Tirai hitam menjuntai lemas di depannya. Bukan hanya pembatas antara dirinya dan kerumunan penuh dosa—malam itu, tirai itu menjadi pemisah terakhir antara martabat... dan kehancuran.
Kate berdiri kaku. Tangannya terikat, gaun gading menempel ketat di tubuhnya. Jantungnya menggedor tulang rusuk seperti palu perang. Parfum mahal, alkohol, dan hawa pengap bercampur dalam udara. Dunia di balik tirai itu menantinya. Dunia yang haus. Dunia yang tidak melihatnya sebagai manusia... hanya sebagai hadiah. "Para tamu terhormat..." Suara pria tua beraksen Eropa menggema dari pengeras suara. Lembut. Berkelas. Tapi busuk. "...malam ini, kita membuka sesi spesial untuk kolektor paling loyal." Tawa pelan terdengar—tawa para predator. "Lot Nomor 01, Nona Bella. Muda, liar, dan belum disentuh. Harga pembuka, satu juta dolar." Suara palu diketuk. Tirai mulai terangkat. Cahaya sorot menyapu tubuh Kate. Dia membeku. Pandangan penuh nafsu dan tatapan menjijikan itu mengarah ke tubuhnya. Gaun itu terlalu tipis. Terlalu pas untuk seseorang jual diri. "Tujuh ratus!" seru seseorang. "Sejuta!" "Tiga juta! Untuk malam pertama dan ciumannya!" pria itu tertawa, sangat puas dengan penawaran yang sebanding dengan uangnya. Kate memejamkan mata, kakinya lemas. Namun, pingsan hanya akan membuatnya lebih cepat dimangsa. "Lima juta." Semua diam. Suara itu tenang. Dalam. Beracun. Seperti bisikan maut yang membungkam semua penawar. Kate membuka mata perlahan. Dia tahu suara itu. Lorenzo. Pria itu tidak menawar. Dia memutuskan. MC bergumam gugup. "L-Lima juta... Ada penawar lain?" Hening. Raut ketakutan mereka tunjukan di hadapan Lorenzo. "Terjual." Seorang pria besar melangkah ke arah Kate. Tapi sebelum menyentuhnya— "Sentuh dia, maka kau akan kehilangan tanganmu." Langkah pria itu terhenti. Lorenzo naik ke panggung, langkahnya tenang, mematikan. Matanya hanya tertuju pada satu orang yaitu Kate. "Permainanmu keparat," desis Kate. "Kau pikir ini lucu?" "Tidak lucu. Tapi perlu." Ia menyelimuti tubuh Kate dengan mantelnya. Meskipun udara disekitanya dingin dan gelap dengan sorot lampu pesta entah mengapa Lorenzo ingin melindunginya. Lalu ia berbisik, "Lihat sekeliling, Bella. Tak satu pun pria di ruangan ini berani menyentuhmu. Karena mereka tahu... kau milikku." Dan seisi ruangan percaya itu. Sampai— BRAK! Lampu gantung kristal jatuh, menghujani ruangan dengan serpihan kaca. DORR! DOR! DOR! Suara jeritan dan tembakan, pecah. Membuat seisi ruangan itu panik dan berhamburan untuk menyelamatkan diri mereka.. Lorenzo menarik Kate ke belakang tiang. "BERPENCAR! Lindungi dia!" Asap menyelimuti ruangan. Granat dilempar. Pasukan bertopeng menyerbu. Kate terpisah dari Lorenzo. Ia berlari mencari Lorenzo. Suasana di sekitarnya sangat mengerikan, ia takut jika Lorenzo tak berada di sampingnya. "LORENZO!" Tak ada jawaban. Hanya tembakan dan teriakan. Kate berlari ke arah balkon atas tempat yang lebih aman daripada kerumunan kekacauan itu. Ia berniat mencari Lorenzo. Di balkon atas—sapu tangan putih. Dengan simbol yang ia kenal. Deg. "Raven," bisiknya. Simbol itu sama dengan ukiran di liontin ibunya. Kenapa bisa ada di sini? Peluru menyalak. DORRR! Tubuh besar menghalangi tubuhnya. Lorenzo. "ISABELLA! APA KAU GILA?!" Darah mengalir deras dari lengan Lorenzo, Kate melihat aliran darah itu tertegun. "AKU SEDANG MENCARIMU! KENAPA TAK BIARKAN AKU MATI?!" "DIAM! KAU TAK BISA MATI!" "Aku menemukan ini! Raven! Mungkin dia tahu siapa aku—" "BERHENTI CARI MASALAH!" Lorenzo menarik lengan Kate untuk menyuruhnya tetap berlari. Melewati lorong, dan kaca-kaca yang pecah. Peluru yang mengejarnya dari belakang membuat Kate dan Lorenzo dalam bahaya. Lorenzo menarik Kate saat peluru hampir menyayat pipinya. "Kita akan mati," isak Kate. "Selama kau bersamaku, kau tidak akan mati. Tapi tutup mulutmu dan terus berlari!" Hujan turun tipis. Rolls-Royce hitam menunggu di luar. Mereka berdua memasuki mobil itu, lalu pintunya tertutup otomatis. Dan mobil melaju kencang. Kate duduk berseberangan dengan Lorenzo. Merobek gaunnya, dan membalut luka Lorenzo. "Berhenti bergerak. Kau semakin parah." "Bukan masalah," jawab Lorenzo, menatapnya dalam. "Bella... Kau berubah." "Apa maksudmu?" "Sikapmu. Tatapanmu. Bahkan caramu mengobati luka. Sejak kapan kau sepengecut ini, Bella?" Kate terkesiap. Tangannya berhenti. "Sejak kapan kau suka menyebutku dengan nama lengkapku?" lirihnya. Sebelum Kate menjawab— Klik. Radio dashboard menyala. Suara berat memenuhi udara. "Raven tahu siapa dia sebenarnya... dan waktunya hampir habis." Kate dan Lorenzo saling beradu pandang, suara asing itu seolah tau keberadaan mereka berdua.Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar
Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p
Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men
Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan
Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men
Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu