Cermin itu memantulkan sosok yang ia kenal—dan tak kenal. Dirinya masih Kate. Tapi malam ini, ia dipajang seperti barang antik di etalase rumah lelang bawah tanah.
Gaun itu bukan sekadar pakaian. Ia seperti kutukan yang membalut tubuhnya erat. Merah darah. Belahan dada dalam nyaris menyentuh pusarnya. Punggung terbuka, dan belahan samping memperlihatkan pahanya. Satinnya meliuk seperti ular yang ingin membunuh mangsanya pelan-pelan. Gaun ini tidak dibuat untuk membuat wanita merasa cantik. Ia dibuat untuk mempermalukan wanita, seolah wanita bukan ia manusia. Kate memegangi sisi pinggangnya yang sedikit terbuka. Nafasnya tak beraturan. Ruangan ini dingin, tapi bukan karena suhu. Pintu terbuka. Tanpa ketukan. Aroma maskulin yang tajam merayap lebih dulu, sebelum suara langkah berat itu menggema. Lorenzo masuk—tanpa izin, tanpa rasa bersalah. Matanya menyapu tubuh Kate seperti seorang pemburu menilai hewan buruannya. Tenang, licik, dan mematikan. Kate tak bergerak. Tapi sorot matanya membara. Lorenzo mendekat. “Kau terlihat seperti Bella…” gumamnya. “Tapi lebih keras kepala dan terlalu liar.” Tangan Lorenzo terangkat, jemarinya hampir menyentuh garis rahang Kate perlahan. Ia hanya ingin melihat… seberapa jauh Kate akan melawan. Kate menepis tangan itu sebelum menyentuh kulitnya. “Menyentuhku, maka kutendang wajahmu.” Lorenzo berhenti. Diam sejenak. Lalu tertawa kecil. “Aku tak akan menyentuhmu kalau kau tak mengizinkan,” katanya lembut. Tapi nadanya berubah. Lebih rendah dan dingin. “Namun jika kau terus menentangku…” Jemarinya kini mencengkram lengannya. Tidak keras, tapi cukup untuk menyampaikan satu pesan bahwa Kate adalah bonekanya. “...aku akan buat pengecualian.” Kate menahan napas, ia menatap Lorenzo tajam. Mata mereka terkunci, dan dalam sepersekian detik, Lorenzo menarik tangannya kembali. Seolah baru sadar dirinya hampir kehilangan kendali. Ia membalikkan badan. “Senyumlah,” katanya sambil melangkah ke luar. “Para monster menyukai mainan yang tampak kuat… sebelum dihancurkan.” *** Mobil Maybach hitam meluncur seperti hantu di malam hari. Di dalamnya, Kate duduk diam. Tangannya di pangkuan. Rahangnya mengeras setiap kali Lorenzo meliriknya. “Apa kau tahu,” Lorenzo bersuara pelan, “dulu Bella selalu menangis sebelum pesta. Kau tidak. Itu membingungkan… tapi menarik.” Kate mendesis. “Mungkin karena aku bukan dia.” “Dan mungkin karena aku ingin kau tetap begitu.” Tatapan Lorenzo menusuk. “Tapi jangan berani coba kabur lagi. Kau tak akan suka tempatku menyembunyikan perempuan yang menolak takdirnya.” Kate menatap ke jendela. “Aku bukan milikmu.” Lorenzo mencondongkan tubuh. “Bukan milikku, ya. Tapi milik seseorang. Kau terlalu berharga untuk bebas.” Kalimat itu menggantung, seperti belati yang mengancam jatuh. Menusuk relung hati Kate. *** Mansion bergaya Victoria menyambut mereka dengan kemewahan klasik yang menyakitkan mata. Pilar marmer, dengan lampu gantung kristal, dan musik klasik mengalun pelan. Kate berjalan di samping Lorenzo. Setiap langkahnya seperti direntangkan dengan rasa jijik. Para tamu bertopeng memutar menoleh ke arah Kate mengamati setiap langkah Kate. Tepuk tangan menyambut saat