Jam berdetak, nyaring di antara keheningan ruangan klasik itu. Lampu gantung keemasan memantul di dinding tua yang penuh lukisan usang. Aroma kayu tua, debu, dan parfum maskulin samar mengambang di udara. Megah, namun menciptakan tekanan yang menyesakkan dada.
Di tengah ruangan, Lorenzo duduk di kursi kulit coklat gelap—tegak, dingin, nyaris tanpa ekspresi. Jasnya hitam sempurna, dasi terikat rapi, namun tangan kirinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi, seperti menahan amarah yang mendidih dari dalam. Sorot matanya bukan hanya tajam—namun juga menuntut. Menilai dan menghakimi. Beberapa meter di depannya, Katherina Alessia Valente terikat kaku di kursi kayu. Rambut panjangnya kusut, wajahnya tampak memar, dan napasnya masih terengah. Ia mencoba menarik napas pelan-pelan, mengatur detak jantung yang menghantam dari dalam dadanya. Tapi semuanya sia-sia. Ia tahu… pria di depannya bukan orang biasa. Matanya menangkap sorot abu-abu dingin itu—dan darahnya berdesir. “Lepaskan aku sekarang juga!” teriaknya. “Aku tak tahu siapa kau, dan tempat sialan ini!” Lorenzo mengangkat satu alis. “Ah… jadi sekarang kamu pura-pura tak mengenalku?” Suara itu—berat, tenang, dan mematikan. Bagaikan bisikan maut yang dibungkus jas Armani. Wajahnya tetap datar, namun aura yang memancar darinya nyaris membuat ruangan itu menciut. Kate menggertakkan gigi. “Kau gila. Aku bahkan tak tahu siapa kau!” Lorenzo menyilangkan kaki, tersenyum tipis seperti ejekan. “Sudah lima tahun, Bella. Tapi aktingmu tetap hebat.” Kate mencelos. “Aku bukan Bella!” “Nama bisa diganti,” katanya sembari berdiri. “Rambut bisa dipotong. Gaya bicara bisa diatur ulang. Tapi mata…” Ia melangkah perlahan, lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Kate. “Mata tak bisa menipu.” Kate menatap Lorenzo, tegas. “Aku Katherina Alessia! Aku bukan perempuan yang kau cari!” Lorenzo mencondongkan tubuhnya, wajahnya hanya sejengkal. Napasnya menyentuh pipi Kate—hangat, namun mengancam. “Kau bahkan lebih bagus dalam berbohong sekarang.” “Aku tidak bohong!” bentaknya, matanya menyala. BRAK! Vas kecil di meja mendadak terlempar, pecah menghantam lantai di dekat kakinya. Pecahannya melesat seperti ancaman yang tak sudi menyentuh kulit. Kate memekik pelan, tapi tetap menatap Lorenzo tajam. “Kau pikir aku takut?!” Lorenzo tak menjawab. Ia berjalan ke meja kecil, dan dengan sengaja mengambil pisau pemotong cerutu. Ia memainkannya di jari. “Ketakutanmu… bahkan lebih indah dari yang aku bayangkan.” Kate menelan ludah. Tapi ia tak ingin mundur. “Kalau kau suka bermain-main dengan senjata, kenapa tidak sekalian saja potong kepalamu sendiri?” Untuk sesaat, Lorenzo tertawa kecil. Tawa pendek yang lebih menyeramkan daripada kemarahan. “Aku suka nyalimu,” katanya pelan. “Sayang, itu tak akan menyelamatkanmu.” Ia meletakkan pisau di meja. Lalu mengambil satu map hitam dan menjatuhkannya di depan kaki Kate. Tumpukan foto, dokumen, dan potongan bukti berserakan. Foto wajah Kate, tangkapan CCTV, dan surat sekolah—semua tertulis atas nama "Katherina Alessia". Kate membelalak. “Kau… menguntitku?” “Setiap langkahmu,” ucapnya datar. “Setiap tempat yang kau pikir aman.” Kate memalingkan wajah, seolah ingin muntah. “Kau menjijikkan.” Lorenzo menyipitkan mata. “Sayangnya... Isabella juga suka menyamar seperti itu.” Kate tertegun. Sebait memori kilat menyambar di benaknya—seorang wanita berdarah di lantai marmer… teriakan… dan liontin yang jatuh. Tapi ia mengusirnya cepat-cepat. “Aku. Bukan. Bella,” desisnya. Lorenzo mulai menggulung lengan bajunya. Ia membuka satu kancing, lalu memperlihatkan luka tembak di sisi perutnya. “Ini,” bisiknya seperti racun, “hadiah darimu. Malam itu. Tepat sebelum kau kabur seperti pengecut.” Kate terdiam. Wajahnya pucat. “Aku tak tahu apa-apa soal malam itu,” bisiknya, terdengar rapuh tapi bukan menyerah. “Dan aku bahkan… tidak tahu siapa dirimu.” Lorenzo mendekat lagi. Cahaya lampu gantung memantul di matanya yang kelam. “Bukan soal siapa aku,” katanya, “tapi siapa kamu.” Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah liontin kecil tergantung di antara jemarinya—perak tua dengan simbol khas. Kate mengenali benda itu. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Kalung itu. Peninggalan terakhir dari kedua orang tuanya. “Kalung ini…” bisik Lorenzo pelan, “ditemukan di lokasi kematian ayahku.” Kate nyaris tak bisa bernapas. “Bagaimana bisa... itu milikku...” suaranya tenggelam. Lorenzo tak berhenti menatapnya. “365 hari,” katanya dingin. “Untuk membuktikan kau bukan dia. Atau…” Ia menunduk, begitu dekat seolah akan mencium Kate… namun suaranya justru makin menggelap. “…aku akan membunuhmu.” Kate menggertakkan gigi. Ia merasa tubuhnya gemetar, tapi ia tidak akan jatuh. Tidak sekarang. Mungkin dia sendiri tak tahu siapa Bella, tapi dia tahu satu hal. Pria ini akan menghancurkannya jika ia tampak lemah. Ia mendongak. Sorot matanya seperti kobaran api yang membara. “Jika ini permainanmu…” katanya pelan namun tegas, “aku pastikan, aku akan menang.”Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar
Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p
Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men
Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan
Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men
Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu