Share

Melarikan Diri

Author: Leaa Lee
last update Last Updated: 2025-06-11 19:39:20

Langit-langit kristal bergemerlap, tirai beludru merah menjuntai angkuh, dan ranjang raksasa berkanopi emas berdiri megah di tengah ruangan. Namun bagi Kate, semua itu adalah topeng kematian. Tempat ini bukan tempat tinggal. Ini sangkar emas.

Langkah dua pria kekar menyeretnya masuk. Kate tersandung ke dalam ruangan yang terlalu sunyi untuk disebut aman. Aroma parfum maskulin samar mengambang, bercampur dengan antiseptik mahal.

Di sudut ruangan, seorang perempuan muda berdiri diam. Wajahnya pucat, tubuhnya tegak seperti patung. Mata coklatnya menatap Kate... bukan sebagai pelayan biasa. Terasa seperti pengamat yang disediakan Lorenzo.

"Selamat datang, Nona Bella," ucapnya datar.

Nama itu lagi.

"Jangan panggil aku begitu," desis Kate. "Aku bukan Bella. Namaku Kate."

Perempuan itu menunduk. Tapi Kate melihat sekilas, rahangnya menegang. Ada yang ia tahan sejak tadi. Entah emosi, ataupun kebenaran.

Ketika pintu tertutup dengan bunyi dentum pelan, Kate merasa sendirian. Tapi ia tahu ia tak benar-benar sendiri. Dinding kamar itu menyimpan mata-mata tak terlihat. Ia melirik ke sekeliling, menyentuh dinding dan menyisir tiap sudut.

Tangannya berhenti di balik lukisan besar di pojok ruangan. Sebuah tonjolan kecil di bawah pigura... terlalu mencurigakan untuk disebut dekorasi.

"Kamera," gumamnya. "Tentu saja."

Ketukan pintu membuatnya melompat. Pelayan tadi, masuk membawa nampan berisi sup panas dan roti. Wajahnya tetap datar, tapi bola matanya menolak bertemu dengan mata Kate.

"Namamu?" tanya Kate cepat.

"Ana," jawabnya pelan.

"Duduklah. Temani aku makan."

Ana ragu. Saat Kate menarik tangan gadis itu untuk duduk, tubuh Ana sedikit bergetar. Tapi lebih mengejutkan, matanya sekilas berubah—dingin. Seperti... bukan milik pelayan.

Kate memasang senyum tipis. "Aku hanya ingin mengobrol. Bukan memakanmu kok

."

"Maaf, Nona. Saya diperintahkan untuk tidak berbicara banyak."

"Siapa yang perintahkan? Lorenzo?"

Ana tak menjawab. Tapi saat menaruh sendok, jari-jarinya tremor.

"Ana, bolehkah aku melihat taman? Sebentar saja. Kau bisa menemaniku."

Ana menggeleng cepat, lalu melirik... ke arah lukisan besar di sudut ruangan.

"Tuan melarang. Kecuali..."

"Kecuali apa?"

Ana menunduk. "Kecuali diperintahkan langsung. Dan dia tak suka perempuan keluar malam. Apalagi... Bella."

"Bukan Bella. Aku Kate!" tegas Kate.

Ana tak menjawab, hanya berdiri dan membungkuk sebelum meninggalkan kamar. Tapi sebelum pintu tertutup, Kate melihat sorot matanya berubah. Bukan patuh. Tapi... iba?

***

Malam turun seperti kabut pekat. Kate duduk di ranjang, memandangi Ana yang berbaring di sofa kecil dekat jendela. Tubuhnya terlalu kaku untuk ukuran orang yang tertidur. Dan posisinya... selalu menghadap lukisan.

"Kau sedang mengawasi atau diawasi?" bisik Kate.

Kate menyelipkan sendok perak di balik selimut. Tapi bukan itu senjatanya malam ini. Sejak sore, ia sudah menyembunyikan pinset logam kecil dari kotak perhiasan. Ia merayap ke sisi pintu.

Sistem kunci digital. Tak serumit yang ia kira. Ia buka panel kecil di samping, menggunakan pinset.

Klik.

Pintu terbuka. Sunyi menyambutnya. Lorong panjang yang dingin dan sepi menyebarkan hawa tak ramah. Kate menahan napas dan keluar, selangkah demi selangkah.

Tiba-tiba—

Suara sayup terdengar dari lantai bawah. Seperti terisak. Suara anak kecil?

Ia menuruni anak tangga perlahan, mengikuti suara itu. Lorong gelap mengantar ke sebuah pintu baja yang sedikit terbuka. Kate menahan napas dan mengintip.

Ruang bawah tanah yang menyeramkan. Bau logam, lembap, dan darah memenuhi udara. Di tengah ruangan berdiri Lorenzo dengan jas hitam kesukaannya dan sarung tangan kulit. Di hadapannya, seorang pria bertubuh besar terikat dan bersimpuh. Mulutnya sobek, dan darah menetes deras.

Di sudut ruangan, tiga anak kecil menggigil, baju terlihat robek, dan mata sembab.

"Kau jual mereka," suara Lorenzo pelan. "Ke pengepul organ?"

"Saya... hanya perantara... Boss saya—"

DOR!

Suara tembakan yang memekakkan telinga, memenuhi ruang bawah tanah itu. Darah mengalir deras mengotori dinding dan lantai. Pria itu tumbang, dan tak bernyawa.

Kate menggigit bibirnya sendiri agar tak menjerit. Tangannya menutupi mulut. Matanya tak bisa berpaling.

Lorenzo mendekat ke anak-anak. "Kalian aman sekarang. Tak ada yang akan menyentuh kalian lagi."

Kate membeku. Ia bertanya tanya, Siapa pria ini? Monster atau pelindung?

Langkah Lorenzo perlahan mendekat... menuju pintu tempat Kate mengintip.

"Apa dia tahu aku di sini?!"

Namun, suara berat menyergap dari belakang.

"Got you!"

Tangan kekar mencengkram bahunya kuat. Kate mencoba melawan dan menyikutnya. Namun, pria itu terlalu besar dan kuat. Dia diseret kembali ke atas, tubuhnya berontak sekuat tenaga.

Ana berdiri di ujung lorong. Diam. Matanya menatap Kate. Dan sorot mata kewaspadaan itu, tertuju pada Kate.

Kate tahu.

Tak ada yang netral di rumah ini. Bahkan pelayan pun... mungkin bukan sekutu.

Dan Lorenzo?

Kini berdiri di atas tangga, menatap Kate seperti pemilik panggung yang kecewa pada bonekanya.

"Bawa dia ke ruang bawah tanah," ucapnya. "Kali ini, dia akan belajar artinya takut.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Terpaksa Nginep

    Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Tuan Mafia vs Drama Queen

    Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Dinner Penuh Bara

    Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Catatan Hitam

    Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Ruang Rahasia

    Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

    Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status