ia memasuki ruangan utama. Tapi ini bukan tepuk tangan penghargaan. Ini adalah penanda, barang utama sudah datang. Lorenzo menggenggam sikunya, kuat. Tatapannya tidak berubah, tapi Kate merasakan sesuatu, bahwa Lorenzo sedang waspada. Ia mengikuti arah tatapan Lorenzo. Di balkon atas, seorang pria bertopeng berdiri. Ia tidak bertepuk tangan. Tidak juga bicara. Tapi tangannya menyentuh alat kecil di telinganya. “Target sudah masuk. Rencana kedua dimulai.” Kate tak bisa mendengar suara itu, tubuhnya mulai merinding dan bahunya menegang. Dan saat ia menoleh ke Lorenzo, pria itu masih menatap balkon dengan tenang, namun siap menyergap. Kate bergumam lirih, “Ada yang salah?” Lorenzo tidak menjawab. Tapi matanya dingin, dan senyumannya menghilang. “Senang, kan?” bisiknya kemudian. “Akhirnya kau kembali ke tempat yang pantas, Bella.” Bella. Lagi-lagi nama itu. Kate ingin berteriak. “AKU BUKAN DIA!” Tapi suaranya mengendap, terkunci di tenggorokan.Rumah Lorenzo terasa dingin, bukan karena pendingin ruangan, melainkan karena atmosfernya yang memang senyap dan minim kehangatan. Hunian itu mencerminkan sosok pemiliknya. Mewah, elegan, dan sedikit mengintimidasi jika diamati terlalu lama. Seperti rumah-rumah dalam film detektif yang selalu menyimpan lorong rahasia di balik rak buku klasik.Kate duduk bersila di sofa ruang tamu, mengeringkan rambut yang masih setengah basah dengan handuk putih. Televisi menayangkan acara realitas yang penuh drama—lebih dramatis dari kehidupannya sendiri, menurutnya. Rambutnya menguar aroma sampo hotel. Produk gratisan, memang, namun entah mengapa wanginya menyerupai taman bunga yang hanya tumbuh di surga.Di ujung ruangan, Lorenzo berdiri dengan ponsel di tangannya, berbicara dengan suara yang sangat serius.“Iya. Tingkatkan pengamanan di gerbang belakang. Suruh Alric periksa ulang rekaman CCTV,” katanya tanpa nada basa-basi.Nada bicaranya seperti perintah militer. Siapa pun yang mendengarnya mungk
Pagi datang dengan malu-malu. Sinar matahari menyelinap pelan di balik tirai tebal kamar hotel, membentuk garis tipis keemasan di lantai. Di ranjang, Kate membuka mata dengan pelan, nyaris ragu apakah dirinya masih berada di dunia nyata.Ia menoleh—dan hampir menjerit.Lorenzo.Tidur. Di sebelahnya.Dan bahkan dari jarak sedekat ini pun, rahangnya masih terlihat tajam seperti niat buruk."Aku masih hidup? Ini bukan mimpi?” bisiknya sendiri. “Astaga, ini beneran Lorenzo?"Ia refleks menarik selimut, lalu mengintip wajah pria itu. Tenang. Nyaris damai. Sangat bertolak belakang dengan citra mafia dingin yang biasa ia kenal. Dan entah kenapa... ada getaran kecil di dada Kate.Sampai akhirnya, Lorenzo membuka mata.Dan dalam sepersekian detik, damai itu lenyap. Digantikan dengan atmosfer dingin seperti AC hotel yang disetel maksimal.“Kau sudah bangun,” katanya singkat, lalu bangkit dari tempat tidur seolah malam tadi tak berarti apa-apa.Kate melongo. “...Itu saja?”“Apa lagi?”"Setelah s
Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar
Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p
Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men
Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan