"Cukup! Aku sudah bosan dengan penjelasan kamu!" pekik Bella tajam, menantang wajah di depan suaminya.
Sang Suami mulai mengeras rahangnya. Bella kembali memasukkan baju-bajunya ke dalam koper dengan cepat. Pria dengan rambut cepak dan kumis tipis itu mencengkram lengan istrinya dengan keras. "Bel, kita bisa bicarakan ini dengan baik-baik. Jangan seperti ini Bella!" Bella sama sekali tidak peduli. Ia menuruni anak tangga membawa koper dengan berat. Wanita berhijab segiempat berbahan satin itu sudah bulat keputusannya untuk pergi dari rumah. "Bella!" teriak Bara yang kini sudah berada tepat di tengah-tengah pintu. "Kamu nggak bisa bertindak seperti ini dengan seenaknya sendiri, Bella. Kita juga harus memikirkan perasaan Mama," tegas Bara dengan kedua bola mata melotot. Melihat sang suami yang begitu berapi-api. Wanita bermata bening itu hanya bisa menunduk. Kali ini Ia berusaha menahan amarahnya. Bella menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Kedua kelopak matanya di tutup sebentar lalu di bukanya kembali. "Duduk dulu Bella," ucap sang suami dengan memegang lengan Bella sambil membawanya duduk di sofa. Ruang tamu itu serasa menjadi saksi bagaimana sakit hati Bella yang kala itu melihat sang suami yang berciuman di sebuah mobil bersama seorang perempuan. "Semua sudah jelas 'kan, Mas? Kamu selingkuh dari aku!" Suara Bella terdengar serak. Pria itu kebingungan menjelaskan kalimat yang dikatakan oleh sang istri. Kedua mata Bara berkedip- kedip dengan pikiran kacau. "Wanita yang kamu lihat di mobil itu cuma teman aku, Bella. Dia bernama Arum. Kita cuma ciuman biasa saja tidak lebih. Kami berdua tidak berhubungan badan," jelas Bara. "Teman? Memangnya boleh dalam agama kita bertingkah seperti itu?" tanya Bella dengan geram lalu menggeleng tidak percaya apa yang diperbuat oleh suaminya. Sementara Bara hanya melirik dengan kesal. "Mas, kalau kamu sudah nggak sayang sama aku, kamu boleh ceraikan aku. Aku ikhlas, daripada kamu menyakiti aku dengan berselingkuh seperti ini," ucap Bella meski sesak di dada. Bercerai dan diselingkuhi adalah dua perkara yang menyakitkan. Ia bahkan tidak akan memilih keduanya jika takdir mau. Namun, ia memilih bercerai saja kalau sudah seperti ini keadaannya. "Aku nggak bisa ceraikan kamu Bella. Kasihan Mamaku," jawab Bara dengan wajah polos. Pria berwajah oval dengan kumis dan jambang tipis itu terlihat bodoh saat berhadapan dengan Bella. "Egois kamu, Mas. Kamu udah nyakitin dua orang sekaligus, Mas. Aku dan juga Mama. Kamu bersenang-senang sementara ada orang yang tersakiti karena kamu," tegas Bella sambil menunjuk dada Bara dengan jijik. "Bella, aku jujur sama kamu. Kalau Arum itu cuma temen aku. Dia yang nyosor duluan. Aku janji akan jauhi Arum. Percaya sama aku Bella," Bara membela diri. "Aku nggak percaya sama kamu," kata Bella dengan melihat ke arah yang berbeda. Bara tampak berwajah gelisah tetapi ia berusaha dengan tangannya memegang lengan Bella. "Bella, kamu harus percaya sama aku. Aku nggak mungkin selingkuh dari kamu. Kita menjalani rumah tangga ini sudah lima tahun. Aku nggak mungkin segampang itu mengkhianati cinta kita," tutur Bara dengan nada seolah bersedih. "Aku sakit banget, Mas. Kalau kamu selingkuh," kata Bella memegang dadanya. "Aku nggak selingkuh Bella, percaya sama aku," Bara Mahesa dengan lembut segera memeluk wanita di depannya. Pelukan itu benar benar membuat Bella merasa sangat hangat. Tidak dipungkiri lagi kalau sentuhan lembut bisa membuat wanita lebih tenang. Kini Bella berusaha untuk percaya pada suaminya. Ia berharap ucapan suaminya tidak bohong. Esok harinya Bara bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Namun Bella merasa khawatir kenapa suaminya berangkat kerja pagi sekali. "Mas, ini masih jam lima pagi. Kamu serius berangkat jam segini?" tanya Bella sambil memasukkan sarapan berisi roti bakar di dalam box makan. Tangan Bara memasukkan benda berwarna biru itu ke dalam tas kerja dengan cepat "Bella, kerjaan aku itu tim kreatif di program tv. Hari ini aku mau survei lokasi syutingnya. Lokasinya ada di puncak. Aku harus berangat pagi supaya aku bisa pulang cepat. Semoga aja sih, aku bisa pulang cepet." Penjelasan Bara membuat Bella tidak yakin. Karena menurutnya, Bara menjelaskan dengan ragu. Tapi ia mencoba untuk meyakinkan diri kalau suaminya tidak berbohong. "Iya, Mas aku tau kerjaan kamu kaya gimana. Kerjaan kamu emang nggak kenal waktu. Aku berdoa semoga kamu di sana nggak nglirik wanita lain. Siapa tuh, namanya?" tanya Bella dengan wajah berpikir. "Arum maksud kamu?" "Iya, semoga aja dia nggak nyosor kamu lagi. Awas aja kalau sampai kamu deketin dia," ucap Bella dengan nada tajam. "Aku nggak akan macam-macam sama wanita lain. Kamu tenang aja sama aku. Aku sayang banget sama kamu Bella," kecupan mesra dengan kilat mendarat di bibir sang istri. Bella tentu saja tersipu malu dan sangat senang sekali. "Ya sudah, kalau gitu hati-hati ya, sayang," kata Bella sambil memeluk Bara dengan lembut. Beberapa menit setelahnya, Bara kini sudah berada di dalam mobil. Bella melihat dari pintu gerbang lalu melambaikan tangan kepada sang suami. Kini Bella masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Sebenarnya saat ini perasaannya sangat tidak enak. Ia merasa ada yang di tutup-tutupi oleh sang suami. “Ya Allah, perasaan aku nggak enak banget rasanya. Aku sangat berharap kalau Mas Bara bisa menjadi suami yang setia. Kalau terpikir bayangan buruk kemarin, rasanya benar benar sakit. Mereka berdua benar-benar ciuman di mobil. Meski Mas Bara bilang kalau Arum yang nyosor duluan, tapi aku rasa Mas Bara benar-benar menikmati itu." Bella merasa sangat khawatir dengan apa yang di lihatnya kemarin. Ia masih setengah percaya atas penjelasan dari Bara. Bagaimana mungkin Bella percaya begitu saja. Wanita dengan wajah berbalut hijab Maryam itu duduk di ruang makan sambil menyeruput teh hangat. Di sampingnya jendela cukup besar. Gorden putih dengan sinar matahari pagi yang menembus begitu indah.“Mas, pulang jam berapa?" tanya Bella dengan suara lembut. "Nggak tahu nih, kayanya masih lama. Kamu sabar ya. Mas pasti pulang kok," Suara itu seperti terdengar terpaksa oleh Bella. Wanita dengan rambut panjang sedada itu berwajah masam. Ia kesal mendengar jawaban dari suaminya itu. "Memangnya ada kerjaan apa lagi sih, Mas. Sudah mau sore begini masa belum kelar," Bella menggerutu. "Aku tungguin habis maghrib ya. Kamu udah harus pulang. Aku kangen, Mas. Hehehe ...." ucap Bella tersenyum sendiri. Ia ingini sekali memeluk suaminya. "Hem ... Iya. Aku usahain ya,” jawab Bara malas. Ia menutup panggilan dari sang istri dengan cepat. "Loh, kok dimatiin sih! Padahal aku mau bilang i love you," Gusar Bella dengan menubrukkan diri ke kasur. "Apa aku coba telfon lagi ya?" tanya Bella sendiri. Ia pun segera menelpon kembali sang suami. "Hallo,
"Aku malas menjelaskan semua sama kamu. Karena kamu pasti nggak akan percaya sama aku. Kamu selalu berpikiran negatif tentang aku. Bener 'kan?" Bella menghembuskan nafas kesal. "Ya udah, kalau kamu nggak mau jelasin sama aku. Aku udah tau betapa buruknya kamu sekarang Mas.” Kalimat itu membuat sepasang suami istri ini berhenti berkata-kata lagi. Itu adalah kalimat terakhir untuk malam ini. Bella berdiri dengan cepat dan berjalan keluar lalu menutup pintu dengan kasar. Sementara Bara sudah lelah dengan semua yang terjadi di dalam harinya. Ia tidur di kamar dengan lelap. Sementara Bella duduk di sofa ruang tengah. Ia memandangi bingkai foto yang indah. Sepasang pengantin yang sangat serasi. Hati Bella tidak bisa menahan rasa kesal yang bercampur rasa sedih. Kedua matanya kini di banjiri oleh air mata hangat. Pundaknya naik turun di iringi suara hidung yang tersumbat
Kemeja berwarna putih dan rok hitam pendek serta pakaian dalam perempuan berada di atas lantai. Semua barang barang iu terlihat berantakan. Seolah seperti sengaja di lempar di atas lantai keramik berwarna putih itu. Kedua mata Bella mendadak terbuka lebar. Hatinya berdegup kencang. Pikirannya benar benar kacau. Segera saja ia melangkahkan kaki ke kamar Bara. Terdengar suara wanita yang manja. Tangan Bella langsung saja membuka pintu itu dengan cepat. Tak di sangka pemandangan mencengangkan telah ada di depan mata. Bara dan Arum dengan mata panik mereka melihat kedatangan Bella. Mereka berdua berselimut di atas ranjang. "Keluar kamu dari sini!" teriak Bella dengan suara serak. Air matanya tak terbendung. Bara dan Arum saling memandang dengan panik. "Keluar kamu dari sini pelakor!" Bella mengarahkan jari telunjuknya ke Arum yang masih menutupi tubuh dengan selimut.
“Mbak Bella ke mana sih, Mas Bara? Sudah malam begini kok belum pulang juga yah?" tanya Marni sambil menuangkan air putih di gelas majikannya. "Udah kamu nggak usah tanya-tanya itu. Tugas kamu di sini cuma masak sama bersih-bersih ngerti?" Wanita dengan pipi chubby itu mengangguk dengan perasaan kecewa. Ia langsung pergi dari ruang makan setelah selesai menyiapkan makan malam untuk majikannya. "Mbak Bella ke mana ya? Sudah aku telfon berakali-kali tapi nggak diangkat juga," ucap Marni dengan risau. Ia teringat kembali saat malam itu terbangun akibat suara umpatan marah yang keras sekali. "Ya Allah, semoga keluarga Mbak Bella baik-baik aja. Amin ya Allah," doa Mirna dengan serius. Bara yang sibuk mengunyah makanannya tiba-tiba mendengar ponselnya berbunyi. "Bara, kenapa kamu baru angkat telepon dari aku?" Suara kesal seorang wanita terdengar. "Aku j
“Mau apa kamu ke sini, Mas?” tanyaku melihat Mas Bara yang baru saja menginjakkan kaki di teras rumah.“Bella?” Mas Bara mendekatiku. Aku langsung saja menyingkir dari pijakanku. Aku samasekali tidak sudi berdekatan dengan penghianat seperti dia.“Aku ke sini mau jemput kamu,” ucap Mas Bara dengan lirih.“Aku mau di sini aja,” jawabku dengan jutek.Mas Bara duduk di kursi kayu. Dia menarik nafas pelan dan menghembuskannya. Apa dia mencoba untuk tidak emosi di rumah ibuku?“Mama akan ke rumah nanti. Kamu harus ada di rumah Bella. Apa yang akan mas katakan jika kamu tidak ada di rumah,” “Mama mau ke rumah?” tanyaku tak percaya. Aku juga merasa kasihan dengan Nama jika ke rumah dan tidak ada aku. Dia pasti akan sedih dan mencariku.“Ya, untuk itu kami harus pulang sekarang juga,” seru Mas Bara setengah tegas.Aku melirik bingung sambil memegang keningku. Di tengah pertengkaran aku dan Mas Bara. Kenapa Mama harus berkunjung ke rumah?“Eh, ada kamu Bara. Kok,
Aku tidak bisa tidur. Pikiranku sangat kacau sekali. Aku terus memikirkan kenapa Mas Bara bisa selingkuh dari aku. Aku berdiri menatap cermin. Tanganku meraba wajahku dengan ragu-ragu. “Apa aku ini tidak cantik lagi bagi Mas Bara?” tanyaku dalam hati. Mataku meneteskan air mata kesedihan. Wajah Arum tiba-tiba muncul di benakku. Mungkin Arum memang lebih cantik di banding aku. Wajah Arum yang terlihat dewasa. Alis tebal yang sempurna serta bibirnya yang memikat kaum Adam. Ya dia memang cantik. Tapi kenapa aku harus menjadi korban perselingkuhan. Kenapa Ya Allah? Aku sudah berusaha menjadi wanita Solehah. Aku berhijab karena ingin menjadi istri yang taat. Aku tidak ingin mengumbar aurat ku. Karena nanti suamiku yang akan di tanyakan nanti di akhirat. Ya Allah apa keputusan aku memakai jilbab ini adalah salah? Ya Allah memang aku akui sejak aku memakai Jilbab Mas Bara seperti risih denganku. Ia seakan tidak setuju aku berhijab. Tapi salahkah aku mencoba untuk lebih taat denga
Sejak semalam Mas Bara terus mengirim pesan Wa. Aku membacanya tapi tidak ku balas. Biarkan sajalah aku hilang respect dengan Mas Bara. Sore ini aku berniat pulang ke rumah. Aku pulang ke rumah bukan karena aku ingin bertemu dengan Mas Bara tapi karena mama akan ke rumah. “Padahal aku masih kangen sama ibu. Tapi mau gimana lagi. Mama mau ke rumah jadi Bella harus pulang deh,” ucapku dengan memeluk ibu dari samping. “Udah nggak papa 'kok sayang. Kamu pulang itu taat dengan suami dan juga Mama. Mereka berdua yang saat ini memang penting. Mereka berdua harus kamu urus. Bukan begitu?” kata ibu dengan senyum damai. Aku mengangguk paham dengan apa yang di katakan ibu. Ya di sini aku bersama ibu juga karena aku ingin mendapatkan pahala. Namun aku juga harus mengurus mama mertuaku dan juga suamiku Mas Bara. Aku juga tidak tahu nanti di rumah akan seperti apa. Pasalnya aku sedang marah dengan Mas Bara. Tetapi kata Mas Bara aku harus bersikap pura-pura bahagia dan mesra di de
Aku duduk di kursi sambil bermain ponsel. Menunggu beberapa menit. Nanti aku akan keluar dan tidur di ruang tengah saja. Melihat wajah Mas Bara rasanya aku ingin muntah. “Kalau kamu nggak mau tidur di sini ya udah. Aku mau tidur dulu. Kalau kamu berubah pikiran nggak papa. Kamu boleh tidur di sini,” kata Mas Bara berkata lembut. Aku hanya diam dengan hati yang membatu. Dasar laki-laki sialan. Aku nggak terima kalau dia selingkuh dariku. *** “Mbak, bangun Mbak?” Suara Mirna membuat mataku terbuka sedikit. Aku melirik jam dinding yang ada di ruang tengah ini. Jam lima pagi. “Mbak, ibu Linda nggak sadar, Mbak. Kayaknya pingsan deh, soalnya Mirna bangunin dari tadi nggak mau buka mata, Mbak,” seru Mirna dengan raut gelisah. Aku sungguh kaget. Aku berusaha berdiri dan berjalan menuju ke kamar mama. Aku sangat berharap mama akan baik-baik aja. Kubuka pintu kamar mama dan wajah mama terlihat pucat sekali. Ini pasti karena mama terlalu kecapean. “Semalam mama t