Share

Cermin Retak

Author: Leaa Lee
last update Last Updated: 2025-07-11 08:23:52

Sisa aroma mesiu masih samar tercium di udara.

Ballroom yang tadi malam dipenuhi gelas kristal dan gaun-gaun mewah, kini hanya menyisakan kekosongan... dan sedikit jejak kekacauan.

Di lantai tiga rumahnya, dalam kamar bernuansa gelap yang lebih mirip ruang interogasi ketimbang ruang tidur, Kate duduk di kursi kulit. Tubuhnya tegak, tapi sorot matanya siaga.

Di hadapannya, Lorenzo berdiri diam. Tatapannya tajam, tapi bukan kemarahan—lebih seperti seseorang yang mencoba mencocokkan potongan puzzle yang tak masuk akal.

Lelaki itu membuka map hitam tanpa banyak bicara, lalu menarik sehelai saputangan dan meletakkannya di atas meja.

Saputangan putih. Bersih.

Dan di salah satu ujungnya... terbordir satu tulisan asing.

"RAVEN."

“Ini ditemukan di ruang pengawasan. Lima meter dari ballroom. Beberapa saat insiden penembakan terjadi,” suaranya dalam, dingin. “Dan kau... satu-satunya orang yang tidak sibuk melarikan diri.”

Kate menegang.

"Aku... aku tak tahu ada tentang ruang cctv itu, apalagi masuk ke dalamnya!" katanya cepat. “Aku mencarimu, dan bersembunyi di bawah meja makan bundar saat penembakan terjadi. Aku panik!”

Lorenzo menyipitkan mata. “Aneh ya... setiap kekacauan besar terjadi, kau selalu selamat. Tanpa goresan. Seperti kau tahu sebelumnya apa yang akan terjadi.”

Kate menatapnya tajam. “Kau pikir aku pelakunya?”

Lorenzo tidak menjawab. Ia melipat tangannya di dada. Wajahnya keras seperti patung batu di makam tua.

“Aku datang ke pelelangan itu untuk satu alasan,” katanya. “Mencari siapa dalang di balik kematian ayahku. Tapi yang kutemukan justru jejak seseorang. Seseorang yang memakai saputangan ini. Seseorang yang tahu cara menghilangkan rekaman CCTV. Meskipun pengaruh ku lebih besar.”

Kate membeku. “CCTV-nya dihapus?”

Lorenzo mengangguk pelan. “Hanya footage satu ruangan yang hilang. Ballroom. Sisanya utuh. Dan saputangan ini... diletakkan di keyboard utama. Seolah pelaku ingin aku menemukannya.”

“Jadi kau pikir... aku sengaja menjebak diriku sendiri?”

“Aku pikir, terlalu banyak kebetulan... untuk seorang perempuan yang bahkan mengaku bukan siapa-siapa.”

Kate berdiri. Suaranya bergetar. “Kebetulan? Apa aku juga kebetulan berada di mansionmu? Kebetulan wajahku mirip tunangan lamamu yang kabur? Kebetulan semua orang di rumah ini memperlakukanku seperti musuh?”

“Kebetulan,” Lorenzo menukas cepat, “adalah alasan klasik dari orang yang menyembunyikan sesuatu.”

Kate menelan ludah. “Aku tak tahu kenapa wajahku mirip dia. Aku bahkan tidak tahu kenapa semua ini terjadi. Tapi aku tahu satu hal... aku bukan Bella.”

Lorenzo berjalan mendekat. Sorot matanya bukan kemarahan biasa—itu adalah luka masa lalu yang terbuka lagi, dan lagi.

“Tapi wajahmu... wajahmu menghidupkan trauma yang belum sempat dikubur.”

Ia mengangkat foto dari dalam map yang sama—foto seorang perempuan di ballroom yang sama, duduk di samping pria tua dengan tatapan tajam.

Kate terdiam. Dunia seakan runtuh di bawah kakinya.

“Itu...” bisiknya. "T-terlihat persis seperti ibuku."

“Dan itu yang membuat semuanya lebih mengerikan,” kata Lorenzo pelan. “Kalau kau bukan Bella... tapi ibumu pernah ada di tempat yang sama lima tahun lalu... maka berarti semuanya bukan tentangmu saja. Ini lebih dalam dari yang kita kira.”

Kate merasa terhempas. Udara di ruangan itu berubah menjadi es. Kepalanya penuh tanya—apakah ibunya bagian dari semua ini? Apakah ibunya dulu... juga pelarian?

Lorenzo membalik badan, menatap ke jendela besar yang menghadap ballroom. Di bawah sana, pasukan keamanan membersihkan kekacauan yang tersisa. Tapi ketertiban tak akan pernah bisa menghapus kecurigaan.

“Kau pikir aku tak ingin percaya?” katanya tanpa menoleh. “Tiap malam aku berharap kau bukan Bella. Tapi tiap kali aku mulai ragu... sesuatu seperti ini terjadi, ledakan, penembakan, rekaman hilang, radio asing yang terputar di mobil. Dan kau... selalu ada di tengahnya.”

Kate menggertakkan gigi. “Lalu apa? Kau mau aku mati saja?”

Lorenzo menoleh. Wajahnya tajam seperti belati.

“365 hari.” Suaranya nyaris tak terdengar tapi menghantam dada Kate seperti palu godam. “Itu janjimu. Kau bilang... aku memberimu waktu satu tahun untuk membuktikan siapa kau, Bella.”

Kate membalas tatapannya. “Ya! Dan aku akan buktikan.”

“Bagus,” jawabnya singkat. “Karena satu kesalahan lagi... kau tidak akan sempat menyelesaikan harimu yang ke-30.”

Kate berbalik. Ia ingin melangkah keluar. Tapi sebelum tangannya menyentuh gagang pintu...

“Bella.”

Langkahnya terhenti.

Lorenzo menatap punggungnya. “Kalau ternyata semua ini... sudah dimulai jauh sebelum kau lahir, apa kau siap mendengar kebenarannya?”

Kate tak menoleh. Tapi suara hatinya berkata, tidak. Tapi ia tetap menjawab, “Kalau aku tidak siap... aku tidak akan berada di sini.”

Dan saat ia menutup pintu, saputangan putih bernama Raven itu tergolek di meja...

Dan entah dari mana, setetes darah jatuh tepat di atas ukiran benang emasnya.

"Apa hubungan ibunya Bella dengan masa laluku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Terpaksa Nginep

    Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Tuan Mafia vs Drama Queen

    Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Dinner Penuh Bara

    Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Catatan Hitam

    Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Ruang Rahasia

    Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

    Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status