"Ada sesuatu yang ingin ku katakan padamu,"Shikha mengernyit dahi, menunggu kalimat selanjutnya.
"Aku ingin kau berpura-pura menjadi adik perempuanku, di depan para klien asal Turkey besok,"sontak perkataan itu menuai kecaman dari Shikha, apa maksud pria bodoh ini? Ia kan istrinya, mengapa harus berpura-pura menjadi adik perempuannya?
"Apa maksudmu? Kau menyuruhku untuk berpura-pura? Bahkan, menjadi adik perempuanmu!? Apa kau sudah tidak waras?"Tanya Shikha dengan nada yang sedikit meninggi.
Aksa menampilkan wajah dinginnya, ia bergerak semakin mendekati Shikha. "Aku masih waras, tidak sepertimu bahkan seperti ayahmu itu. Ck ck! Kasihan sekali,"katanya dengan wajah pura-pura prihatin.
Jika dirinya dihina oleh Aksa itu tidaklah mengapa, namun jika Aksa berani menghina ayahnya. Sungguh, jangan salahkan Shikha jika ia lepas kendali dan bisa saja melukai Aksa.
"Kau!! Aku hanya diam selama ini, ketika kau terus menghinaku, namun kali ini aku tak akan tinggal diam karena kau telah menghina ayahku!"bentak Shikha, ia menodongkan jarinya tepat pada wajah Aksa yang begitu dingin.
Jantung Shikha seakan ingin melompat dari tempatnya, ketika merasakan jemari besar Aksa mendarat tepat di bibir mungilnya.
"Jangan berteriak padaku, aku tak suka seorang wanita meneriakiku seperti ini."lirih Aksa.
"Ikuti apa kataku, ini tender besar. Aturan keluarga Dwiken telah turun menurun, menjadikan istri mereka sebagai adik perempuan, ketika berada dalam acara pertemuan college asal negara Turkey."jelas Aksa, fakta baru yang belum pernah Shikha ketahui kini telah dijelaskan oleh Aksa.
"Setelah pertemuan itu berakhir, aku berjanji akan mentraktir eskrim untukmu. Kau suka makanan manis 'kan?"tanya Aksa dengan wajah penuh keseriusan.
"Aku tidak suka hal yang manis, aku lebih suka uang."kata Shikha, sungguh! Jika bukan karena rencananya, Aksa tak ingin bersikap lembut pada Shikha. Uang baginya hanyalah sebuah kertas, tidaklah begitu penting sekali, jadi jika Shikha menginginkan sesuatu ia pasti akan menurutinya segera.
"Mmm ... Baiklah sebutkan berapa nilai yang kau mau?"dari raut wajah Aksa begitu yakin bahwa pria itu sungguh serius.
"Nanti akan ku beritahu, kau sudah selesai makan?"tanya Shikha seraya melirik sekilas ke arah bekal kotak makan siang yang dipegang oleh Aksa.
"Belum, satu suap lagi. Tapi, aku sudah kenyang, kau habiskan saja."katanya seraya menyodorkan bekal itu pada Shikha.
Shikha masih dalam posisi cengo, ia masih mencerna seluruh perkataan Aksa barusan.
"Habisin, mubazir."kata Aksa, ia meraih sendok dan mengarahkannya tepat di depan mulut Shikha yang terkulum.
"Kau kira aku ini ku--"ucapannya terhenti, kala sendok itu telah masuk lebih dulu kemulut Shikha yang terbuka tadi saat dirinya mengomel pada Aksa.
Shikha mengunyahnya dengan sangat tidak ikhlas, seraya melirik kesal pada wajah Aksa yang tertawa begitu renyah.
Semakin dikunyah, rasa pada makananya semakin tidak asing dan begitu familiar bagi lidahnya. Ini masakan yang ia buat tadi pagi, jadi pria arrogant ini begitu gengsi mengakui bahwa dirinya telah memakan masakan Shikha.
"Mengapa kau tersenyum aneh seperti itu? Apa kau sudah gila?"tanya Aksa saat mendapati Shikha tersenyum.
Shikha mengangkat satu alisnya. "Dalam pasal berapa, disebutkan bahwa manusia tidak diizinkan untuk tersenyum?"tanya Shikha.
Aksa mengedikkan bahu. "Ntahlah, aku tak peduli. Tapi, jika saat bersamaku, kau jangan pernah tersenyum."
Wanita berusia 20 tahun itu menggeleng seraya tertawa kecil. "Kau benar-benar seorang pria yang manipulatif, Tuan Aksa."
Tawa Aksa pecah, perutnya kini mulai keram karena tertawa. Lelucon Shikha benar-benar membuat Aksa kehilangan kesadaran akan dirinya, Shikha menatap horor Aksa. Apakah kepala pria ini benar-benar telah terbentur benda? Atau dirinya kemasukan roh penghuni ruang kerjanya? Sungguh! Ini membuat Shikha tak dapat mencerna situasi sekarang, ini Kali pertama Shikha melihat dan mendengar tawa lepas Aksa selama ia hidup bersama Aksa.
Shikha mengangkat tangannya, kemudian menempelkan punggung tangannya pada kening Aksa, wajah Shikha terpahat begitu serius.
"Kau sedang sakit, Aksa."kata Shikha seraya mengelus dagunya, memberi penjelasan seakan dirinya seorang dokter yang sedang memeriksa keadaan pasiennya.
Aksa mengetuk kepala Shikha dengan keras, hingga membuat wanita itu mengadu kesakitan.
"Aku sehat dan aku baik-baik saja, jangan berpikir bahwa aku tertawa karena senang. Tapi, aku tertawa karena ulah kebodohanmu selama ini."kata Aksa.
"Bagaimana bisa kau baru menyadari bahwa diriku begitu manipulatif?"lanjutnya seraya bersedekap dada.
"Aku menyadarinya saat pertama kali bertemu denganmu,"kata Shikha datar.
Alis hitam tebal milik Aksa naik keatas, ia begitu penasaran akan fakta yang ingin diungkap Shikha nantinya.
"Kau pria yang begitu arrogant, manipulatif, cerdik, tentunya kejam."kata Shikha menekan setiap kata yang ia ucapkan.
"Lalu? Kau juga wanita yang sangat bodoh, pembawa sial, jelek, dan tentunya polos."hina Aksa tak ingin kalah.
"Ya terserah apa katamu, aku tak peduli."ujar Shikha, ia berdiri kemudian melangkah pergi dari ruangan Aksa. Namun, tangan kekar itu mencegahnya.
"Aku belum memerintahkanmu untuk pergi dari ruanganku, kau ingin mencari masalah lagi denganku, huh?"Aksa melangkah semakin mendekati Shikha. Hingga membuat Shikha semakin terpojok ke dinding, wanita itu begitu takut akan tatapan yang dilayangkan Aksa pada dirinya.
Aksa meraih dagunya dan mengangkatnya untuk menatap dirinya. "Aku tak suka wajahmu tertunduk,"kata Aksa seraya menyelipkan anak rambut Shikha pada daun telinganya yang lebar.
"Karena kau telah sering bahkan sangat mudah mengangkat wajahmu untuk menentangku, Shikha."lanjut Aksa, satu tangannya mengangkat kedua tangan Shikha ke atas dan mengunci pergerakan Shikha.
"Aku sungguh jijik berada diposisi ini bersama dengan seorang pria yang arrogant sepertimu,"kata Shikha, ia masih terus berusaha melepaskan diri dari kungkungan tubuh Aksa yang begitu proposional. Namun, semakin ia berusaha melarikan diri, semakin kuat pula cengkraman tangan Aksa padanya.
"Oh...benarkah? Aku sungguh terkesan atas keberanianmu untuk menentangku dan akan ku beritahu satu hal tentang fakta diriku,"Aksa memberi jeda pada kalimatnya, ia mengusap sensual pipi Shikha membuat sang empunya mengerang dalam atas sentuhan jemari Aksa yang begitu sensitif.
Aksa tersenyum sinis, ia menggeleng Karena respon Shikha atas sentuhannya.
"Aku tak suka basa-basi dalam hal apapun dan aku telah mengetahui semua rencanamu untuk menggagalkan rencanaku,"Shikha sedikit panik, bagaimana bisa Aksa mengetahui tentang rencannya menyelidiki rencana Aksa yang ingin menggagalkan kepulangan ayahnya lusa, namun Shikha berusaha untuk tetap tenang.
Pria itu mengernyit, bukan ini respon yang ingin ia dapatkan dari Shikha. Ini begitu jauh di luar ekspetasinya.
"Maksudmu?"tanya Shikha setelah lama bungkam.
"Kau telah mengenalku, bahkan kau sungguh mengerti akan sifatku selama ini yang begitu membenci dirimu. Jadi, garis besarnya kau telah dapat membaca situasi bahkan mimik wajahku ketika menyampaikan berita tentang kepulangan ayahmu,"ucap Aksa.
Shikha tertawa renyah, ia menggeleng. "Pikiranmu begitu kuno, Tuan Aksa. Bahkan, kau masih mempercayai hal yang tak mungkin terjadi pada kehidupan nyata,"
Aksa mengerang kesal. "Baiklah, kau ingin memulai ini. Jadi, jika pikiranku masih kuno karena mempercayai hal semacam itu, maka aku akan membawamu kedunia fiksi agar seluruh pikiran kuno ku tersampaikan."katanya seraya tersenyum pada satu sudut bibirnya saja. Nafas Shikha tercekat, rasanya pembuluh darah yang bertugas memompa darah kejantung seakan berhenti bekerja untuknya.
Ia masih terus berusaha melepaskan diri dengan sisa tenaganya dari tubuh Aksa yang mengunci tubuhnya. Namun, semakin Shikha mencoba akan sia-sia pula usahanya. "Semakin kau mencobanya, maka semakin sia-sia pula usahamu."kata Aksa, ia kembali mengusap wajah Shikha dengan sensual, membuat Shikha bergerak gelisah karena mendapat sentuhan jemari Aksa. "Jangan sentuh aku, Tuan Aksa!"pekik Shikha terus memberontak dalam kungkungan Aksa, sapuan jemari Aksa pada leher jenjangnya semakin menjadi-jadi. Teriakan wanita itu sama sekali tak didengar Aksa, menurutnya itu hanyalah sebuah perintah untuk terus menyentuh seluruh tubuh Shikha. "Mengapa aku tak boleh menyentuhmu seperti ini? Aku ini suami sah-Mu secara agama maupun negara,"kata Aksa, kenyataan itu benar adanya, meskipun Shikha berusaha keras membantahnya. "Bagian ini,"Aksa menyentuh kening Shikha. "Adalah milikku seorang,"katanya senang. "Bagian ini pula,"jemari telunjuk Aksa bergerak men
Carlos, pria berusia 23 tahun itu merupakan anak yatim piatu yang tinggal satu panti asuhan dengan Shikha, istrinya. Kedekatan mereka bermula, ketika Carlos yang tengah duduk sendiri di bangku taman dalam kondisi menangis, Shikha yang waktu itu telah selesai membuat cake coklat bersama ibu panti pun ikut duduk di samping Carlos. Shikha memberikan cake itu pada Carlos, anak perempuan yang sangat cantik, mata bulat hazel, hidungnya yang begitu mancung, serta pipinya yang bulat seperti kue bakpao itu terasa begitu menggemaskan dimata Carlos. Ia mulai menaruh hati pada Shikha, hingga usia mereka telah beranjak remaja, rasa yang muncul dari lubuk hati Carlos semakin membuncah, getaran serta sengatan yang berbeda saat Carlos berada di samping Shikha, semakin menggebu-gebu.Puncaknya, ketika usia Shikha genap 20 tahun. Carlos pikir itu usia yang tepat untuk melamar Shikha, waktu itu ia mengirim pesan pada Shikha untuk menemui dirinya di taman, taman yang dahulu menjadi tempat Shikha
Wanita itu duduk berpangku pada kedua kakinya yang ia tekuk, ingatan akan kejadian itu semakin menerbang tinggikan dirinya. Shikha menyentuh bibirnya, bibir yang sudah dilumat oleh Aksa, ia menepuknya secara perlahan, namun berulangkali. "Pria dingin itu telah merenggut sesuatu dariku, lihat saja. Jika ayah telah tiba, aku akan mengadukan hal gila Aksa kepada ayah,"gumam Shikha dengan tatapan lurus, namun Shikha menggeleng kuat beberapa saat, seakan teringat sesuatu. "Tidak! Jika ayah tahu, aku akan ditertawai olehnya. Bagaimanapun juga Aksa adalah suami sahku, jadi hal semacam itu sungguh wajar dilakukan bagi pasangan suami-istri seperti kami."kata Shikha seraya menghela nafas, yang telah terjadi hari ini, biaarlah berlalu. Shikha merogoh saku celananya, mencari alat penghubung komunikasi miliknya. Namun, hasilnya nihil, ia tak menemukannya. Ia berdiri, kemudian berusaha mengingat dimana ia meletakkan ponselnya itu. Shikha mengusap kasar wajahnya
Shikha masih membeku dengan mulut yang sedikit ternganga, antara percaya atau tidak yang jelas pria ini benar-benar suaminya, Aksa."Jika kau masih ingin membuka mulutmu seperti itu, aku pastikan akan ada binatang seperti serigala atau burung hantu yang akan tersedot olehmu,"segera saja Shikha tersadar oleh lelucon Aksa dan kembali memalingkan wajahnya."Mengapa mulutmu begitu lentur, jika sudah berurusan dengan yang namanya meledek seseorang?"Aksa mengedikkan bahu acuh, ia membuka pintu mobil milik Shikha kemudian menyeretnya keluar."Siapa yang memperbolehkanmu mengemudikan mobil dimalam hari? Lantas, ada urusan apa sehingga membuatmu melanggar aturan dariku."tanya Aksa runtut, ia menanti respon dari istrinya ini.Wanita itu menggigit bibirnya berdalih untuk menghilangkan rasa gugup, jemari mungil berhias cincin berlian itu meremat jaket berbulu domba dengan gusar, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia sungguh bingung harus mengatakan apa pada
