanya membulat, ingat betul bagaimana Sasha menutup pintu tadi. Bahkan sempat terlihat senyum sinis di sudut bibirnya sebelum keluar. “Ck... gimana ini? Acara sebentar lagi mulai...” Aileen menggigit bibir, menatap ke arah jendela kecil ruangannya. Tak ada jalan keluar lain. --- Sementara itu, di halaman gedung, para tamu mulai berdatangan. Nanda sibuk berbincang dengan kolega dan tamu undangan. Ia menjelaskan konsep pameran dengan antusias, memperkenalkan karya-karya seniman muda termasuk beberapa lukisan Aileen. Di sela kesibukan itu, Sasha muncul dengan map di tangan. Wajahnya tersenyum manis, seolah tak terjadi apa-apa. “Hai beb, kamu keren banget sih hari ini,” ucapnya dengan nada manja, mencoba menarik perhatian Nanda. Nanda tersenyum kecil, sopan, tapi matanya melirik sekeliling. “Sha, kamu lihat Aileen? Dia belum kasih gue data pameran, padahal ini penting.” Sasha mengangkat map di tangannya. “Aileen? Hmm… aku enggak tahu dia di mana. Tadi aku sempat cek ruangannya, tapi kayaknya enggak ada orang. Tapi tenang, ini dokumennya aku bawain, biar enggak ngerepotin kamu.” Suaranya terdengar santai, tapi Nanda mengernyit sekilas, merasa ada yang aneh. Nanda menerima map itu dengan alis sedikit mengerut. “Terima kasih, Sha… tapi gue tetap mau cek sama Aileen nanti. Gue yakin dia udah siapin sendiri datanya.” Nada suaranya datar, tapi matanya menatap Sasha seolah mencoba membaca maksud tersembunyi di balik sikap manisnya. Sasha hanya tersenyum, menyembunyikan kegelisahan kecil yang muncul karena tatapan Nanda itu. “Iya, tentu. Aku cuma bantu biar kamu enggak repot.” Sayang ponselnya tertinggal di ruang direktur, jadi Nanda hanya bisa mengangguk walau pikirannya terusik. Sejak kapan Sasha begitu perhatian soal urusan kerja? Biasanya, hal-hal teknis seperti ini bukan sesuatu yang Sasha mau urus sendiri. Pikiran itu sempat melintas di benak Nanda di tengah ramainya suasana pameran. Namun sebelum ia sempat menanyakannya, atensinya kembali tersita pada tamu-tamu yang datang menyapa. --- Sementara itu, Aileen kembali mencoba memutar gagang pintu. Hatinya mulai resah, tapi ia berusaha tetap tenang. Ia tahu, kehilangan kendali hanya akan membuat keadaan makin sulit. “Kok bisa-bisanya dikunci sih…” gumamnya, mulai frustrasi. Ia mengetuk pintu, makin keras. “Permisi! Ada orang di luar? Tolong!” serunya sambil berharap ada yang mendengar. Suara dari luar hanya riuh rendah persiapan pameran. Tak ada yang cukup dekat untuk mendengar. Aileen berjalan cepat ke jendela kecil, membuka kaca, melongok keluar. Di bawah terlihat sebagian halaman dan dekorasi pameran. Jaraknya terlalu tinggi untuk memanjat keluar. “Enggak mungkin gue diem di sini,” desisnya. Matanya menelusuri ruangan, mencari sesuatu. Matanya tertuju pada alat pemadam kebakaran yang menempel di dinding. Ia menggenggam tabung besi itu, ragu sejenak, lalu bertekad. “Kalau enggak gue pecahin, gue bisa enggak keluar sampai pameran selesai.” Dengan hati-hati ia mengangkat tabung itu dan memukul gagang pintu. Suara denting keras bergema. Sekali, dua kali… hingga akhirnya kunci pintu terdengar patah dan pintu terbuka sedikit. Aileen mendorong sekuat tenaga hingga pintu terbuka sepenuhnya. Ia buru-buru keluar, menata napas, merapikan penampilan sekilas, dan berjalan cepat menuju halaman pameran. --- Di saat bersamaan, Nanda masih berdiri di antara para tamu, mencoba tetap fokus. Tapi kegelisahannya semakin kuat. Hingga ia melihat sosok Aileen muncul dari arah gedung, membawa map di tangannya, wajahnya sedikit lelah tapi tetap berusaha tersenyum. “Pak Nanda, maaf saya telat. Ini data pamerannya.” Aileen menyerahkan berkas dengan cepat. Tak lupa ia juga menjaga bahasanya agar tetap terlihat profesional di hadapan tamu. Nanda menerima map itu dan menatap Aileen. “Kamu enggak apa-apa kan? Kenapa mukamu kelihatan capek?” Aileen menatap Nanda sejenak, lalu menunduk. Suaranya pelan tapi mantap, “Tadi ada sedikit kendala di ruang kerja… tapi semua sudah beres sekarang.” Ia tahu, bukan tempatnya membuka cerita di depan banyak orang. Nanda hanya mengangguk. Senyumnya tipis, namun sorot matanya menyimpan tanya. Dalam hati, ia berjanji: sesuatu harus ia selidiki. Dan cepat atau lambat, ia akan tahu kebenarannya.Hari-hari di Moonlight Art Studio terasa berbeda sejak kehadiran Sasha. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh kerja sama, perlahan berubah menjadi sedikit kaku setiap Sasha ada di sekitar Aileen. Sasha seolah selalu punya cara untuk muncul di saat-saat Aileen berbicara dengan Nanda, bahkan dalam hal-hal sepele. Tatapannya, kata-katanya, sering terasa seperti sindiran yang dibungkus senyum manis. Hari ini lah pameran digelar. Semua staf terlihat sibuk, mengerjakan bagian masing-masing dengan penuh fokus. Halaman depan gedung yang luas disulap menjadi kawasan pameran terbuka yang memukau. Dekorasi bertema seni modern dan klasik berpadu harmonis. Lampu-lampu gantung, kain putih berenda, serta rangkaian bunga segar mempercantik area pameran. Lebih dari seratus lukisan terpajang rapi, mulai dari aliran realis, abstrak, hingga kontemporer. Beberapa karya bahkan adalah hasil tangan Aileen sendiri. Nanda sudah stand by, mengatur jalannya persiapan, memastikan semuanya berjalan sesuai
Hari ini sangat berarti untuk Aileen. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama ia bekerja di Seoul, hari pertama untuk lembaran baru dalam hidupnya. Sejak pulang dari wawancara, ia tak henti menatap layar laptop. Hampir larut malam, matanya nyaris terpejam ketika akhirnya, pada pukul 00.25, sebuah notifikasi muncul. > "Moonlight Art Studio — Hasil Keputusan!" Subjek email itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Aileen menarik napas panjang sebelum mengkliknya. > *Selamat malam, Aileen, Setelah mempertimbangkan wawancara dan portofoliomu, kami dengan senang hati menerima kamu sebagai bagian dari tim Moonlight Art Studio. Posisi: Asisten Kurator Galeri & Kreator Seni Lepas Hari pertama kerja: Besok, pukul 09.00 KST Pakaian kerja: Bebas formal, rapi, dan artistik Selamat datang di keluarga Moonlight. — Nanda Nero Arsyadi Art Director* Aileen menatap layar itu cukup lama. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Bahagia, hangat, dan penuh harapan. Setelah luka-luka yang per
Tak terasa, tiga hari sudah berlalu sejak Aileen mengirimkan email lamaran ke Moonlight Art Studio. Meski ia berusaha mengalihkan pikiran dengan melukis dan merapikan rumah, diam-diam ia masih sangat berharap bisa mendapat balasan. Studio itu bukan hanya tempat kerja baginya, tapi juga peluang untuk memulai hidup yang benar-benar baru. Pagi itu, baru saja ia membuka laptop di meja ruang tengah, ekspresinya seketika berubah sumringah. Sebuah notifikasi email masuk, dan saat dibuka, matanya langsung tertuju pada baris pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang: “Kami mengundang Anda untuk wawancara kerja hari ini pukul 12.00 di kantor Moonlight Art Studio.” Aileen menatap layar itu beberapa detik, memastikan ia tak salah baca. Jemarinya bergetar kecil antara gugup dan gembira. Jam menunjukkan pukul 11.00. Ia punya waktu satu jam untuk mempersiapkan diri. Tanpa menunda, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Ia memilih pakaian paling sopan dan nyaman yang ia punya: b
Hari-hari dengan cepat berlalu. Sudah seminggu Aileen menetap di Seoul. Rumah peninggalan neneknya yang perlahan mulai berubah lebih bersih dan lebih hangat. Benda-benda usang sudah banyak yang dibuang dan diganti. Setiap sudut rumah kini mulai kembali hidup, sedikit demi sedikit. Pagi itu, Aileen baru saja selesai sarapan. Ia membereskan piring ke dapur dan hendak menyeduh teh ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya terhenti sejenak. ‘Bang Reza’ Tanpa pikir panjang, Aileen langsung mengangkatnya. “Halo, Bang,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Suara laki-laki di seberang langsung terdengar tegas. “Bener kamu udah cerai, dek? Kok gak bilang apa-apa ke Abang?” Aileen terdiam. Ia memang belum berani mengabari abangnya soal perceraiannya dengan Arfan. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena tidak ingin membuat abangnya khawatir. “Maaf, Bang,” ujarnya akhirnya. “Aku udah nggak tahan sama sikap Mas Arfan. Dia selingkuh di belakang aku... bahkan
Seoul. Kota yang hidup sejak matahari terbit hingga jauh setelah malam turun. Ritmenya cepat, tapi tidak tergesa. Ada keteraturan di balik keramaiannya, dan ada kehangatan yang menyelinap diam-diam di setiap sudut jalan. Dari balik jendela kereta bawah tanah, pemandangan silih berganti mulai dari gedung tinggi menjulang, toko-toko kecil dengan papan nama berwarna-warni, dan orang-orang yang berjalan dengan semangat seolah setiap hari adalah awal yang baru. Seoul seperti memiliki energi yang tak pernah habis. Bahkan udara paginya pun terasa segar, seolah membisikkan bahwa tak ada hari yang sia-sia di kota ini. Di gang-gang sempit yang dipenuhi kafe dan toko roti, aroma kopi dan kue hangat bercampur dengan tawa pengunjung yang duduk santai menikmati pagi. Anak-anak muda sibuk dengan laptopnya, barista menyapa ramah, dan turis-turis berjalan sambil menunjuk peta digital dengan mata berbinar. Modern dan tradisional berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Kuil-kuil kuno be
Grek... grek... grek… Suara koper yang diseret, bergesekan pelan dengan lantai bandara, terdengar lebih jelas daripada keramaian di sekitarnya. Lalu-lalang orang, pengumuman dari pengeras suara, bahkan tawa riang keluarga yang hendak liburan hanya jadi latar samar yang nyaris tak terdengar. Gemeretak roda koper itu bergerak dengan ritme yang kasar, seolah tahu bahwa langkah ini bukan perjalanan santai, tapi pelarian dari sesuatu yang berat. Aileen Dwilora Rosendale. Perempuan dengan wajah cantik dan mata yang lelah itu menarik kopernya tanpa banyak suara, hanya tatapannya yang bicara. Ada luka di sana. Tapi bukan luka yang segar. Luka lama, yang belum juga sembuh. Langkahnya sempat terhenti di depan gerbang keberangkatan. Ia menatap papan informasi digital dengan tatapan kosong. Tangan kirinya menggenggam boarding pass yang mulai lembab karena keringat. “Lupain. Lo cuma perlu lupain,” gumamnya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Tapi tentu saja, melupakan bukan perkara se