Sa panahon ngayon, uso pa ba ang fixed marriage? May naniniwala pa ba do'n? Sa katulad ng mga mayayamang businessmen, para mas tumagal at tumatag ang negosyo,kailangang magsanib pwersa ang dalawang pinakamamalakas at matitibay na pamilya sa linya ng mga business tycoon sa pamamagitan ng pagpapakasal sa mga natitirang successor ng bawat angkan. That is why sad to say, 4 na taong gulang pa lang si Haya Gail Montero ay may fiance na siya. Kung sino pa yung pinakasusuklaman mo siya pa ang pinagkasundo sayo. Para makatakas sa walang kwentang kasunduan, babaliin nina Haya at Vincent ang nakasaad sa kontrata na within 30 days ay dapat ma-inlove sila sa isa't-isa. They will make it , within 30 days, kailangan nilang ma-inlove sa iba para hindi matuloy ang nakatakdang kasalan. Will they break the curse of the contract? or contract will be the way for them to fall in love with each other?
View More“Siapa yang bertamu, Aisyah?”
Pertanyaan dari Rahma, mengejutkan menantunya. Aisyah yang baru saja menutup pintu langsung menunduk, tak berani menatap wajah mertuanya. Tangannya terlihat gemetar.
Aisyah, wanita itu sudah berusaha menutup pintu sepelan mungkin agar tak mengganggu mertuanya. Bukan mengganggu, tetapi menghindari Rahma. Niatnya, setelah menutup pintu akan berjalan cepat menuju kamarnya, menyembunyikan bungkusan yang berada di tangannya.
“Kurir, Umi,” jawab Aisyah pelan. Ia tak mungkin berbohong.
Rahma sudah melihat bungkusan berukuran sedang pada tangannya. Benar dugaan Aisyah. Mertuanya langsung memasang wajah tak suka saat ia memberanikan diri menatap wajah Rahma.
“Kamu beli paket apa?” tanya Rahma ketus.
“Mm ... beli pembalut, Umi. Kebetulan lagi ada diskon besar. Ais pikir lumayan untuk berhemat, lagi pula gratis ongkir,” jawab Aisyah dengan nada was-was. Dalam hatinya berharap mertuanya menerima alasannya.
Sayangnya, Rahma tak menerima alasan menantunya itu. Ia makin menunjukkan wajah tak sukanya. Bahkan wanita tua itu mengehembuskan napas berat.
“Astaghfirullah, Aisyah! Kalau soal pembalut, di warungnya bi Imas ‘kan ada. Malah lebih baik beli di bi Imas, tetangga kita! Lebih berkah membeli dagangan saudara sesama muslim!” Rahma meninggikan suaranya. “Kamu kayaknya seneng gaya-gayaan, ya? Biar kelihatan keren gitu belanja online terus menghabiskan uang suamimu, hah?” tuduhnya.
“Demi Allah tidak, Umi,” sahut Aisyah cepat.
Rahma menyeringai penuh amarah. “Punya uang itu ditabung, jangan sering belanja online! Jangan mentang-mentang kamu belum punya anak, jadi seenaknya menghambur-hambur uang!” perungatnya.
“Maaf, Umi. Aisyah akan mengingatnya,” sahut Aisyah seraya menundukkan wajahnya.
Tak ada lagi yang bisa Aisyah utarakan jika mertuanya terus merundungnya dengan praduga yang membuat wanita itu tak berdaya. Tiba-tiba wajah wanita yang masih mengenakan cadar itu panik saat melihat mertuanya berjalan menuju dapur. Baru saja ia hendak menyusul, Rahma sudah memekik penuh amarah.
“Maaf, Umi. Aish akan membereskannya sekarang, tadi—“
“Dari subuh, kamu ngapain aja sih? Sudah jam segini masih belum beres pekerjaan dapur?” geram Rahma memotong penjelasan menantunya, seraya melentikkan telunjuknya pada wajah Aisyah.
Aisyah hanya bisa menunduk. Ia tak berani menyela ucapan mertuanya sebelum Rahma selesai bersuara. “Maaf, Umi, hari ini hari pertama Aisyah PMS, Umi. Tadi pagi sakit banget, sekarang sudah mendingan setelah perut Aisyah dikompres pakai handuk hangat. Sekarang baru mau dikerjain,” jawab Aisyah mencoba mempertahankan bahasa santunnya tanpa menunjukkan rasa kesalnya.
Rahma menatapnya sinis. Aisyah tahu, mertuanya tak pernah mau mengerti alasannya. Mungkin, dulu Rahma tidak pernah mengalami PMS atau Premenstrual Syndrome? Sehingga tak tahu rasa sakitnya jika tengah PMS.
“Alasan saja kamu ini! Buktinya pas denger suara teriakan kurir langsung gesit,” sindir Rahma, hingga membuat Aisyah makin menundukkan pandangannya. “Ini kali yang bikin kamu susah hamil?” celetuknya.
“Awas saja, jika sore pekerjaan rumah belum selesai! Nanti sore ada pengajian di rumah umi, jangan buat malu bisa nggak sih!” sambung Rahma murka.
***
“Aisyah! Aisyah!” pekik Rahma seraya menggedor-gedor pintu kamar Aisyah dengan kasar.
“Iya, sebentar, Umi,” jawabnya dari kamar.
Aisyah segera beranjak dari atas kasur. Ia meletakkan handuk hangat yang mengompres perutnya yang masih terasa sakit dan ngilu. Aisyah kemudian meraih kain hitam panjang yang langsung dipakaikan untuk menutup kepalanya. Selembar kain hitam lainnya yang tampak kecil ia gunakan untuk menutupi bagian wajahnya dan hanya memperlihatkan matanya saja.
“Cepet buka pintunya!” teriak Rahma tampak tak sabar
“Sebentar, Umi,” ujar Aisyah dengan terburu-buru.
Pintu segera Aisyah buka, dan tampak Rahma di balik pintu tersebut tengah berkacak pinggang dengan raut wajah yang terlihat kesal. Waita bercadar itu yang melihatnya pun tahu bahwa mertuanya itu mempunyai keluhan tentang dirinya yang masih berada di dalam kamar hingga menjelang tengah hari.
“Buka pintu, kok, lama? Kamu mau jadi menantu nggak tahu diri ngebiarin Umi tunggu kamu buka pintu?” cecar Rahma dengan tatapan berapi-api.
“Maaf, tadi Aisyah pakai kerudung dulu, Umi. Omong-omong ada apa, ya, Umi?” tanya Aisyah dengan nada yang hati-hati.
“Kenapa pake tanya segala, Aisyah? Kamu lupa kalau hari ini Umi ngadain pengajian? Kamu malah diam di kamar padahal Umi sibuk nyiapin semuanya! Sebagai menantu kamu harusnya sadar dan langsung membantu Umi tanpa disuruh, padahal Umi sudah berpesan tadi pagi. Udah kaya bocah aja yang apa-apa harus disuruh dulu!” geram Rahma seraya menunjuh wajah menantunya dengan jari telunjuk.
“Maaf, Umi ... Aisyah bukannya nggak mau bantu Umi, Aisyah tadi kram haidnya terasa lagi. Sekarang perut Aisyah sudah nggak sesakit tadi dan baru bisa keluar dari kamar sekarang,” jawabnya sebisa mungkin tidak menyinggung Rahma.
Jantung Aisyah berdebar lebih kencang. Ia tahu Rahma tak akan pernah bisa menerima alasan tersebut, tetapi dia berkata sejujurnya. Wanita bercadar itu lantas menunduk, tidak berani melihat langsung sang ibu mertua yang emosinya bisa saja kian memuncak.
“Kenapa kamu masih haid, hah? Bukannya ini sudah waktunya kamu mengandung seorang anak dan memberikan cucu pada Umi?” ketus Rahma dengan alisnya yang berkerut.
Rasanya Aisyah ingin menjawab, tapi ia memilih untuk mengurungkan niatnya itu. Dirinya berusaha untuk menahan air mata yang hampir saja terbendung di pelupuk matanya. Ia mencoba untuk mengatur napasnya supaya ia tidak menangis di depan Rahma.
“Cepat ke ruang tamu, sana! Siapin semuanya sebelum orang-orang datang. Kalau masih belum siap, nanti kamu yang terima ganjarannya, Aisyah,” titah Rahma, kemudian melenggang ke arah dapur.
Tangan Aisyah tergerak menghapus air mata yang hampir keluar dari pelupuk matanya. Ia lantas menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Sembari memegang perutnya yang masih terasa sedikit sakit, ia segera menggerakkan tungkainya ke tempat penyimpanan karpet di samping dapur.
Mendapatkan kata-kata yang sebenarnya tidak mau Aisyah dengar adalah konsekuensinya tinggal bersama dengan ibu mertuanya. Itu dikarenakan Rahma yang meminta Wahid, suaminya untuk tetap tinggal di rumah tempat suaminya tumbuh sebagai bakti kepada sang ibu. Meski harus mendapatkan perlakuan seperti itu, ia harus tegar mendengar kata-kata yang terkadang menyakiti hatinya, karena ia tahu bahwa hal itu adalah salah satu ujian dari Allah Sang Maha Kuasa supaya dirinya bisa menjadi pribadi yang kuat.
“Hati-hati bentangkan karpetnya, jangan sampai kena perabotan lain! Sudah berapa vas bunga yang kamu pecahkan agara-gara keteledoranmu!” celetuk Rahma saat menantunya melewati dirinya yang tengah berada di sapur.
“Baik, Umi,” sahut Aisyah pelan.
Aisyah lantas mengangkat karpet dengan hati-hati ke ruang tamu, lalu membentangkan karpet yang lebarnya sangat luas itu sendirian. Sementara itu, Rahma tengah mempersiapkan makanan yang akan disajikan pada para tamu yang akan datang.
Setelah merapikan karpetnya, ia mengambil beberapa makanan ringan dari lemari dapur. Rahma yang melihatnya meminta agar ia hanya mengeluarkan makanan yang murah saja. Sesuai dengan permintaan mertuanya itu, ia hanya mengeluarkan beberapa makanan ringan yang murah dan beberapa wadah untuk menuangkan makanannya.
Tak terasa Aisyah berkelut membantu mertuanya dengan perasaan was-was, semua persiapan pengajian sudah selesai. Tiba waktunya para tamu datang menghadiri pengajian tersebut. Sembari menyalami ibu-ibu yang masuk ke dalam rumah Aisyah tersenyum dibalik cadarnya. Beberapa ibu-ibu begitu ramah dan terkadang mengajak Aisyah mengobrol ringan sambil menunggu para jemaah lain datang.
“Aisyah, tolong hidangkan minumannya, ya, sambil tunggu ibu-ibu yang belum datang,” perintah Rahma terdengar ramah. Tentu saja, ia ramah bila berhadapan dengan ibu-ibu lain.
Setelah mengangguk, Aisyah lantas bergegas menyusun minuman ke dalam baki agar lebih mudah dibawa dalam jumlah yang banyak. Wanita bercadar lantas membagikan minuman tersebut pada para jemaat. Merasa jumlahnya kurang, Asiyah kembali lagi ke dapur dan membawa baki kedua. Naas, saat berjalan ada dua anak laki-laki yang tengah bermain kejar-kejaran tak sengaja menyenggol tubuhnya sehingga badan Aisyah condong ke depan, hingga baki di tangannya terlepas.
Suara pecahan beling yang bersentuhan dengan lantai terdengar nyaring. Cairan berwarna jingga yang terbendung oleh gelas pun berceceran membasahi lantai dan ujung karpet. Beberapa gelas terpecah-belah setelah menerpa keramik. Aisyah membulatkan matanya dengan sempurna.
Wanita itu tak menyangka akan menimbulkan masalah di depan jemaah. Rahma yang melihat hal itu tampak murka. Acara pengajian yang seharusnya dilaksanakan dengan damai malah ditimpa kesialan yang mempermalukannya.
“Kenapa, sih, kamu buat onar di depan orang-orang? Bawa minuman aja nggak becus! Pantes aja kamu masih belum hamil, Aisyah ... bawa yang kaya gini aja kamu nggak bisa, apalagi bawa bayi di perut kamu!” hina Rahma dengan nada tinggi.
“Maaf, Umi, tadi Aisyah kurang hati-hati bawanya dan nggak sengaja tersenggol, jadi—“
“Jangan banyak alasan kamu, cepat bereskan beling dan minuman yang tumpahnya,” titah Rahma murka.
Aisyah terdiam seribu kata sembari mengumpulkan beling-beling yang berserakan di lantai. Mendapat hinaan dari sang mertua membuat hatinya begitu sakit, terlebih lagi Rahma menghinanya di depan orang-orang yang menyaksikannya. Para insan yang ada di sana seketika membicarakan ucapan Rahma yang mereka percayai bahwa Aisyah memang tidak mampu mengandung anak.
Bisikan-bisikan mereka cukup terdengar jelas oleh Aisyah. Walaupun ia pura-pura tidak mendengar, tapi hatinya tetap sakit untuk menahan hinaan-hinaan yang tertuju padanya. Perlahan-lahan air mata mulai muncul di pelupuknya saat ia mengelap minuman yang tumpah. Kumpulan beling yang berserakan sudah ia bawa dan sapu, lantai yang lengket akan minuman pun sudah bersih kembali berkatnya. Aisyah membuang pecahan gelas tersebut ke dalam tempat sampah di dapur, lalu setelahnya ia simpan lap kotor bekas mengelap minuman tadi.
Wanita bercadar itu lantas melenggang pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Air matanya mulai membasahi cadar hitamnya, bahunya naik turun seiring air mata yang terus mengalir. Aisyah mengusap-usap lengannya, mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri agar tetap kuat mendengar cercaan orang-orang.
“Nggak apa-apa, Aisyah ... nggak apa-apa! Kamu harus kuat, ini ujian dari Allah kepada kamu supaya menjadi seorang hamba yang bisa bertahan dalam dunia yang seperti ini. Maksud Umi nggak jahat, kok. Umi marahi aku supaya tahu kalau aku harus hati-hati saat melakukan apa pun. Semangat, Aisyah!” Aisyah menyemangati dirinya sendiri agar tak berlarut dalam kesedihan.
Who the hell is she?Simula nang gabing 'yon, hindi na mawala sa aking isipan ang mga nangyari. Si Erin.Si Gan.At 'yong kiss namin ni Vincent.Hindi ko alam kung normal lang ba na may aftershock after ng first kiss o ako lang talaga 'tong nagiging OA na. He doesn't like me. And I don't like him either. Kaya napakaimposible nitong naiisip ko."Goodmorning Haya!" bati sa akin ni Nikki na nakasuot ng sweat pants at white plain blouse. Normal na sa kanya ang laging madaming bitbit na libro o kahit na anong abubot dahil literal na bookworm 'to. "Goodmorning, Nikki!" sagot ko sa kanya ng nakangiti. "How's the party? Did you enjoy it?" tanong niya sa akin habang naglalakad na kami sa may corridor patungo sa aming clasroom."Ahm. Good. But not so good," anang ko."Good? But not so good?" Nagtatakang tanong ni Nikki.Bumuntung hininga ako dahil hindi ko alam kung ano'ng una kong sasabihin kay Nikki. O dapat ko pa bang sabihin?"Marami kasi akong nainom na alak kaya hindi ko gaano na-enjoy
ImbyernaBakit gano'n? Dapat nagpupumigilas ako. Dapat sinasampal ko na siya sa ginagawa niya dahil bukod sa ninakawan niya ako ng halik, ninakaw din niya ang first kiss na dapat ay para kay Gan.Pero parang namanhid lang ang katawan ko. Hindi ko maigalaw. Lalo pa ng simulan na ni Vincent igalaw ang kanyang mga labi sa 'kin. Gutom ba siya? Parang gusto na niya kainin buong bibig ko, eh. Sumusunod lang ako sa ginagawa niya. Kung makahalik parang wala ng bukas. "Close your eyes!" Mahina niyang utos habang pinagsasawaan pa rin ang aking mga labi.Tila may sariling pag-iisip at kusa na lamang sumunod sa sinabi ni Vincent at nahulog sa mahika na dala niya.Ilang segundo pa'y, tumigil na siya sa ginagawa at marahang kumawala sa akin."Fu*k!" Kagat-labi niyang sabi sabay sandal sa kanyang kinauupuan.Natameme naman ako sa nangyari. Hindi ko alam ang magiging reaksyon at parang naging robot na sumandal na lang din sa aking kinauupuan.Napahawak siya sa kanyang labi at napangiti. Isang nakaka
Lesson No.3: Close your eyes while kissing!She looks so stunning! Nilamon niya lahat ng mga kababaihang naroroon. Syempre except from me. May sarili akong ganda at... basta maganda ako.Napaka-elegante ng suot niyang long tube dress na nagkikislapan at nangingibabaw dahil sa kulay nitong silver at tan na kulay ng kanyang balat.Modelong modelo talaga ang pigura.Bagay na bagay din ang kaniyang long blonde hair na sobrang wavy na animo'y modelo ng shampoo.Tahimik ang lahat at talagang inaabangan ang pagbuka ng kanyang bibig. Maging si Gan ay nakatitig sa kanya. Ngunit si Vincent ay parang walang pakialam at tuloy pa rin sa pakikipaglandian sa kanyang katabi."Goodevening beautiful girls and hotty boys!" bungad ni Erin na punung-puno ng energy. "I'm so grateful because I saw again each and everyone of you! It's been a long time, right? And sobrang na-miss ko 'to! Thank you all guys so much dahil tinanggap niyo ang invitation ko of course with the help of my famous brother, Blake. I a
Lesson No. 2 : Huwag masyadong papansinPansin ko ang katahimikan ni Vincent mula pa kanina sa cafeteria. Hindi lang ako sanay o hindi ko pa lang talaga siya kilala ng lubusan na baka may tinatago pala siyang pagka-bi-polar.Seryoso lang siyang nagdadrive habang tumatango-tango pa ang ulo sa pagsabay sa tugtog ng The Creed.Dahil hindi ako maka-relate sa mga tugtugan niya, pinakeelaman ko ang kaniyang ipad at walang takot na pinatay ang music.Bigla namang napakuno't ang noo niya ng tumingin sa 'kin."Hey! Problema mo?!" Ramdam ko ang inis sa tono ng boses niya."Ayoko ng tugtog, eh! Bakit ba?" Nakanguso kong sagot.Nagpakawala siya ng hininga at umiling iling na lang."Freak talaga!" Bulong niya."Ano'ng sabi mo?" Bumaling ang ulo ko sa kaniya at nagpanting ang aking tainga sa narinig."I said...you are freak!" Inulit niya ng mas may diin."Tss. Grabe na talaga 'yang ugali mo! Kaya tama lang talaga ang desisyon ko na hindi magpakasal sa 'yo! Masisira lang ang buhay ko!" Bulyaw ko sa k
Sa Atlas UniversityHindi ko alam kung ano'ng pumasok sa kokote ko at napapayag ako ng Vincent na 'to na sumang-ayon sa plano niya. Anyway, kapag naman nagtagumpay itong plano niya, parehas naman kaming mag-bebenefit at isa pa, mapapalapit din ako sa aking ultimate crush na si Gan Villaflor.Samantala, mayabang naman na ipinarada ng aking hilaw na fiance ang kaniyang Ferrari na kulay dilaw sa malawak na parking ng Atlas Univeristy. Kahilera nito ang mga magagara at nagaastigan din na mga sasakyan na pagmamay-ari rin ng mga anak ng mga dugong bughaw na kagaya namin."First lesson for today... Feel your looks. And Be confident. Got it?" Nakatingin niyang sabi habang nakaakbay ang kaniyang kanang braso sa aking kinauupuan.Nakatulala naman ako sa aking hawak na salamin at pinagmamasdan ang aking hitsura na namumula ang mga pisngi at pumuputok ang labi dahil sa red lipstick habang ilang na ilang din sa aking suot."Seriously?" Taas kilay kong tugon. "Sa tingin mo magiging confident talaga
Sa Condo Sobrang nakakainis na talaga! Pati ba naman ang sagradong bagay gaya ng LOVE ay kailangang sapilitan na? Magpapakasal. Oo pwede kasi pwede naman ako makipag-divorce after. Pero 'yung pipilitin namin ang mga sarili namin na mahalin ang isa't-isa parang sobra na. Hindi ko alam kung ano'ng mga tumatakbo sa mga utak nila pero they are all selfish!"Nakakabwisit talaga!" singhal ko habang nakasakay sa back seat ng aming Mercedes - AMG One.Tila wala namang pakeelam ang katabi kong feeling gwapo dahil abala sa kausap nyang nasa kabilang linya. Puro landian lang ang aking naririnig. Nakakasuka talaga!"Grabe! Mayabang na nga insensitive pa! Nakakabwisit talaga lalaki na'to!" pagmamaktol ko.We are now heading sa condominium na binigay ng mga Herrera para maging pansamantala naming tirahan daw ni Vincent.Bente tres pa lang ako, pero parang minamadali na ang lahat. Ngayon naman ay kailangan ko ng umalis sa aming bahay at lumipat na kasama ang Vincent na 'to! Minsan napapaisip na la
Maligayang pagdating sa aming mundo ng katha - Goodnovel. Kung gusto mo ang nobelang ito o ikaw ay isang idealista,nais tuklasin ang isang perpektong mundo, at gusto mo ring maging isang manunulat ng nobela online upang kumita, maaari kang sumali sa aming pamilya upang magbasa o lumikha ng iba't ibang uri ng mga libro, tulad ng romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel at iba pa. Kung ikaw ay isang mambabasa, ang mga magandang nobela ay maaaring mapili dito. Kung ikaw ay isang may-akda, maaari kang makakuha ng higit na inspirasyon mula sa iba para makalikha ng mas makikinang na mga gawa, at higit pa, ang iyong mga gawa sa aming platform ay mas maraming pansin at makakakuha ng higit na paghanga mula sa mga mambabasa.
Comments