Kalau kematian adalah satu-satunya alasan Lorenzo mau makan bubur, maka hari ini Kate datang membawa kemungkinan hidup.
Tangannya menggenggam mangkuk keramik hangat, aroma kaldu ayam perlahan menguap ke udara yang dingin. Lorong lantai tiga begitu sunyi, nyaris mistis—semua pelayan menghindari tempat ini seperti tempat kutukan. "Kau yakin ingin naik ke lantai tiga?" Suara Alric—tangan kanan Lorenzo, terdengar berat di belakangnya. "Lantai tiga bukan untuk siapa pun, Nona Bella. Bahkan saya tak pernah berani masuk ke sana tanpa izin." Kate menoleh, dengan senyum malas menggantung di bibirnya. "Bagus. Berarti aku yang pertama." "Tuan, sangat membencimu. kau bisa dibunuh olehnya." "Dan dia bisa mati kalau terus keras kepala dan egois." Kate mulai melangkah, memasuki lantai tiga. "Lagipula, siapa lagi yang rela merawat mafia sakit?" Tanpa menunggu jawaban, ia membuka pintu kayu besar itu. Lantai tiga menelannya dalam sekejap. Ruangan lantai tiga itu terasa aneh. Mewah, hangat, tapi penuh kehampaan. Ada sofa beludru di sisi lorong, rak buku tua berisi novel-novel klasik, dan lukisan-lukisan tua yang memandangi siapa pun yang lewat dengan tatapan murung. Seolah lantai ini pernah menjadi rumah, sebelum berubah jadi museum rahasia. Langkah Kate berhenti di ambang kamar paling ujung. Pintu kamarnya tak terkunci. Dan saat ia dorong—bau kayu tua dan antiseptik menyambut indra penciumannya. Lorenzo duduk membelakangi balkon. Kemejanya terbuka dan bahunya dibalut perban yang mulai tembus oleh darah. Rambutnya berantakan. Nafasnya berat. Namun, sorot matanya tetap tajam saat ia menoleh. "Aku suka suka mengulang dua kali, Bella!" Kate memutar bola mata. "Aku juga tak suka melihat orang keras kepala kelaparan seolah kau hanya memakan harga dirimu!!" "KELUAR ATAU MATI!" "Kalau kau bisa berjalan ke dapur sendiri, silahkan." Ia meletakkan bubur di meja kecil. "Tapi selama kau masih setengah zombie, duduk yang manis." Lorenzo diam. Tangannya mengepal. Kate menarik kursi ke samping ranjang dan mulai membuka kotak P3K. Tangannya sigap mengganti perban dengan gerakan cepat dan... terlatih. Lorenzo menatap tajam. "Kau belajar ini dari mana?" "Internet. Dan luka masa kecil." Kate menatap matanya sebentar. "Tenang. Belum saatnya kau mati." Setelah membalut luka dengan rapi, Kate mengambil sendok dan menyodorkannya ke mulut Lorenzo. Ia mengangkat alis. "Kau pikir aku bayi?" "Lebih seperti lansia yang sedang menunggu maut. buka mulutmu!" Lorenzo mendengus, tetapi menyerah di depan gadis itu. Sendok pertama masuk. Ia mengunyah dalam diam. Kate nyengir puas. "Tuh! tidak sesakit harga dirimu jatuh, kan?" Setelah bubur tinggal setengah, mata Kate melirik sekeliling kamar Lorenzo. Ada meja kecil di sudut ruangan. Di atasnya, sebuah bingkai foto mencuri perhatiannya. Ia berdiri perlahan dan mengambil foto itu. "Oh. My. God." Tawa meledak dari bibir Kate. Foto seorang bocah laki-laki berjas biru tua, memegang permen kapas pink besar dengan wajah polos—dan rambut keriting mengembang seperti awan badai. “INI. LORENZO MORELLI?” Kate hampir saja menjatuhkan foto itu karena tertawa terlalu keras. "Letakkan." Suara Lorenzo datar. Tapi nadanya—seperti mengancam. "Tunggu, ini terlalu lucu. Rambutmu keriting? Permen kapas? Astaga..." Kate masih tertawa, ia sangat puas dapat melihat sisi Lorenzo yang seperti ini. "Kau terlihat seperti versi imut dari Yakuza yang sedang liburan." Lorenzo berdiri. “Aku bilang, LETAKKAN!!" Tapi Kate mundur pelan, masih menggoda. "Aku harus foto ini untuk kenang-kenangan. Dimana kau sembunyikan ponselku?" Dalam satu gerakan cepat, Lorenzo merebut foto dari tangannya. Sekaligus menarik Kate hingga tubuhnya terdorong ke kasur di belakang mereka. Kate terbaring. Dan sebelum sempat bangkit—Lorenzo menindihnya. Tangannya menahan kedua pergelangan Kate di atas kepala. Napasnya membakar udara di antara mereka. Tatapannya... liar. "Menurutmu..." bisiknya pelan, "...darahku yang menetes untuk menyelamatkanmu itu... mau kau bayar menggunakan apa?" Kate menahan napas. Wajahnya memanas, dan jantungnya berdetak terlalu cepat untuk dikendalikan. "Jangan bilang... aku harus menciummu?" Lorenzo menunduk. Bibirnya nyaris menyentuh milik Kate. Senyumnya menggoda dan napasnya berat menerpa wajah Kate perlahan. "Kalau kau mau menciumnya..." bisiknya, "kau harus meminta!" Kate menoleh cepat ke samping. "Cuih! Dalam mimpimu!" Lorenzo membeku. Lalu tertawa sinis dan berbahaya. Suara ketukan keras menghantam pintu. Membuyarkan kegiatan mereka berdua. Lorenzo refleks bangkit, dan Kate buru-buru duduk, merapikan anak rambut dan napasnya. Alric berdiri di luar. Matanya serius dan tangannya memegang sesuatu. "Tuan... ini ditemukan di ruang teknisi CCTV gedung pesta. Di bawah laci monitor." Lorenzo mengambilnya. Saputangan putih, bersih, dan halus. Dengan bordiran kecil berwarna emas. "RAVEN" Kate membeku. Matanya membulat. Itu… Persis seperti saputangan yang ia temukan di pesta kemarin. Alric menatap mereka berdua. "Tak ada satu pun dari staf kami yang mengaku memilikinya." Lorenzo terdiam menatap Kate dalam. Dan untuk pertama kalinya... kehangatan yang sejak tadi mengisi kamar itu perlahan memudar menjadi sesuatu yang jauh lebih dingin.Rumah Lorenzo terasa dingin, bukan karena pendingin ruangan, melainkan karena atmosfernya yang memang senyap dan minim kehangatan. Hunian itu mencerminkan sosok pemiliknya. Mewah, elegan, dan sedikit mengintimidasi jika diamati terlalu lama. Seperti rumah-rumah dalam film detektif yang selalu menyimpan lorong rahasia di balik rak buku klasik.Kate duduk bersila di sofa ruang tamu, mengeringkan rambut yang masih setengah basah dengan handuk putih. Televisi menayangkan acara realitas yang penuh drama—lebih dramatis dari kehidupannya sendiri, menurutnya. Rambutnya menguar aroma sampo hotel. Produk gratisan, memang, namun entah mengapa wanginya menyerupai taman bunga yang hanya tumbuh di surga.Di ujung ruangan, Lorenzo berdiri dengan ponsel di tangannya, berbicara dengan suara yang sangat serius.“Iya. Tingkatkan pengamanan di gerbang belakang. Suruh Alric periksa ulang rekaman CCTV,” katanya tanpa nada basa-basi.Nada bicaranya seperti perintah militer. Siapa pun yang mendengarnya mungk
Pagi datang dengan malu-malu. Sinar matahari menyelinap pelan di balik tirai tebal kamar hotel, membentuk garis tipis keemasan di lantai. Di ranjang, Kate membuka mata dengan pelan, nyaris ragu apakah dirinya masih berada di dunia nyata.Ia menoleh—dan hampir menjerit.Lorenzo.Tidur. Di sebelahnya.Dan bahkan dari jarak sedekat ini pun, rahangnya masih terlihat tajam seperti niat buruk."Aku masih hidup? Ini bukan mimpi?” bisiknya sendiri. “Astaga, ini beneran Lorenzo?"Ia refleks menarik selimut, lalu mengintip wajah pria itu. Tenang. Nyaris damai. Sangat bertolak belakang dengan citra mafia dingin yang biasa ia kenal. Dan entah kenapa... ada getaran kecil di dada Kate.Sampai akhirnya, Lorenzo membuka mata.Dan dalam sepersekian detik, damai itu lenyap. Digantikan dengan atmosfer dingin seperti AC hotel yang disetel maksimal.“Kau sudah bangun,” katanya singkat, lalu bangkit dari tempat tidur seolah malam tadi tak berarti apa-apa.Kate melongo. “...Itu saja?”“Apa lagi?”"Setelah s
Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar
Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p
Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men
Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan