Home / Romansa / 365 Hari Bersama Tuan Mafia / Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

Share

Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

Author: Leaa Lee
last update Last Updated: 2025-07-11 09:03:26

Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.

Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.

Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.

Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.

Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.

Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu dan rambut digelung asal. Suasana di lantai bawah sedikit lebih hidup—ada tawa dan suara gelas berdenting dari arah dapur belakang.

Begitu dia tiba di dapur, tiga pria yang berpakaian formal langsung melirik. Salah satunya menyeringai.

“Lihat siapa yang datang. Tamu kehormatan sang bos.” Suara pria kurus tinggi, mungkin baru dua puluhan tahun, namun sikapnya sok superior.

Kate tak menggubris. Ia mengambil susu kotak di freezer dan hendak kembali naik.

“Hey, Bella.” suara lain menyusul, lebih berat. “Kau masih menyukai manis seperti dulu? Atau sudah berubah menjadi pahit seperti wajah bos kita saat melihatmu?”

Tawa mereka menyusul. Pria bertubuh besar itu melangkah mendekat ke arahnya. Kate mengeraskan rahang.

“Namaku Kate.” katanya datar.

“Ah, jangan begitu. Dulu juga kau suka berpura-pura...” pria itu meraih lengannya dengan santai, seolah menyentuhnya bukan sebuah dosa.

Sentuhan itu tak bertahan satu detik pun.

Kate membalik cepat. Tangannya mencengkeram jari si pria dan—KRAKK!—Kate membuat pergelangan tangan pria itu cukup sakit untuk sekedar mengangkat gelas.

Teriakan pria itu menggema di seluruh ruangan.

Kate menatapnya tajam. Tatapan matanya dingin, tapi kalimatnya lebih dingin daripada tatapannya.

“Rahangmu cocok untuk ditinju. Dan aku cukup sopan karena hanya melakukannya sekali.”

Lalu BUGHH!!

Pukulan tangan kanan Kate menghantam rahang pria itu sampai ia terjatuh ke meja dapur dan menjatuhkan segelas kopi panas.

Dua pria lainnya menegang. Yang satu refleks maju, namun Kate mengangkat lutut dan menendang pinggangnya, membuat tubuhnya membungkuk. Lalu ia menyikut tengkuknya cepat.

Satu lawan tiga? Tidak hari ini.

"Kalau kalian pikir aku lemah, kalian baru saja membuktikan IQ-mu di bawah suhu ruangan." katanya datar, membenarkan hoodie-nya.

Langkah kaki cepat datang dari ujung koridor menampilkan wajah Alric muncul dengan stelan jas merah. Wajahnya syok melihat dua anak buah terkapar dan satu lagi memegangi rahangnya sambil meringis seperti bayi.

“APA INI?!”

Kate menoleh. “Latihan pagi. tidak semua orang minum kopi pahit setelah bangun.”

Tak lama, langkah yang lebih berat terdengar memasuki dapur. Lorenzo. Pandangan matanya langsung menyapu ruangan—dan mendarat ke arah Kate. Bukan pada lelaki-lelaki yang bergelimpangan. Bukan pada cangkir pecah atau lantai yang berantakan. Namun, pada ekspresi Kate yang tidak terguncang sama sekali.

Lorenzo tidak berkata sepatah kata pun. Matanya hanya membisu—penuh tanda tanya.

Kate berjalan mendekat. Diam, tegak dan berwibawa yang tak diundang namun terlihat hadir. Ia berhenti dua langkah dari Lorenzo.

"Aku bukan Bella." katanya pelan, tapi tak bisa Lorenzo abaikan.

"Dan jika satu lagi dari mereka menyamakan aku dengannya... mungkin lain kali bukan hanya rahangnya yang retak."

Lalu ia melengos. Pergi tanpa minta maaf. Dan tanpa menoleh ke arah Lorenzo.

Lorenzo diam seribu bahasa. Alric menatapnya dengan alis bertaut.

"...Dia bukan Bella, kan?" gumamnya pelan.

Lorenzo tidak menjawab. Matanya masih tertuju ke arah tangga, tempat Kate menghilang dari pandangannya.

Yang ia tahu, Bella dahulu... adalah perempuan licik yang bersembunyi di balik tangis dan manipulasi. Selalu mencari perhatian. Selalu mendramatisasi.

Sementara Kate... hanya memukul untuk membela dirinya sendiri.

Untuk pertama kalinya, ada sesuatu yang menggoyahkan keyakinannya.

Dan untuk pertama kalinya... Lorenzo merasa kalah.

“Rekaman CCTV,” katanya pelan kepada Alric. “Aku ingin semua footage pagi ini. Dari sejak dia bangun. Dan dari semua sudut.”

Alric mengangguk. “Baik.”

Lorenzo menatap bayangannya sendiri di kaca besar pembatas ruang tamu dan dapur itu. Namun, yang dia lihat... bukan dirinya.

Yang dia lihat... adalah perempuan itu.

Perempuan dengan wajah Bella, tapi sorot mata yang asing. Lorenzo tak mengenalinya, meski ia mengenalnya dulu.

Dan di dalam hatinya... sebuah pertanyaan mulai tumbuh perlahan, “Kalau dia bukan Bella... lalu siapa sebenarnya yang baru saja menghancurkan tiga anak buahku tanpa berkedip?”

Lorenzo akhirnya tak lagi yakin siapa Kate sebenarnya—dan ketertarikan yang ia tahan, mulai muncul di sela rasa curiganya.

Dan untuk pertama kalinya, Bella bukan satu-satunya nama yang menghantui hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Terpaksa Nginep

    Hujan mengguyur kota seperti dendam yang tak selesai. Langit menghitam pekat, jalanan basah memantulkan cahaya lampu-lampu tua yang berkerlap-kerlip seperti sedang menggigil.Kate menahan napasnya sambil menatap ke arah jalan. Di belakangnya, suara Alric sedang bicara lewat telepon, terlalu sibuk mengeluh pada seseorang soal "drama cewek mafia".Kesempatan.Dia menarik kap hoodie-nya, melangkah cepat ke arah gang kecil di sisi hotel. Tak menoleh. Tak berpikir dua kali.Kakinya nyaris tergelincir karena lantai yang licin. Tapi dia terus lari. Dia hanya ingin satu hal: menjauh dari mereka. Menjauh dari orang-orang yang mengurungnya atas nama "keamanan".Sayangnya, niat kabur dari Morelli… tidak pernah sesederhana itu.***Kurang dari sejam kemudian, Kate berdiri di depan bangunan tua di pinggir kota. Hujan belum juga reda. Tubuhnya mulai menggigil, tapi dia terlalu keras kepala untuk kembali.Sampai suara itu datang. Dingin. Berat. Familiar."Bagus. Besok kau kuikat saja."Kate memutar

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Tuan Mafia vs Drama Queen

    Langit Manhattan belum sepenuhnya tengah hari, tapi suasana rumah Lorenzo sudah lebih dulu memanas. Suara benda jatuh terdengar nyaring dari lantai dua, diikuti teriakan melengking yang membuat Ana—pelayan pribadi yang biasanya tenang seperti batu—berlari panik menaiki tangga.Di ruang tengah, Kate berdiri seperti ratu kehancuran. Rambutnya acak-acakan, satu bantal berserakan di lantai, dan remote televisi entah terlempar ke mana."AKU MUAK! AKU JENUH! APA KALIAN MAU AKU GILA DI SINI?" pekiknya, dramatis dan lantang. "Aku lebih baik mati daripada dipenjara seperti tikus!"Ana mencoba mendekat, suaranya hati-hati. "Nona Bella, tenanglah—""JANGAN PANGGIL AKU NONA! AKU BUKAN TAMU DI SINI, AKU TAWANAN! Bahkan tahanan di penjara punya jadwal senam! Aku bahkan tak tahu hari ini hari apa! Haruskah aku menulis di tembok? Hari ke-15 menjadi korban penculikan mafia?!"Ana buru-buru menghubungi Lorenzo.***Sementara itu, di jantung Manhattan, Lorenzo tengah duduk di belakang meja kaca kantor p

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Dinner Penuh Bara

    Ana mengetuk pintu kamar Kate dengan irama yang sopan namun berjarak. Sejenak, hanya suara detak jam tua di dinding yang terdengar."Tuan Morelli menanti Anda pukul delapan malam," katanya datar. "Berpakaianlah... seindah yang Anda bisa."Kate tidak langsung menjawab. Ada jeda, seperti pikirannya melompat lebih cepat dari napasnya. Kalimat Ana terdengar seperti puisi beracun—indah di luar, tapi mengandung pesan ancaman yang halus.“Baik,” ucap Kate akhirnya, serak.Saat pintu tertutup kembali, Kate berdiri. Dada kirinya berdetak lebih cepat dari biasanya. Bukan karena takut—tapi karena naluri. Undangan makan malam dari Lorenzo Morelli bukan sekadar basa-basi. Di rumah ini, bahkan piring porselen bisa punya mata.Ia memilih gaun hitam yang sederhana, tanpa hiasan. Elegan tapi tidak mencolok. Rambutnya ia sanggul setengah, sisanya dibiarkan jatuh di bahu. Tidak ada perhiasan—kecuali kalung kecil dari kakeknya yang tak pernah ia lepas.Pukul delapan kurang dua menit, ia turun. Lorong men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Catatan Hitam

    Hujan tipis turun di luar jendela, seperti bisikan alam yang tahu bahwa malam ini menyimpan rahasia lama yang akan bangkit dari tidur panjangnya.Kate duduk membatu di tepi ranjang, tangan masih mencengkeram buku tua bersampul hitam yang sempat ia selipkan ke balik bajunya sebelum Lorenzo menariknya keluar dari ruang bawah tanah.Dia tak sempat melawan. Tak sempat bicara. Ana menemukannya lebih dulu, lalu Lorenzo datang. Kate masih terngiang begitu marahnya Lorenzo saat mendapati dirinya.‘Kau menginjak wilayah yang bahkan iblis pun tak berani langkahi!’Sekarang, Kate terkunci lagi di kamar. Tapi saat ini ia tidak sendiri. Buku itu bersamanya. Tidak ada judul, tidak ada nama. Hanya goresan usia dan aroma kayu tua.Jantung Kate berdetak tak beraturan. Ia membuka halaman pertama pertama dari buku itu. Disana ia melihat catatan yang membuatnya menebak siapa penulisnya.‘Jika kau membaca ini... maka mereka telah membunuhku.’Tangannya bergetar.Halaman demi halaman berisi tulisan tangan

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Ruang Rahasia

    Langit sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar Kate, menyisakan cahaya jingga yang menggantung di lantai marmer. Cahaya itu seperti menolak pergi, seolah tahu bahwa ada sesuatu yang akan berubah.Sudahi sejak tadi pagi saat Lorenzo bicara sarkas padanya. Dan satu Minggu sejak hari penemuan saputangan misterius itu. Sejak hari itu juga semua orang di rumah Lorenzo memandangnya sinis.Ana, pelayan pribadi yang ditugaskan untuk mengawasinya, hadir tanpa cela. Gerak-geriknya sopan, rapi, tapi terlalu terlatih untuk disebut ramah. Seperti ada garis tak terlihat yang membatasi mereka—garis yang dingin dan tajam seperti benang kawat.Hari itu, Ana masuk membawa teh melati yang masih mengepul.“Sore, Nona. Tuan memerintahkan saya untuk memastikan Anda tetap nyaman, Nona Bella," katanya seperti biasa.Kate menerimanya tanpa senyum. Teh itu tak lagi menenangkan, melainkan terasa seperti isyarat pengintaian."Kau selalu bicara dengan dua makna," gumam Kate, meletakkan cangkir tanpa men

  • 365 Hari Bersama Tuan Mafia   Rahangmu Cocok Untuk Ditinju

    Sudah satu minggu sejak saputangan bertuliskan Raven itu ditemukan. Sejak malam pelelangan berubah menjadi kekacauan bersimbah darah, dan sejak Lorenzo menatap Kate seolah dia pecahan masa lalu yang harus segera disingkirkan.Sejak saat itu, Lorenzo tak bicara sepatah kata pun padanya.Setiap kali Kate melihatnya di lorong atau teras atas, lelaki itu hanya lewat dengan auranya yang dingin. Tatapannya dingin seolah memasang benteng untuk kate, tanda kewaspadaan terhadapnya. Seolah melihat ular yang belum diketahui berbisa atau tidak.Kate ingin menyapa, sebenarnya. meskipun sekadar 'pagi.' atau bahkan 'hey.' Tapi setiap niatnya baru tumbuh, Lorenzo sudah pergi lebih dulu untuk menghindarinya. Dan hari ini… ia bosan menjadi bayangan yang dihindari.Langkah kakinya membawa Kate menuju dapur bawah rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu penuh kamera tersembunyi. Bahkan dindingnya seperti bisa berbisik.Kate menuruni anak tangga satu-persatu, dengan hoodie abu-abu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status