Axell berjalan dengan meraba-raba untuk mencari saklar lampu, ia terhenti ketika tangannya seperti menyentuh sesuatu yang asing. Dengan segera ia mencari ponsel yang berada disaku celananya dan menyalakan flashlight mengarahkan tepat pada tangan kirinya. Alangkah terkejutnya dirinya, ketika apa yang ia sentuh adalah sehelai kain bernoda merah tergantung di atas langit-langit ruangan ini. Semua mata tertuju pada Axell dan kain merah itu, mereka semua masih bergelut dengan pikiran mereka tentang kain apa yang tergantung di atas mereka. Jujur, kain itu begitu tidak wajar, seperti sehelai kain putih yang berubah menjadi kain merah karena bercak darah. Axell mengarahkan flashlight nya lagi untuk menelusuri setiap inci ruangan itu, tangannya terhenti pada satu titik yang fokus pada satu sudut, yaitu ranjang. Terlihat jelas ada sebuah gundukan yang tertutup selimut tebal, mereka semua berusaha mendekat dengan langkah perlahan untuk berjaga-jaga, jika pria ta
Aksa bungkam seribu bahasa, lidahnya begitu getir ingin mengatakan hal yang sebenarnya terjadi pada Shikha. "Aku sudah mendapatkan sebuah kabar dari anak buahku, bahwa–"tiba-tiba saja Aksa menghentikan ucapannya begitu saja, Shikha semakin mendekat. Ia meneliti mimik wajah Aksa yang berubah. "Katakan,"ucap Shikha penuh harap. Aksa sungguh tak tega, memberikan berita ini kepada Shikha. Namun, ia juga tak ingin jika istrinya itu mendapat kabar dari orang lain. Dalam satu tarikan, dengan keyakinan dan segala resiko. Aksa melanjutkan kalimatnya yang tadinya sempat terjeda. "Clay, sahabatmu. Telah tiada,"jantung Shikha berdegup lebih cepat, aliran darahnya berdesir hebat. Kakinya tak mampu lagi berpijar, hingga membuat tubuhnya mencelos ke lantai. "Katakan, jika ini bagian dari leluconmu, Aksa."lirih Shikha, sedetik kemudian bulir putih bening jatuh kepipinya. Aksa bungkam, lidahnya keluh. Ia sungguh membenci wanita itu, tapi ia lebih
Seusai pemakaman Clay dilangsungkan, pagi itu juga Aksa membawa Shikha menuju sebuah tempat yang telah menjadi tujuannya datang. Dia harus bergerak cepat untuk menuntaskan kasus kematian Clay. Aksa segera mengemudikan CRV hitam miliknya menuju tempat tujuan. Shit! Jalanan di hadapannya macet total karena sedang ada perbaikan jalan. Menyebalkan! Dia bisa telat sekarang, pikirnya kesal. Pukul 9 pagi akhirnya mereka berdua tiba di tempat tujuan. Dia segera menemui anak buahnya di ruangan tempat biasa mereka berkumpul untuk menyusun strategi. Hanya Aksa dan anak buahnya'lah yang mengetahui tempat ini. Seluruh mata tertuju pada mereka berdua, wajah pias Shikha dengan mata sembabnya terlihat begitu miris, mereka yakin sekali. Shikha begitu terpukul atas kematian sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri, semasa kecil mereka selalu bermain bersama, banyak sekali kenangan yang mereka pahat begitu indah dalam memori mereka. "Dimana dia?"Tanya Aks
"Ayo kita pulang, Shikha. Aku sudah tak sabar ingin segera 'menyantap'mu. Upss ... Maksudku ingin segera menyantap masakanmu, untuk urusan pria bodoh ini kita bisa tunda hari ini."kata Aksa seraya merangkul bahu Shikha dan segera membawa wanita itu pergi dari ruangan ini."Jika kau berani menyentuhnya lebih jauh, maka kau akan menyesal, Aksa!"peringat Carlos dengan nada tinggi, namun Aksa sengaja menulikan pendengarannya."Aku akan pulang bersama Nona muda, terus awasi pria itu dan jangan sampai lolos dari pantauan kalian atau kalian semua akan menerima akibatnya."ucap Aksa dengan nada penekanan dan tentunya begitu dingin."Oh, ya. Jangan anggap pria polos itu tak berbahaya, dia begitu berbahaya maka berhati-hatilah kalian."peringat Aksa pada anak buahnya itu.Aksa membawa pergi Shikha dengan Mobil CRV hitam miliknya menuju rumah, namun langkah Shikha terhenti, Aksa yang menyadari itu lantas menoleh kebelakang untuk melihat apa yang ingin membuat langkah